Di sekitar pondok, terkadang ada anjing liar yang berkeliaran. Ketika anjing-anjing ini, entah bagaimana, berhasil masuk ke area asrama, kehebohan pun terjadi. Salah satu santri akan berteriak keras, "Acong tame! Acong tame! Impet gerbang!" (Anjing masuk! Anjing masuk! Tutup gerbang!). Teriakan ini spontan membangunkan santri-santri yang terlelap tidur. Tak ayal, mereka pun berlari mengejar anjing itu sampai hewan tersebut kebingungan mencari jalan keluar.
Asrama ini disebut asrama "U" sebab bentuknya menyerupai huruf "U", meski jika dilihat lebih dekat, ia sebenarnya lebih mirip segi empat dengan sedikit potongan di satu sisi sebagai pintu masuk. Asrama ini berdiri megah di masa lampau, menawarkan tempat berteduh bagi generasi muda yang haus akan ilmu agama dan kehidupan yang penuh tantangan. Bagi para santri senior, asrama ini bukan melulu tempat tinggal, tapi telah berubah menjadi "ruang" persahabatan, perjuangan, dan pembentukan karakter mereka berlangsung.
Di dalam bangunan asrama, terdapat 27 kamar, masing-masing berukuran sekitar 4 meter persegi. Meskipun sederhana, dengan lantai semen yang dingin dan atap tanpa plafon, bagi para santri saat itu, fasilitas ini sudah cukup mewah. Beberapa kamar dilengkapi dipan kayu sederhana sebagai tempat tidur, sementara sebagian besar lainnya hanya menggunakan tikar di lantai.
Suasana di asrama ini sangat khas. Teras depan kamar sering kali dipenuhi dengan berbagai aktivitas sehari-hari. Di sinilah para santri memasak makanan mereka, sekadar dengan peralatan sederhana seperti kompor minyak tanah. Asap yang tipis selalu melayang di udara saat pagi dan sore tiba. Di sini pula pakaian dijemur setelah dicuci dengan tangan di ember-ember kecil. Suasana kekeluargaan di asrama terasa kental, karena dalam kesederhanaan, mereka saling berbagi, entah itu makanan, pakaian, atau sekadar cerita tentang kehidupan.
Namun, saat tidak ada halaqah atau kegiatan belajar kitab, dari setiap kamar terdengar suara-suara khas para santri yang menghafal pelajaran baru atau mengulang hafalan lama (murajaah). Suara hafalan ini bagaikan simfoni yang menyatu, memberikan asrama itu kehidupan yang unik. Mereka berkompetisi satu sama lain, namun dengan tujuan yang sama: mendalami ilmu agama dan menguatkan keimanan.
Kehidupan Asrama: Sebuah Dunia Penuh Warna
Di balik keseriusan belajar, kehidupan santri di asrama ini juga penuh dengan momen-momen ringan dan lucu. Halaman luas yang terhampar di tengah asrama sering kali menjadi arena bermain bola bagi para santri. Dengan semangat yang membara, mereka mengejar bola yang meluncur di atas tanah berdebu, teriakan keceriaan mereka menggema di udara.
Ada satu kejadian lucu yang selalu dikenang oleh para santri senior. Di sekitar pondok, terkadang ada anjing liar yang berkeliaran. Ketika anjing-anjing ini, entah bagaimana, berhasil masuk ke area asrama, kehebohan pun terjadi. Salah satu santri akan berteriak keras, "Acong tamee! Acong tame! Impet gerbang!" (Anjing masuk! Anjing masuk! Tutup gerbang!). Teriakan ini spontan membangunkan santri-santri yang terlelap tidur. Tak ayal, mereka pun berlari mengejar anjing itu sampai hewan tersebut kebingungan mencari jalan keluar. Bagi santri, kejadian seperti ini menjadi hiburan tersendiri di tengah rutinitas ketat belajar dan ibadah.
Namun, ada pula sisi spiritual yang mendalam di balik kehidupan asrama ini. Setiap malam, menjelang waktu tahajjud, Tuan Guru Haji (TGH) Musthafa Umar Abdul Aziz, sang pengasuh pesantren, akan berkeliling ke setiap kamar. Dengan ketukan lembut di pintu kamar, beliau akan memanggil para santri dengan kata-kata penuh kasih, "Kum walad, kum walad..." (Bangun, anak-anakku, bangun...). Panggilan itu tidak hanya membangunkan fisik para santri dari tidur, tetapi juga jiwa mereka untuk senantiasa ingat akan pentingnya ibadah malam. Tahajjud, bagi mereka yang hidup di asrama ini, bukan hanya ritual, melainkan momen mendalam untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan ketulusan dan keistiqamahan yang dicontohkan langsung oleh sang Tuan Guru.
Persaudaraan yang Tak Tergantikan
Selama bertahun-tahun hidup di asrama ini, para santri tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga nilai-nilai kehidupan. Kebersamaan yang mereka bangun di sini melahirkan persaudaraan yang lebih kuat daripada hubungan sekadar teman sekamar. Mereka saling menjaga, mendukung, dan memahami satu sama lain. Setiap tantangan yang mereka hadapi, mulai dari cuaca yang dingin hingga makanan yang kadang serba terbatas, menjadi batu ujian yang justru mempererat tali persaudaraan di antara mereka.
Salah satu santri senior, menceritakan pengalamannya saat pertama kali tinggal di asrama. "Awalnya, saya merasa asing dan kesulitan beradaptasi. Tetapi seiring waktu, saya mulai memahami betapa pentingnya kebersamaan di sini. Kami sering kali tidak punya banyak, tetapi kami saling berbagi apa yang kami miliki. Di sinilah saya belajar tentang persahabatan sejati."
Pengalaman hidup di asrama ini juga mengajarkan para santri untuk menjadi lebih mandiri dan disiplin. Mulai dari mencuci pakaian sendiri, mengurus keperluan sehari-hari, hingga menjaga kebersihan kamar, semua menjadi bagian dari pendidikan yang diterapkan di pondok. Mereka tidak hanya diajarkan untuk menjadi pandai dalam ilmu agama, tetapi juga menjadi pribadi yang mampu mengatasi kesulitan hidup dengan cara yang sederhana namun penuh makna.
Kenangan yang Tertinggal
Bagi para santri yang telah lulus dan meninggalkan asrama ini, kenangan tentang asrama "U" tetap melekat kuat di hati mereka. Tempat ini telah menjadi saksi bisu dari perjalanan hidup mereka yang penuh warna. Setiap sudut asrama menyimpan cerita, entah itu tentang canda tawa bersama teman-teman, perjuangan menghadapi hafalan, atau momen spiritual di waktu-waktu tahajjud.
Salah satu hal yang paling dirindukan oleh para santri senior adalah suasana kekeluargaan yang erat di asrama. Di tengah segala keterbatasan, mereka merasa bahwa asrama ini adalah rumah kedua, tempat di mana mereka bisa menjadi diri mereka sendiri, tempat di mana mereka tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, baik dalam hal ilmu maupun akhlak.
Seiring berjalannya waktu, asrama ini pun mengalami berbagai perubahan. Namun, bagi mereka yang pernah tinggal di sana, kehangatan dan kedekatan yang tercipta di antara sesama santri tidak akan pernah berubah. "Asrama ini mengajarkan kami banyak hal," ujar seorang santri senior, yang kini telah menjadi seorang Tuan Guru di kampungnya. "Kami belajar untuk hidup sederhana, bersyukur atas apa yang kami miliki, dan saling mendukung satu sama lain. Semua itu membentuk karakter kami hingga saat ini."
Pelajaran Hidup di Asrama "U"
Asrama "U" di Pondok Pesantren Al-Aziziyah bukan hanya sekadar bangunan fisik, tetapi sebuah tempat yang membentuk jiwa dan karakter para santri. Di dalam ruang-ruang sempitnya, para santri belajar tentang ketekunan, kesabaran, dan kebersamaan. Di halaman yang luas, mereka berbagi canda tawa dan momen-momen ringan yang kelak akan menjadi kenangan berharga.
Di balik kesederhanaannya, asrama ini telah melahirkan generasi-generasi yang tangguh dan berdedikasi. Bagi mereka, rindu pada asrama ini bukan hanya rindu pada tempat, tetapi rindu pada masa-masa perjuangan dan pembelajaran yang membentuk mereka menjadi manusia yang lebih baik. Sebuah rindu yang tak pernah sirna, seperti doa-doa yang selalu mengiringi langkah mereka, jauh setelah mereka meninggalkan asrama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H