Masjid Hidayatullah, situs di mana kenangan dan pelajaran hidup santri senior Pondok Pesantren Al-Aziziyah terpahat dengan jelas. Di sanalah tempat mereka menata langkah awal dalam perjalanan menghafal Qur'an, memperdalam ilmu-ilmu agama, dan mendekatkan diri kepada Allah. Namun, lebih dari sekadar rumah ibadah, Masjid Hidayatullah menjadi saksi berbagai momen penuh makna---suka dan duka, tawa dan tangis, serta berbagai perasaan yang tak tertulis namun tertanam kuat dalam jiwa para santri.
Masjid Sederhana, Penuh Kehangatan
Masjid Hidayatullah bukanlah bangunan megah yang berdiri dengan kemewahan. Masjid ini sederhana, berdinding polos, berlantai warna kuning dingin yang terkadang berembun di malam hari, pintu dan jendela tanpa daun bercat coklat, dengan tiang-tiang kotak di tengahnya. Namun, bagi santri senior, masjid ini memiliki pesona tersendiri. Setiap sudutnya menyimpan cerita, setiap guratan tegel pada lantainya meresap doa-doa dalam sujud santri, dan setiap dindingnya dan tiang-tiangnya menyaksikan perjalanan "sacral" yang penuh perjuangan.
Di masjid inilah para santri belajar mengatasi kantuk saat shalat tahajjud, menata hati dalam barisan saf, dan bertarung dengan diri sendiri saat bersila di lantai dingin sambil melantunkan ayat-ayat suci. Tidak ada karpet mewah atau pilar-pilar besar yang menghiasi, tetapi keintiman yang terjalin antara para santri dengan masjid ini tak bisa tergantikan oleh apapun.
Saksi Sejuta Ayat yang Terlantun dan Jutaan Langkah Ibadah
Satu hal yang selalu terngiang oleh santri, lantunan ayat-ayat Al-Qur'an yang menggema di dalam masjid. Masjid Hidayatullah menjadi saksi bisu atas jutaan ayat yang terlantun dari mulut santri, entah dalam suasana halaqah tahfiz, tadarus, atau saat mereka membaca sendirian di sudut masjid. Suara-suara itu, meski hanya terdengar lembut, menyelimuti masjid dengan suasana yang tenang dan penuh makna ilahiah.
Di bulan Ramadan, masjid Hidayatullah menjadi lebih hidup. Setiap malam, lantunan tarawih 1 juz bergema. Setiap rakaat yang panjang kerap diiringi dengan rasa pegal di kaki, namun semua itu ditahan demi satu tujuan, meraih ridha Ilahi. Bagi santri, tarawih di Masjid Hidayatullah bukan hanya soal ibadah, tetapi juga tentang melatih keteguhan hati dan fisik. Pegal yang terasa di kaki menjadi bukti perjuangan mereka dalam menahan diri dan tetap khusyuk dalam shalat.
Saksi Sakitnya Pukulan Rotan dan Hukuman yang Mendidik
Namun, tidak semua kenangan di Hidayatullah penuh dengan kelembutan. Ada momen-momen di mana masjid ini juga menjadi saksi atas kerasnya hukuman yang harus diterima santri yang melanggar aturan. Pukulan rotan, yang diberikan oleh ustaz sebagai hukuman atas kesalahan, menjadi bagian dari perjalanan pembentukan karakter. Pukulan rotan bukan sekadar hukuman fisik, tetapi pengingat untuk selalu patuh dan disiplin dalam menjalankan tanggung jawab sebagai santri.
Bagi santri yang pernah merasakannya, pukulan rotan itu menorehkan rasa sakit yang menusuk. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka menyadari bahwa hukuman itu bukanlah bentuk kekerasan, melainkan bagian dari proses pendidikan yang mendidik mereka menjadi lebih disiplin dan bertanggung jawab. Masjid Hidayatullah menjadi tempat di mana rasa takut bercampur dengan ketundukan, menjadikan pengalaman spiritual dan pendidikan berjalan berdampingan.