Penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Adipati Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta adalah fakta sejarah yang diwariskan. Cara suksesi tersebut satu poin keistimewaan Yogyakarta. Poin lainnya ialah keraton dan kebudayaan, pertanahan, pendidikan, dan pariwisata. Tapi, Jakarta “mengusik” keistimewaan Yogyakarta.
Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta beserta naskah akademiknya sebagai usul inisiatif DPD. Setelah diputuskan, selanjutnya draft RUU beserta naskah akademiknya versi DPD diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden.
Masa Sidang I Tahun Sidang 2010-2011, Komite I DPD melanjutkan penyelesaian beberapa rancangan undang-undang yang belum dirampungkan masa sidang sebelumnya, baik RUU berupa usul inisiatif DPD maupun review beberapa RUU yang disahkan dan diputuskan DPD periode 2004-2009. RUU Keistimewaan Yogyakarta termasuk yang dilanjutkan.
“Kami menyepakati mekanisme kepemimpinan DIY tidak melalui pemilihan tapi penetapan Hamengku Buwono yang bertahta (jumeneng) dan Paku Alam yang bertahta (jumeneng) sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur,” Ketua Komite I DPD Dani Anwar (anggota DPD asal DKI Jakarta) membaca Laporan Perkembangan Pelaksanaan Tugas Komite I DPD saat Sidang Paripurna DPD, Selasa (26/10).
Gubernur dimaksud adalah Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah Provinsi DIY, sedangkan Wakil Gubernur dimaksud adalah Wakil Kepala Daerah Provinsi DIY. DIY setingkat provinsi yang meliputi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
Mekanisme penetapan Hamengku Buwono sebagai pemimpin budaya tertinggi di Kasultanan dan Paku Alam sebagai pemimpin budaya tertinggi di Kadipaten ditentukan sesuai dengan suksesi ala Kasultanan dan Kadipaten. Mereka Dwi Tunggal Hamengkoni Agung DIY.
Dani menyambung, “Komite I DPD dalam Sidang Paripurna DPD kali ini meminta persetujuan anggota DPD agar RUU tentang Daerah Istimewa Yogyakarta disahkan menjadi RUU usul inisiatif DPD, untuk selanjutnya disampaikan kepada DPR dan Pemerintah.”
“Setelah mendengar Laporan Komite I DPD, apakah kita menyetujui usul inisiatif DPD atas Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Istimewa Yogyakarta? Setuju?” Ketua DPD Irman Gusman (Sumatera Barat) bertanya kepada seluruh anggota DPD.
“Setuju...” koor anggota-anggota DPD.
Irman pun mengetuk palunya dua kali. Ia memimpin Sidang Paripurna DPD didampingi dua Wakil Ketua DPD, Laode Ida (Sulawesi Tenggara) dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas (DIY).
Materi ayat, pasal, dan/atau bagian RUU beserta naskah akademiknya diharmonisasi Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD. Rapat koordinasi pimpinan DPD dengan pimpinan alat kelengkapan DPD tanggal 25 Oktober 2010 memutuskan RUU beserta naskah akademiknya dilaporkan pimpinan Komite I DPD ke Sidang Paripurna DPD.
Atas hasil Sidang Paripurna DPD, tanggal 10 November 2010 pimpinan DPD mengirim surat dilengkapi naskah akademik dan draft RUU versi DPD kepada pimpinan DPR. Sepekan kemudian, Komite I DPD mengirim surat yang sama kepada pimpinan Komisi II DPR.
Komite I DPD berupaya untuk mempercepat pembahasan RUU, antara lain beraudiensi dengan Presiden setelah pimpinan DPD mengirim surat ke Presiden. Belakangan, Presiden menyerahkannya kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Seharusnya, Rabu (13/10) acaranya tapi batal karena Mendagri mengikuti rombongan Presiden ke Wasior, Papua Barat, guna meninjau korban dan lokasi bencana banjir bandang.
Sebelum merampungkan RUU Keistimewaan Yogyakarta, Komite I DPD menyiapkan Hasil Pengawasan Komite I DPD Terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sidang Paripurna DPD menyahkannya sekaligus cara suksesi kepemimpinan DIY melalui penetapan Hamengku Buwono yang bertahta dan Paku Alam yang bertahta.
“Komite I DPD meminta Sidang Paripurna DPD menyikapi suksesi kepemimpinan DIY,” Dani membaca Laporan Perkembangan Pelaksanaan Tugas Komite I DPD di Gedung Nusantara V, Jumat (3/9). Sidang Paripurna DPD dipimpin Irman.
Menyadari silang pendapat perihal keistimewaan Yogyakarta, Komite I DPD menegaskan bahwa kelahiran RUU Keistimewaan Yogyakarta tidak sekadar kepentingan masyarakat Yogyakarta, juga kepentingan memperkuat Republik Indonesia. Hasil Pengawasan Komite I DPD disampaikan DPD kepada Presiden dan DPR.
Sebagai wujud kesiapannya, Komite I DPD merampungkan naskah akademik dan draft RUU Keistimewaan Yogyakarta. “Komite I DPD menyiapkan rumusan penetapan,” Dani menyambung. “Jika Pemerintah hingga tanggal 20 September 2010 tidak jua mengajukan ke DPR, Komite I DPD akan mengajukannya sebagai RUU usul inisiatif DPD ke DPR.”
Irman menambahkan, RUU Keistimewaan Yogyakarta diproyeksikan sebagai prioritas kesatu pembahasan DPD Masa Sidang I Tahun Sidang 2010-2011 bersama RUU Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah, RUU Pemerintahan Daerah, RUU Desa, dan RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jika Presiden Ragu-ragu
Selama membahas Hasil Pengawasan Komite I DPD, semula tenggat waktu (deadline) Komite I DPD adalah Idul Fitri 1431 H. “Kita tunggu sampai habis lebaran. Kalau Presiden ragu-ragu, tanggung jawab DPD mengajukannya ke DPR,” Dani menegaskannya sebelum menutup Sidang Pleno Komite I DPD di Gedung DPD Kompleks Parlemen, Rabu (1/9). Sidang Pleno membahas hasil pengawasannya terhadap pelaksanaan UU 3/1950.
Persoalannya, Presiden tidak segera mengajukan RUU Keistimewaan Yogyakarta ke DPR. Ketua Tim Kerja RUU Keistimewaan Yogyakarta Komite I DPD Paulus Yohanes Sumino (Papua) mengatakan, Presiden tidak usah takut dituduh melanggar hukum jika mendukung penetapan. “Karena RUU Keistimewaan Yogyakarta adalah lex specialist (berlaku khusus), bukan lex generalist (berlaku umum).”
Kesimpulan dan rekomendasi Hasil Pengawasan Komite I DPD menyimpulkan formulasi keistimewaan Yogyakarta mencakup empat pilar, yakni sistem pertanahan, keraton sebagai pusat kebudayaan, kota pendidikan dan wisata, serta sistem kepemimpinan yang dualistik (sintesis antara ciri kharismatik dan rasional). Empat pilar menjadi sumberdaya potensial untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran DIY, baik kebutuhan dasar materiil maupun spirituil.
“Berdasarkan fakta historis, sosiologis, dan pengakuan yang meluas demi kepentingan bangsa keseluruhan, maka keistimewaan Yogyakarta memerlukan kepastian hukum.” Lebih setengah abad, UU 3/1950 menjamin dan mengukuhkan eksistensi DIY berdasarkan perspektif filosofis, historis, yuridis, dan sosiologis yang direpresentasikan Dwi Tunggal Hamengkoni Agung (lembaga kepemimpinan tertinggi) Hamengku Buwono dan Paku Alam.
Isu krusial RUU Keistimewaan Yogyakarta adalah kewenangan DIY sebagai daerah otonom yang meliputi antara lain pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY secara demokratis serta pemisahan kekuasaan antara lembaga penyelenggara pemerintahan dengan kasultanan dan kadipaten.
Mengapa lama penyusunan/pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta? Ternyata, Presiden masih menyoal penetapan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur (Kepala Daerah) dan Wakil Gubernur (Wakil Kepala Daerah) DIY tanpa pemilihan langsung oleh rakyat. Keberatan yang membuntukan pembahasan dan pengesahan RUU antara DPR periode 2004-2009 dan Pemerintah.
Sikap Pemerintah tidak berubah hingga kini. Menyangkut pengisian jabatan, draft RUU Keistimewaan Yogyakarta versi Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) mengatur sumber pasangan calon adalah Hamengku Buwono dan Paku Alam yang bertahta, kerabat keraton kasultanan dan kadipaten, serta umum.
Prolegnas Prioritas 2010
Laporan Akhir Pelaksanaan Tugas Komite I DPD akhir masa jabatan 2009-2010 menyinggung penyusunan/pembahasan RUU, yaitu RUU dalam list (daftar) Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010-2014 dan RUU kumulatif. Salah satu RUU Prolegnas Prioritas 2010 ialah RUU Keistimewaan Yogyakarta.
Ketua Komite I DPD waktu itu, Farouk Muhammad (Nusa Tenggara Barat), yang membaca Laporan Akhir Pelaksanaan Tugas Komite I DPD di Sidang Paripurna DPD, Selasa (3/8), mewakili dua Wakil Ketua Komite I DPD, Eni Khairani (Bengkulu) dan Wasis Siswoyo (Jawa Timur).
Ketika Sidang Paripurna DPD tanggal 15 Maret 2010, Komite I DPD menyatakan sedang menyempurnakan naskah RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950. Komite I DPD juga menyiapkan pandangan dan pendapatnya sedangkan Pemerintah berencana mengajukan RUU versinya ke DPR.
Rencana pengajuan Pemerintah diketahui setelah Tim Kerja RUU Keistimewaan Yogyakarta Komite I DPD kunjungan kerja ke Kantor Kemdagri tanggal 20 Mei 2010. Kepada Tim Kerja, Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan pihaknya menyiapkan RUU dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengajukannya ke DPR. Hingga deadline RUU Keistimewaan Yogyakarta tidak diajukan Presiden, sehingga Komite I DPD tidak menyiapkan pandangan dan pendapatnya.
Ketika kunjungan kerja ke Yogyakarta tanggal 21 Juli 2010, Tim Kerja Komite I DPD menemui Hamengku Buwono X. “Masyarakat Yogyakarta mengharapkan Pemerintah bersama DPR dan DPD membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta. Kepentingannya mendesak mengingat perpanjangan masa jabatan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX selaku Gubernur dan Wakil Gubernur berakhir tahun 2011,” Farouk mengatakannya.
Menyikapi perkembangan dan mempertimbangkan aspek-aspek historis, budaya, dan konstitusi, terutama ‘ijab qabul’ Pemerintah Republik Indonesia dengan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII maka Komite I DPD menyatakan suksesi kepemimpinan DIY melalui penetapan Hamengku Buwono yang bertahta dan Paku Alam yang bertahta sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.
Komite I DPD mendesak pimpinan DPD untuk mengajukan permohonan rapat konsultasi antara pimpinan DPD dan Presiden. Jika terlaksana, pimpinan DPD didampingi Tim Kerja RUU Keistimewaan Yogyakarta Komite I DPD.
Awalnya “Review” UU 3/1950, Akhirnya RUU Usul Inisiatif
Laporan Perkembangan Pelaksanaan Tugas Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang disampaikan pada Sidang Paripurna DPD Masa Sidang IV Tahun Sidang 2009-2010 di Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (3/9/2010), dibaca ketuanya, Dani Anwar (asal DKI Jakarta), menyinggung penyusunan hasil pengawasan.
Awalnya, Komite I DPD merencanakan review materiil ayat, pasal, dan/atau bagian RUU Keistimewaan Yogyakarta yang disusun DPD periode 2004-2009 disertai penyempurnaan.Substansi pokok bahasan menyangkut penyesuaian klausul suksesi kepemimpinan (Gubernur dan Wakil Gubernur) di Yogyakarta, karena aspirasi masyarakat yang terkini menginginkan mekanismenya adalah penetapan sebagaimana berlaku selama ini.
Seiring perkembangan Komite I DPD menyepakati agar terlebih dahulu melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kesepakatan tersebut Komite I DPD mencermati perubahan sosial politik yang dinamis di DIY.
Karena penting menindaklanjuti aspirasi masyarakat Yogyakarta mengenai status keistimewaan Yogyakarta, khususnya suksesi kepemimpinan, maka Komite I DPD mengharapkan Sidang Paripurna DPD hari itu mengesahkan Hasil Pengawasan Komite I DPD terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai produk pengawasan DPD.
Akhirnya, sebagai tindak lanjutnya, Komite I DPD mengubah rencananya, dari review menjadi sebatas menyusun Pandangan dan Pendapat Komite II DPD terhadap RUU Keistimewaan Yogyakarta, asalkan Presiden mengajukan RUU. “Jika Presiden hingga tanggal 20 September 2010 tidak/belum mengajukan RUU kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maka Komite I DPD mengajukan RUU usul inisiatif, yaitu RUU Keistimewaan Yogyakarta kepada DPR.
Naskah Akademik dan Draft RUU Keistimewaan Yogyakarta
Ikhtisar
Pelestarian keistimewaan Yogyakarta tidak saja keniscayaan sejarah dan konstitusi, juga fakta politis yang sukar dihapuskan oleh zaman yang berubah. Alasannya, kesatu, fakta sejarah Yogyakarta dalam Perjanjian Gianti 1755 sebagai “negara berdaulat” yang jelas wilayah dan penduduknya.
Kedua, keistimewaan Yogyakarta terpatri kuat setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Yogyakarta sebagai daerah istimewa ditandai oleh dualisme kepemimpinan. Di satu pihak, Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Adipati Paku Alam sebagai sistem kepemimpinan kerajaan atau pemimpin komunitas adat dengan Keraton dan Puro adalah tempat di mana kekuasaannya di tanah Jawi, didukung masyarakatnya (Kawulo Ngayogyakarto Hadiningrat) dan sistem hukum adat (Pepakem Ndalem), yang sejak dulu hingga kini masih berlaku. Di lain pihak, dalam waktu yang bersamaan, Hamengku Buwono IX sebagai Gubernur dan Paku Alam VIII sebagai Wakil Gubernur menjalankan roda pemerintahan dan birokrasi modern.
Ketiga, keistimewaan Yogyakarta menjadi alasan sangat kuat untuk dilestarikan oleh karena alasan yuridis konstitusional, karena the founding fathers memaktubkannya dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai sumber hukum tertinggi peraturan perundang-undangan lainnya “... dengan menghormati hak-hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa”.
Jaminan keistimewaan Yogyakarta berkesinambung konsisten dalam beberapa peraturan perundang-undangan, baik masa Orde Lama, Orde Baru, maupun Orde Reformasi. Dari tiga argumentasi tersebut, tidak berlebihan bila pengakuan keistimewaan Yogyakarta hanya diberlakukan di DIY. Kedudukan status DIY hanya satu-satunya dalam negara Republik Indonesia yang masih didukung oleh masyarakat Yogyakarta, khususnya, dan masyarakat Indonesia, umumnya.
Kehendak untuk mereorientasikan penguatan keistimewaan Yogyakarta karena beberapa alasan yang signifikan. Setelah mengkaji Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 ditemukan persoalan utama bahwa undang-undang tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan. Materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU 3/1950 menyerupai konstitusi karena terlalu pendek dan sederhana, sehingga banyak masalah keistimewaan tidak terjawab. Penyempurnaannya harus mematuhi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Persoalannya, penyusunan/pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta, baik konseptual maupun operasional, tidak berujung pangkal. Sementara, Presiden, DPR, dan DPD sangat antusias mengesahkan undang-undang otonomi khusus untuk Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua (termasuk Papua Barat). Akankah keistimewaan Yogyakarta sirna seiring paripurnanya masa jabatan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tahun 2011?
Hak asal-usul yang dijadikan argumen keistimewaan Yogyakarta dalam draft RUU dan naskah akademiknya terdiri atas empat pilar utama, yaitu tanah sebagai modal kosmologis dan wilayah kekuasaan, keraton sebagai tempatdan pusat kebudayaan dan pariwisata, pendidikan, dan kepemimpinan DIY melalui penetapan.
Khusus kepemimpinan DIY melalui penetapan merupakan contoh pengecualian hukum khusus (lex specialis), sehingga penetapan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur DIY dan Wakil Gubernur DIY adalah hak konstitusional bersyarat (fundamental rights of constitusional condition). Makanya, penetapan sebagai ciri keistimewaan Yogyakarta tidak menyalahi konstitusi sepanjang masih berlaku dan masyarakat mendukungnya.
Penetapan sebagai intisari keistimewaan Yogyakarta terbentuk setelah kontrak politik jilid (1) Perjanjian Gianti 1755, jilid (2) Maklumat Pemerintahan Jepang (1944), dan jilid (3) Maklumat 5 September 1950.
Sungguh tidak beralasan kekhawatiran Pemerintah dan sebagian ahli yang menolak penetapan. Misalnya, jika Hamengku Buwono berhalangan tetap, baik karena faktor usia, kesehatan, hukum, maupun penggantinya belum jumeneng, diatur dalam Sistem Pemerintahan Keraton atau disebut paugeran (tatanan). Lainnya, jika Hamengku Buwono terlalu sepuh dan/atau terlalu muda, mekanismenya disebut Wali Palimbangan yang bertugas mendampingi Hamengku Buwono.
Masalah akuntabilitas Hamengku Buwono/Paku Alam yang merangkap jabatan juga bisa diatasi. Misalnya, jika Kepala Daerah memangku jabatan lain sebagai pejabat negara, pelaksanaan tugas Kepala Daerah dilaksanakan Wakil Kepala Daerah. Jika Wakil Kepala Daerah memangku jabatan lain sebagai pejabat negara, pelaksanaan tugas Wakil Kepala Daerah dilaksanakan Kepala Daerah. Konsep tersebut mempertahankan Dwi Tunggal Hamengkoni Agung DIY.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang selanjutnya disebut Kasultanan merupakan bagian daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdurachman Sayidin Panatagama Kalifatullah atau Sri Sultan Hamengku Buwono adalah Sultan dari Kasultanan.
Kadipaten Pakualaman yang selanjutnya disebut Kadipaten merupakan bagian daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam atau Sri Adipati Paku Alam adalah Adipati dari Kadipaten.
Bagaimana Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat bergabung dengan Republik Indonesia? Berikut amanat Hamengku Buwono IX yang diteken tanggal 5 September 1945.
AMANAT SRIPADUKA KANGDJENG SULTAN JOGJAKARTA
Kami HAMENGKU BUWONO IX, Sultan Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat menjatakan:
1. Bahwa Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat jang bersifat Keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2. Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini, segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.
3. Bahwa, perhubungan antara Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia bersifat langsung dan Kami bertanggung-djawab atas negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mengindahkan amanat Kami ini.
Ngajogjokarto Hadiningrat, 28 Puasa, Ehe 1976 (5 September 1945).
HAMENGKU BUWONO IX
Terpajang di diorama Serangan Oemoem 1 Maret yang tersimpan di Benteng Vredeburg, yang letaknya di depan Gedung Agung (Istana Negara) Jalan Ahmad Yani, Yogyakarta.
Sejarah
5 September 1945
Hamengku Buwono IX menyatakan kasultanannya bergabung dengan Pemerintah RI melalui amanat yang ditujukan kepada rakyatnya, Paku Alam VIII juga menyatakan kadipatennya bergabung melalui amanat serupa. 6 September 1945, Presiden RI Soekarno menjamin status istimewa dua kerajaan dalam Piagam Kedudukan.
