Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Peran Daerah Dirampok oleh Parpol”

12 Oktober 2012   08:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:54 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Republik Indonesia dibangun, dibentuk, dan ditegakkan oleh daerah. Daerahlah sesungguhnya ibu kandung republik ini. Kekuasaan daerah dilembagakan melalui kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) tapi saat bersamaan fungsi, tugas, dan wewenangnya dibonsai. Peran daerah saat pengambilan kebijakan nasional dirampok oleh partai politik (parpol).

Sewindu usia DPD memang terjadi poses evolusi fungsi legislasi, juga agregasi dan artikulasi kepentingan. Tapi perkembangannya belum bisa optimal untuk memenuhi aspirasi rakyat karena mekanisme pelaksanaan fungsi, tugas, wewenang DPD terbatas dalam UUD 1945, utamanya ketika ikut membahas rancangan undang-undang (RUU) bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah.

Demikian benang merah pendapat dalam Perspektif Indonesia DPD bertema “Kiprah DPD di Tengah Pusaran Masalah Bangsa” di Pressroom DPD, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (5/10). Narasumbernya budayawan, sastrawan, dan pekerja teater Radhar Panca Dahana, dosen hukum tata negara Universitas Esa Unggul Andi Irmanputra Sidin, Managing Director ECONIT Advisory Group Hendri Saparini, dan Sekretaris Jenderal DPD Siti Nurbaya Bakar.

Radhar Panca menegaskan bahwa Republik Indonesia dibangun, dibentuk, dan ditegakkan oleh daerah. Sayangnya, sejak kemerdekaan perannya dirampok oleh partai politik (parpol). “Cuma sejak kemerdekaan perannya dirampok oleh parpol. Emangnya parpol mana yang mendirikan republik ini? Ndak ada. Tokoh-tokoh bangsa ini munculnya dari daerah. Dari Maluku, Sulawesi, Flores, Jawa, Sumatera. Mereka jong ini, jong itu.”

“Mereka komunitas daerah yang di sini (Jakarta) menyatukan dan menyatakan dirinya sebagai bagian sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Yang dilakukan Sultan Hamengku Buwono IX contohnya, ketika kerajaannya dilesakkan ke negara kesatuan bernama Republik Indonesia, itu nggak partai, dia daerah.”

“Jadi, kontribusi daerah tidak hanya signifikan, dia sesungguhnya ibu kandung republik ini. Reformasi meluruskan sejarah. Tapi lurusannya masih mbengkok, nggak lempang banget. Kekuasaan dan kewenangan daerah dilembagakan (melalui kehadiran DPD) tapi saat bersamaan (fungsi, tugas, dan wewenangnya) dibonsai. Pembonsaian ini, bukan saja mengkhianati sejarah asal republik, juga mengkhianati masa depan.”

“Kalau masa lalu kita dibangun, dibentuk, dan ditegakkan oleh daerah, masa depan kita juga ditentukan oleh daerah. Penjelasannya mudah. Secara yuridis, politis, ekonomis bahwa basis kekuatan demokrasi kita di daerah, bukan di pusat, bukan parpol. Oleh karena itu, posisi dan peran lembaga perwakilan daerah harus lebih atas dari DPR. Bukan demi kepentingan sempit sekelompok elit, tapi kepentingan riil daerah.”

Menurutnya, “Semangat DPD adalah semangat membawa aspirasi daerah. Semangat membawa aspirasi daerah itu merupakan power sebenarnya negeri ini. Power kita ndak di Jakarta, power kita di daerah. Dia nyum plak di Jakarta. Jakarta ndak disumbang, Jakarta merampoknya. Dimakan orang-orang besar di sini.”

“Biarkanlah orang-orang daerah menegakkan dirinya, menegakkan tubuhnya, menegakkan eksistensinya. Begitu semua daerah tegak, tegaklah bangsa ini, tegaklah negeri ini, jayalah kita di masa nanti.”

