Setiap malam, mereka tidur berdua di bawah bintang-bintang yang gemerlap di langit. Saat mereka terbaring di atas rerumputan, tangan Senja selalu mencari tangan Rangga, menggenggam erat, seolah memastikan bahwa mereka tidak akan pernah terpisah.
"Menurutmu, apakah ada tempat yang lebih indah dari ini?" tanya Senja pada suatu malam, suaranya seperti bisikan, melayang di udara yang sejuk.
Rangga tersenyum kecil. "Tidak, tidak ada. Tempat ini sempurna. Aku tidak ingin pergi ke mana pun."
Namun di balik senyum itu, sesuatu yang halus mulai mengusik pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan kecil muncul di sela-sela tawa dan kebahagiaan yang mereka ciptakan. Dari mana dia berasal? Mengapa dia merasa seperti berada di dalam kabut yang samar setiap kali mencoba mengingat kehidupannya yang dulu?
Tapi Rangga menolak untuk memikirkannya. Bersama Senja, semua perasaan ragu itu sirna, tergantikan oleh kebahagiaan yang tak ternilai. Mereka berlari di padang rumput, tertawa hingga mereka terjatuh, berguling di rerumputan dan saling menatap, seolah tidak ada yang bisa menghentikan mereka. Setiap pelukan terasa seperti perlindungan dari dunia luar yang entah ada atau tidak.
Namun, seiring berjalannya waktu, keheningan yang mendalam mulai merayap masuk ke dalam dunia ini. Hutan yang tadinya hijau perlahan memudar, bunga-bunga liar yang dahulu bermekaran mulai layu tanpa alasan. Senja, yang biasanya penuh tawa, sekarang sering terdiam dalam perenungannya. Dan setiap kali Rangga memanggil namanya, dia hanya menjawab dengan senyum tipis yang sulit dimengerti.
Suatu hari, saat mereka sedang duduk di bawah pohon tempat mereka pertama kali bertemu, Senja mulai bicara dengan suara yang lebih dalam dari biasanya. "Rangga, kau tahu, bukan? Semua ini... hanyalah mimpi."
Rangga menoleh kaget. "Apa maksudmu?"
Senja menatapnya, matanya yang tadinya lembut kini seolah menyimpan kesedihan yang tak terucapkan. "Kita tidak bisa terus di sini. Dunia ini... tidak nyata."
Rangga menggelengkan kepala, mencoba menolak kenyataan yang mulai menghampirinya. "Tidak. Aku bahagia di sini, Senja. Kau bahagia. Mengapa kita harus pergi?"
Senja menarik napas panjang, matanya mulai dipenuhi air mata. "Karena meskipun ini terlihat sempurna, kau harus kembali ke duniamu. Kau tidak bisa terus di sini bersamaku."