6 Januari 1946-27 Desember 1949
Di Jakarta, keamanan memburuk. Pemerintah RI memindahkan ibukota ke Yogyakarta. Lebih kurang 3,5 tahun negara dikendalikan dari Yogyakarta.
Hamengku Buwono IX membuka peti harta Keraton. Dananya dibagi-bagi pegawai Pemerintah RI untuk kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Ia juga membantu keperluan pasukan gerilya.
4 Maret 1950
Pemerintah RI mengeluarkan UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Isinya, daerah Kasultanan dan Kadipaten menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta setingkat provinsi yang kerumahtangganya meliputi urusan umum; pemerintahan umum; agraria; pengairan, jalan-jalan, gedung; pertanian, perikanan; kehewanan; kerajinan, perdagangan dalam negeri, perindustrian, koperasi; perburuhan, sosial; pengumpulan bahan makanan dan pembagiannya; penerangan; pendidikan, pengajaran, kebudayaan; kesehatan; perusahaan.
Landasan
UU 3/1950
Daerah Kasultanan dan Kadipaten ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta setingkat provinsi.
UU 22/1948
Kepala daerah istimewa diangkat Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan mengingat adat istiadat daerah itu.
UU 5/1974
Kepala daerah dan wakil kepala daerah DIY tidak terikat ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah lainnya.
UU 22/1999
Keistimewaan Provinsi DIY sebagaimana dimaksud dalam UU 5/1974 adalah tetap.
UU 32/2004
Keistimewaan Provinsi DIY sebagaimana dimaksud dalam UU 22/1999 adalah tetap.
UUD 1945
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala daerah pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Tarik ulur
15 April 2002
Gubernur DIY membentuk tiga kelompok penyusun draft RUU Keistimewaan Yogyakarta. Ahli-ahlinya seperti Ryaas Rasyid, Koesnadi Hardjosoemantri, Sofian Effendi, Afan Gaffar, dan Riswanda Imawan. Draft dirampungkan dua bulan.
5 Juni 2003
Draft final RUU Keistimewaan Yogyakarta disepakati seluruh fraksi DPRD DIY dan diajukan ke DPR untuk dibahas dan disahkan bersama Pemerintah menjadi undang-undang.
22 Juni 2005
DPRD DIY mempertanyakan nasib RUU Keistimewaan Yogyakarta yang diajukan ke DPR tetapi tidak dibahas.
30 Juni 2005
Draft RUU Keistimewaan Yogyakarta diajukan DPRD DIY ke DPR.
24 Juli 2005
DPR belum membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta karena strukturnya berbeda dengan ketentuan UU 10/2004.
18 November 2005
DPR gagal me-list RUU Keistimewaan Yogyakarta dalam Prolegnas 2006.
18 April 2007
Hamengku Buwono X menyatakan tak ingin lagi menjabat sebagai gubernur setelah berakhir periode 2003-2008.
15 Juni 2007
Tim JIP UGM merampungkan draft RUU Keistimewaan Yogyakarta yang mengakui “parardhya”, lembaga yang terdiri atas Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai simbol, pelindung, penjaga, pengayom, dan pemersatu.
10 Oktober 2007
DPR me-list RUU Keistimewaan Yogyakarta sebagai usul inisiatif DPD dalam Prolegnas 2008.
24 Februari 2008
Warga Yogyakarta mendesak DPR membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta dan mensahkannya bersama Pemerintah menjadi undang-undang. Mereka menolak pemilihan gubernur/wakil gubernur dan menuntut penetapan Hamengku Buwono/Paku Alam sebagai gubernur/wakil gubernur.
5 Maret 2008
Hamengku Buwono X menegaskan, DPR yang berwewenang merumuskan undang-undang. Draft-draft RUU Keistimewaan Yogyakarta versi JIP UGM atau DPD bisa berubah.
5 November 2009
Semua fraksi DPRD DIY mendukung penetapan Hamengku Buwono/Paku Alam sebagai gubernur/wakil gubernur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H