Irmanputra menjelaskan, tiga kamar di kompleks parlemen memiliki fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kelahiran DPD merupakan wujud upaya penguatan daerah. Waktu komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dicetuskan tahun 1945, penguatan daerah agar mandiri juga diwacanakan. “Namun belum menjadi kesepakatan konstitusional. Mungkin karena Indonesia yang baru merdeka. Kalau masing-masing daerah diberikan kemandirian maka NKRI bisa cepat bubar.”

Seiring perjalanan sejarah hingga tahun 1998, implementasi trickle down effect, yang digadang-gadang Orde Baru sebagai teori pembangunan ekonomi, terbukti gagal. “Nggak netes ke daerah. Jangankan ngalir, netes aja nggak. Daerah pun bersuara, menolak. Daerah enggan hanya menjadi penonton dalam pengelolaan kebijakan negara. Daerah harus menjadi aktor utama atau penentu.”

“Daerah bersuara, ‘Tidak bisa hanya DPR kumpul-kumpul dengan Presiden, keluarlah undang-undang, daerah pelaksananya.’ Padahal daerah yang punya republik ini. Inilah yang menjadi kesepakatan konstitusional, lalu perubahan undang-undang dasar melahirkan pasal 18 yang menyatakan daerah mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri. Sampai di sini perjuangan daerah berhasil.”

“Namun, untuk menjadi aktor utama, stamina daerah ngos-ngosan. Mulai habis. Akhirnya implementasi undang-undang dasar hanya menjadikan daerah cukup sebagai aktor pembantu. DPD saya sebut daerah. Dia hanya memberikan pertimbangan, mengajukan usul, ikut membahas. Ini ketimpangan struktur ketatanegaraan kita.” Karenanya, pilihan terbaik bagi DPD ialah menempuh judicial review (uji materi) undang-undang yang membonsai fungsi, tugas, dan wewenangnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) menerima berkas permohonan uji materi yang diajukan DPD terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3) hari Jumat (14/9) pagi di Aula MK.

“Biarkanlah politik hukum lewat judicial review yang menentukan peran daerah. Jadi, filosofi DPD ialah memperjuangan kepentingan daerah. Selama delapan tahun usia DPD banyak kepentingan daerah yang diperjuangkan. Cuma bagaimana mengelola kewenangannya dan publik mengakuinya, tidak mudah bagi DPD. Apalagi, rezim informasi memiliki logikanya sendiri.”

Hendri Saparini menambahkan, membangun daerah tidak cukup hanya dengan dana transfer dari pusat. Daerah seyogyanya juga terlibat perencanaan pembangunan. “Perencananya bukan daerah, dana itu yang dibawa ke daerah. Lebih aneh lagi, subsidi BBM (bahan bakar minyak) subsidi pupuk dianggap dana yang didaerahkan. Wong daerah nggak bikin kebijakan itu sama sekali kok. Indonesia memang terdiri atas daerah-daerah, anggaran apa pun nantinya dialokasikan ke daerah. Tapi jangan dianggap dana itu didaerahkan. Salah.”

Kalau pemerintah menyatakan pihaknya mengalokasikan Rp 518 triliun dana yang didaerahkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka pernyataan tersebut salah. “Apalagi kewenangan daerah, melalui wakilnya di DPD, tidak besar dalam pembahasan APBN 2013. Kalau DPD menyatakan pendapat tidak sepakat, bagaimana? Lewat saja kok. Padahal, daerah rohnya republik ini. Tapi mengapa DPD tidak punya kewenangan pembahasan APBN 2013 untuk membangun daerah? Istilah saya, DPD hanya komentator, sekadar hanya didengar.”

Menurutnya, yang paling mengetahui masalah di daerah adalah daerah sendiri, bukan parpol. DPD yang mengoreksi kebijakan nasional yang merugikan daerah seperti undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan pusat-daerah. “Banyak studi menyimpulkan daerah yang kaya sumberdaya alam justru masyarakatnya miskin. Di wilayah timur Indonesia, pertumbuhan ekonominya tinggi tapi masyarakatnya sengsara. Siapa yang memperjuangkan? Parpol tidak berjuang per daerah. Yang memperjuangkannya daerah sendiri.”

Kebijakan nasional yang dikoreksi termasuk paradigma dan strategi pembangunan ekonomi yang berlaku. “Indonesia memiliki budaya ekonomi yang luar biasa karena beberapa kegiatan ekonominya mengakar di masyarakat. Sekarang dilibas oleh paradigma dan strategi pembangunan ekonomi yang berlaku. Misalnya, daerah memiliki model keuangan mikro yang khas seperti arisan. Justru undang-undang lembaga keuangan mikro tidak mengakui kegiatan ekonomi masyarakat yang khas.”

Siti Nurbaya mengakui, sewindu usia DPD memang terjadi poses evolusi fungsi legislasi, juga agregasi dan artikulasi kepentingan. Tetapi perkembangannya belum bisa optimal untuk memenuhi aspirasi rakyat karena mekanismenya terbatas dalam UUD 1945, utamanya ketika ikut membahas RUU bersama DPR.

“Sewindu usia DPD, terjadi proses evolusi. Selaku mantan Sekretaris Jenderal Depdagri dan sekarang Sekretaris Jenderal DPD sejak tahun 2006, saya tahu persis dan mengikutinya,” Siti Nurbaya menyatakannya.

Ia mengikuti perkembangan DPD sejak tahun 1998 ketika menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri (Depdagri) yang namanya berubah menjadi Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri). Siti Nurbaya terlibat mendesain DPD dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Susduk). UU 27/2009 menggantikan UU Susduk.

Menurutnya, proses evolusi terjadi menyangkut pelaksanaan fungsi legislasi. “Aspirasi rakyat ditindaklanjuti ke kancah politik nasional. Mekanismenya bersama DPR. Saya tidak membayangkan desainnya seperti ini. Perkembangan ini pun belum bisa optimal untuk memenuhi aspirasi rakyat. Ada mekanisme yang bolong, hanya teknis tertentu.

Judicial review ini akan memberi jawaban, baik untuk DPR maupun DPD, bagaimana sebetulnya terjemahan proses legislasi antara DPR dan DPD menurut UUD. Jadi, persoalannya bukan DPD minta kewenangan, atau minta yang lain. Semuanya dalam undang-undang tetapi belum optimal operasionalnya. UU 27/2009 lebih baik daripada UU 22/2003 tetapi ada mekanismenya bolong.”

“Saya dan Ibu Nining (Sekretaris Jenderal DPR Nining Indra Saleh) kompak. Tapi Ibu Nining juga kesulitan karena aturan mainnya belum jelas dan tegas bagaimana menindaklanjuti usulan DPD,” Siti Nurbaya menyambung.

Proses evolusi juga terjadi menyangkut agregasi dan artikulasi kepentingan. Proses evolusi terjadi karena DPD menjadi tempat mediasi sebagai upaya penyelesaian konflik yang membantu pihak-pihak bersengketa mencapai penyelesaian atau solusi. “DPD menjadi tempat mediasi. Kalau ada masalah di daerah, rakyat datang ke Jakarta, DPD mengundang menteri dan direktur jenderalnya, atau kalau perlu pimpinan DPD mengadakan pertemuan konsultasi dengan presiden. Akhirnya masalah itu bisa selesai.”

Karena memperjuangan agregasi dan artikulasi kepentingan, Siti Nurbaya mengatakan, DPD menjadi “melting pot” atau wadah (pot) bercampur warganegara berbagai etnis, agama, dan budaya karena berbagai kepentingan. “Dulu kita mengenal wawasan nusantara sebagai forum lintas etnis, agama, dan budaya, kini di DPD tempatnya. Sidang-sidang paripurna DPD membuktikannya. DPD bisa berkembang menjadi lembaga yang betul-betul mengisi peran daerah. Proses evoluasinya nyata.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun