Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

HUT ke-11 DPD RI

1 Oktober 2015   17:56 Diperbarui: 1 Oktober 2015   17:56 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menyambut hari ulang tahun (HUT) ke-11 DPD RI, Ketua DPD RI Irman Gusman menyampaikan pidato tunggal di plaza Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (1/10/2015). Seusai itu, Ketua DPD RI memotong tumpeng sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. Memeriahkan momen istimewa itu, DPD RI menyelenggarakan pameran foto. Secara simbolis, Ketua DPD RI melepas tirai master foto sekaligus menandatanganinya, mengikuti sesi foto bersama para senator lainnya, dan meninjau pameran foto. DPD RI juga melakukan kegiatan donor darah sebagai sumbangsih kepada dunia kemanusian dan wujud kepedulian sosial, khususnya dalam penyediaan darah. 

Dalam pidato tunggalnya bertema “DPD RI Menyikapi Permasalahan Bangsa”, Ketua DPD RI Irman Gusman menyatakan, “Usia 11 tahun justru menambah semangat agar kami makin kuat. Apalagi, kami diberikan vitamin lewat putusan MK (Mahkamah Konstitusi).” Dia menyinggung putusan MK tanggal 22 September 2015 yang memperkuat proses pengusulan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) model tripartit sebagaimana putusan MK tanggal 27 Maret 2013 ihwal konstitusionalitas kewenangan legislasi DPD RI. 

Selama 11 tahun masa pengabdiannya kepada rakyat, daerah, bangsa, dan negara, DPD RI menghasilkan 518 keputusan, yakni 57 usulan RUU, 237 pandangan dan pendapat, 18 pertimbangan, 58 pertimbangan anggaran, 148 hasil pengawasan, dan 6 usulan program legislasi nasional (prolegnas). “Kalau dibagi 10, rata-rata 50 buah per tahun,” tukasnya di hadapan para senator, termasuk Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad, insan pers, dan undangan lainnya. 

Di bidang legislasi, dari seluruh RUU usulan DPD RI, 25 RUU disahkan menjadi undang-undang oleh DPR RI dan Pemerintah (Presiden RI). Salah satunya, RUU Kelautan yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. RUU itu adalah RUU usul inisiatif pertama DPD RI yang proses penyusunan dan pembahasannya menerapkan model tripartit oleh tiga lembaga negara yang setara, yakni DPR RI, DPD RI, dan Pemerintah. 

Putusan MK tanggal 27 Maret 2013 ihwal konstitusionalitas hak dan/atau wewenang legislasi DPD RI, MK memutuskan bahwa DPD RI berhak dan/atau berwenang mengusulkan RUU tertentu dan membahas RUU tertentu itu sejak awal hingga akhir, kendati DPD RI tidak terlibat persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU). MK juga memutuskan DPR RI, DPD RI, dan Pemerintah menyusun prolegnas. Berikutnya, putusan MK tanggal 22 September 2015 justru memperkuat proses pengusulan dan pembahasan RUU model tripartit tersebut, plus kemandirian anggaran DPD RI. 

Ucapan rasa syukur

Berkat perjuangan DPD RI itu, dari 160 RUU yang termasuk Proglegnas Tahun 2015-2019, 52 RUU atau 32 persen substansi dan materinya sesuai usulan DPD RI. Dari 37 RUU yang termasuk Prolegnas Prioritas Tahun 2015, 12 RUU atau 32,5 persen substansi dan materinya sesuai usulan DPD RI. Bahkan, dua di antaranya adalah RUU Wawasan Nusantara dan RUU Perkoperasian, sepenuhnya RUU usul inisiatif DPD RI. 

Tak lupa, Irman mengucapkan rasa syukurnya untuk momen istimewa HUT ke-11 DPD RI. “Tidak betul ucapan yang menyatakan kami tidak responsif. Kami terus menerus bekerja. Berbagai produk politik itu menjadi bahasan kami bersama DPR RI dan Presiden.” 

Selaku anggota Fraksi Utusan Daerah (FUD) Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) tahun 1999, dia mengaku mengikuti sejak awal kelahiran DPD RI. “Tanggal 1 Oktober 2004, lahirlah sebuah lembaga perwakilan, namanya DPD RI. Sebagai salah satu pelaku sejarah, saya mengikutinya sejak awal. Di ujung era rezim Orde Baru, daerah-daerah bergejolak, dari ujung timur ke ujung barat. Karena dalam sebuah bangsa, mereka tidak merasakan pembangunan yang adil dan merata. Memang kita membangun, tapi terlalu Jakarta sentris. Sehingga, makin jauh dari Jakarta, makin jauh pula wujud kesejahteraan rakyat itu.”    

Sembari mengulas sejarah masa lalu itu, Irman berefleksi dan merenung bahwa tahun 1999 bermunculan banyak skenario masa depan Indonesia. Sebagian pihak meramalkan Indonesia akan mengikuti jejak sejarah Uni Soviet yang terpecah-pecah menjadi sejumlah negara merdeka. Bentuk negaranya berubah dari kesatuan ke federal, atau bahkan konfederasi. “Di Indonesia diramalkan akan terjadi Balkanisasi,” ucapnya sembari mengutip bait puisi penyair Taufiq Ismail berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” yang ditulis antara bulan Mei - Oktober 1998. 

Tapi, sebagian pihak justru meramalkan Indonesia akan kokoh. “Karena mampu melewati situasi dan kondisi tahun 1999, justru kita akan mengokohkan bentuk negara kita.”   

Sidang MPR RI masa itu menyimpulkan bahwa Indonesia menerapkan sistem yang salah, karena selama ini posisi daerah sebagai subordinat pusat. Oleh karena itu, MPR RI merekomendasikan pemberlakukan desentralisasi dan otonomi daerah dan reformasi lembaga perwakilan yang melahirkan DPD RI sebagai “jembatan” kepentingan pusat dan daerah. “Ketika itu, sistemnya yang salah, bukan daerah beserta rakyatnya. Masa itu daerah hanya subordinat pusat. Padahal, kita negara yang besar dan majemuk.” 

Sebagai gambaran posisi daerah dalam konstelasi nasional, Irman mengutip ucapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengibaratkan menteri-menterinya sebagai tangan kanan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sektoral, sementara gubernur-gubernur sebagai sebagai tangan kiri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang teritorial. “Gubernur-gubernur itulah perpanjangan tangan pusat di daerah.” 

Dia menyinggung urgensi kebutuhan membenahi sistem ketatanegaraan saat ini. “17 tahun kita mempraktikkan sistem ketatanegaraan saat ini. Ternyata sistem saat ini masih harus kita benahi. Penataan sistem ketatanegaraan itu adalah keniscayaan. Tentu saja kami pun ingin menata lembaga perwakilan ini. Penataan ini bukan hanya soal DPD RI. Agenda saya tidak ada hari kosongnya. Paling-paling, kalau tidak di kantor, saya di rumah dinas. Inilah tanggung jawab kami untuk meletakkan dasar-dasar pembangunan bangsa dan negara melalui DPD RI. Bukanlah semangat tanpa landasan.” 

Dalam laporannya, Sekretaris Jenderal DPD RI Sudarsono Hardjosoekarto menjelaskan, kendati usianya 11 tahun, tapi prestasi DPD RI sudah tercatat dalam lembaran kerja lembaga legislatif di pusat. “Usia memang masih muda, tapi DPD RI mengalami banyak dinamika dalam perjalanan yang tidak mudah. Hingga kini, DPD RI masih mengemban amanah sejarah dan harapan perubahan dalam menata sistem ketatanegaraan serta pemerataan pembangunan nasional di daerah-daerah. Dalam konteks membangun negeri, kita jadikan peringatan ini sebagai momen untuk berintrospeksi.” 

Pameran foto

Kepada para jurnalis yang ngepos di kompleks parlemen, Irman mengucapkan terimakasihnya. Dia menyebut pers sebagai “mitra setia” yang meliput kegiatan para senator. “Media ini kadang-kadang jadi teman dekat, kadang-kadang jauh dikit. Sebagai teman dekat, kami terima apa pun beritanya. Sepahit apa pun beritanya, kami terima dengan sikap rendah hati. Namun, kami bisa merasakan, teman-teman media sesungguhnya memiliki harapan dan kecintaan kepada DPD RI ini.” 

Kisah menyusuri perjalanan yang tidak mudah itu terekam dalam pameran foto. Pameran foto 11 tahun usia DPD RI adalah fragmen ketika lakon pimpinan/anggota DPD RI terabadikan dalam bidikan lensa jurnalis foto atau wartawan foto. Rangkaian foto Pameran Foto “11 Tahun DPD RI dalam Bidikan Lensa” merekam lakon DPD RI itu. “Warna-warni tersaji lengkap. Seakan bidikan lensa jurnalis foto hendak menyatakan, ‘kamera tidak pernah berbohong…’ “ 

Suatu waktu kelak, sambungnya, foto-foto ini menjadi penanda sejarah kenegaraan dan kebangsaan kita karena upaya jurnalis foto yang mengabadikan peristiwa dari jarak sedekat mungkin. Berbeda dengan fotografi umumnya, jurnalis foto berupaya untuk menceritakan aktivitas. Dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis foto berusaha tidak mengganggu dan mempengaruhi acara serta bersikap hati-hati dan sering kali diam-diam. 

Sudarsono mengelompokkan jurnalisme foto sebagai aliran fotografi tersulit. Mengapa? Sebab jurnalisme foto dinilai dari berapa jelas dan kuat cerita dalam foto. 

Selain itu, jurnalisme foto mementingkan momen puncak. “Jangan sempat lewat, momen tidak bisa diulang,” tegasnya. Karena mementingkan momen puncak itu, jurnalis foto dituntut untuk mengambil momen tanpa instruksi. Jurnalis foto juga dituntut untuk menjunjung kode etik jurnalisme seperti meliput tanpa mengubah atau memanipulasi isi foto yang akan mengubah persepsi pembaca berita. 

“Menginjak usia DPD RI yang ke-11 tahun, kami berharap, pers semakin banyak meliput lakon pimpinan/anggota DPD RI. Selama 11 tahun kami bekerja, telah banyak yang kami lakukan. Namun, semuanya tidak bermakna apa-apa tanpa liputan pers,” pungkas Sudarsono.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun