Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Magnum Opus TGH. Musthofa Umar: Jejak Pemikiran yang "Nyaris" Terlupakan

20 September 2024   16:25 Diperbarui: 25 September 2024   11:33 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TGH. Musthofa Umar Abdul Aziz merupakan sosok ulama besar yang tak hanya dikenal karena penguasaan ilmu agama, tetapi juga kedalaman reflektifnya dalam melihat fenomena sosial. Sebagai ulama yang memiliki mobilitas tinggi dalam menyebarkan ilmu, beliau menjadikan aktivitas menulis bukan hanya sebagai kewajiban, melainkan sarana ekspresi spiritual dan intelektual. Dalam pandangan TGH. Musthofa Umar, menulis adalah manifestasi dari pengamatan yang jernih dan penghayatan mendalam terhadap realitas yang dialami sehari-hari (Muharrar dalam Nazopah, 2022). Namun, ironisnya, karya-karya tulis beliau yang kaya pemikiran tidak banyak terdokumentasi, hingga nyaris terlupakan (Nazopah, 2022).

Sebagai seorang pemikir dalam tradisi Islam, karya tulis ulama memiliki kedudukan penting dalam menyampaikan gagasan dan pandangan hidup kepada generasi berikutnya. Pemikiran yang dituangkan dalam tulisan adalah salah satu sarana transmisi ilmu yang bersifat lebih langgeng dibandingkan ajaran lisan semata. Inilah yang menghubungkan pemikiran TGH. Musthofa Umar dengan filsafat Islam---suatu tradisi di mana tulisan bukan sekadar media, tetapi instrumen pembebasan intelektual dan spiritual.

Menulis Sebagai Tindakan Filsafati

Dalam pandangan filsafat Islam, tindakan menulis oleh seorang ulama seperti TGH. Musthofa Umar dapat dilihat sebagai upaya menyingkap realitas yang lebih tinggi. Filsafat Islam, sebagaimana dirumuskan oleh tokoh-tokoh seperti Al-Farabi dan Ibn Sina, memandang ilmu sebagai upaya mencapai hikmah (kebijaksanaan). Menulis adalah salah satu cara untuk memperluas jangkauan hikmah tersebut kepada umat. Dalam karya-karya TGH. Musthofa Umar, kita melihat jejak pemikiran yang berusaha menjawab tantangan umat di masanya, dan, tanpa disadari, upaya tersebut menjelma menjadi refleksi filsafati yang dapat relevan sepanjang zaman.

Meski demikian, hanya sedikit dari karya beliau yang terdokumentasi dengan baik. Tiga karya beliau yang berhasil ditemukan adalah Kitab Adzkar al-Mu'minin, Kitab Al-Fawaid, dan Risalah Mufidah fi al-Hajj wa al-'Umrah. Masing-masing karya ini menampilkan kedalaman spiritualitas dan pandangan hidup yang sangat terikat dengan tujuan tertinggi dalam filsafat Islam, yakni mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah.

Namun, karya-karya yang sedikit ini adalah fragmen dari keseluruhan gagasan beliau yang, sayangnya, sebagian besar hilang dalam perjalanan waktu. Di sini, terjadi paradoks: TGH. Musthofa Umar adalah sosok ulama besar yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam pendidikan Islam dan kehidupan beragama di Lombok, tetapi (hingga saat ini) hanya meninggalkan sedikit jejak tertulis yang diwariskan secara intelektual kepada generasi penerus. Dalam tradisi filsafat Islam, ini menjadi refleksi tentang bagaimana ilmu dapat mengalir tanpa harus selalu tercatat, tetapi juga mengingatkan kita tentang pentingnya dokumentasi.

Jejak Pemikiran yang Tersisa

Ketiga karya yang berhasil ditemukan dari TGH. Musthofa Umar memancarkan inti pemikiran beliau dalam ranah spiritualitas dan ibadah. Kitab Adzkar al-Mu'minin adalah panduan dzikir dan doa yang secara praktis membantu umat dalam beribadah. Kitab ini tidak hanya menjadi pedoman spiritual, tetapi juga sarana untuk membina kedekatan emosional dan transendental dengan Sang Pencipta. Kitab ini juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari tradisi sufisme dalam Islam yang memberikan perhatian besar pada dzikir sebagai jalan "berdekatan" dan menuju Tuhan.

Kitab Al-Fawaid, di sisi lain, adalah kompendium yang memuat faedah-faedah ilmu agama yang disampaikan dalam bentuk nasihat praktis. Karya ini mencerminkan keterikatan pemikiran TGH. Musthofa Umar dengan masalah-masalah sehari-hari yang dihadapi umat, menjadikannya panduan hidup yang relevan untuk memecahkan pelbagai persoalan praktis. Dalam konteks filsafat Islam, Al-Fawaid menjadi karya yang mendekatkan dimensi teoritis Islam kepada persoalan etika kehidupan sehari-hari, sebuah pendekatan yang senafas dengan filsafat moral Ibn Miskawaih.

Sementara itu, Risalah Mufidah fi al-Hajj wa al-'Umrah menampilkan panduan komprehensif mengenai ibadah haji dan umrah, rukun Islam yang memerlukan penghayatan mendalam dalam menjalankannya. Panduan ini tidak sekadar bersifat teknis, tetapi memuat dimensi spiritual yang menghubungkan setiap ritual haji dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam tradisi filsafat Islam, haji tidak hanya dipandang sebagai perjalanan fisik, tetapi juga sebagai perjalanan batin menuju makrifat, atau pengetahuan sejati tentang Tuhan.

Menghidupkan Warisan Filsafati

Meskipun banyak karya TGH. Musthofa Umar yang hilang, pemikiran beliau tidak sepenuhnya lenyap. Para santri dan pengikut serta muhibbin beliau menghidupkan ajaran-ajaran lisan yang pernah disampaikan, menjadikan ilmu beliau sebagai "karya hidup" yang terus berlanjut. Dalam pandangan filsafat Islam, ilmu yang disampaikan secara lisan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk hikmah praktis yang tak kalah pentingnya dengan karya-karya tertulis. Para ulama terdahulu sering kali menekankan pentingnya "menulis" dalam perilaku sehari-hari, sebuah gagasan yang juga ada dalam tradisi Sufi: bahwa kehidupan seseorang adalah buku yang terus-menerus ditulis di hadapan Tuhan.

Namun, tetap ada harapan bahwa suatu hari nanti, karya-karya tertulis TGH. Musthofa Umar yang hilang akan ditemukan kembali. Dengan itu, generasi mendatang dapat lebih memahami dan meresapi kedalaman pemikiran beliau dalam konteks yang lebih utuh. Filsafat Islam sendiri mengajarkan bahwa ilmu adalah anugerah yang tak terbatas; dan meskipun sebagian dari ilmu TGH. Musthofa Umar tampak hilang, nilai-nilai yang beliau ajarkan terus hidup dalam sanubari umat.

Melalui refleksi ini, kita diingatkan bahwa warisan terbesar seorang ulama bukan hanya terletak pada karyanya yang terdokumentasi, tetapi juga pada kehidupan dan ajaran yang terus menginspirasi. Sebagaimana dalam filsafat Islam, kebenaran dan kebijaksanaan tidak pernah hilang, melainkan bertransformasi melalui generasi demi generasi. Semoga jejak-jejak pemikiran TGH. Musthofa Umar yang "nyaris" terluakan ini, pada akhirnya, dapat ditemukan kembali dan memberikan pencerahan bagi umat di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun