Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ginandjar Kartasasmita: “Mestinya, Hari Lahir DPD Waktu Amandemen UUD Ditetapkan”

8 Maret 2012   06:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:22 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak kelahirannya, sejarah kiprah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tentunya tidak bisa dilepaskan dari peran Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD yang kesatu. Pada periodenya, DPD meretas jalan menjadi lembaga perwakilan rakyat yang berevolusi hingga masa-masa nanti. Tentu saja, usia enam tahun terlalu dini untuk menjadi ukuran sebuah lembaga negara jika dibanding usia Majelis Permusyarwaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Hari jadi DPD tidak merujuk pembentukan DPD setelah Sidang Paripurna MPR menetapkan perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tanggal 9 November 2001. Hari jadinya dihitung sejak pelantikan anggota DPD tanggal 1 Oktober 2004 sebagai hasil pemilihan umum (pemilu) tahun 2004 yang pertama kali memilih empat wakil anggota DPD setiap provinsi di Indonesia.

“Mohon dipertimbangkan, cek kepada ahli sejarah. Apakah hari lahir DPD waktu amandemen UUD ditetapkan, saya ikut menangatangani; atau waktu pelantikan anggotanya? Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus, presidennya dilantik tanggal 18 Agustus. Hari lahir DPD tidak harus sama dengan hari pelantikan anggotanya. Tanggal lahir Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) berdasarkan tanggal keluar keppres (keputusan presiden) pembentukannya.”

“Mestinya, hari lahir DPD waktu amandemen UUD ditetapkan,” begitu ucapan Ketua DPD periode 2004-2009, Ginandjar Kartasasmita, sebagai keynote speaker Diskusi Panel “Refleksi Enam Tahun DPD RI” di Plaza Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (1/9/2010). Refleksinya antara masa setelah amandemen, anggota DPD terpilih, dan menjelang tanggal 1 Oktober 2004.

Ya, tanggal 1 Oktober 2010 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atau DPD menginjak usia ke-6. Ginandjar memulai refleksinya selaku mantan Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG) yang ditugasi Ketua MPR Mohammad Amien Rais untuk membidangi perubahan atau amandemen UUD 1945. Memang, sejarah DPD seiring proses Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam meningkatkan kinerja DPD periode 2004-2009, ia menekankan beberapa poin. Antara lain, meningkatkan fungsi, tugas, dan wewenang DPD untuk memperkuat mekanisme checks and balances melalui amandemen kelima UUD 1945 serta mengembangkan pola hubungan dan kerjasama yang sinergis dan strategis dengan pemangku kepentingan utama di daerah dan pusat.

Johnny---panggilan akrabnya—terpilih sebagai anggota DPD tidak mengherankan banyak orang. “Jam terbang” yang lama, baik di pemerintahan maupun partai politik, adalah modalnya memenangi satu kursi DPD dari Jawa Barat. Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) (1959-1960), Tokyo University of Agriculture and Technology (1960-1965), dan Sekolah Tinggi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN); serta peraih doktor honoris causa dari Takushoku University (1994), Northeastern University (1994), dan Universitas Gajah Mada (1995) ini banyak berperan dalam pemerintahan sejak lama.

Setelah diangkat Presiden Soeharto sebagai Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (1983-1988), seterusnya Marsekal Madya Tentara Nasional Indonesia (purnawirawan) ini adalah Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (1985-1988), Menteri Pertambangan dan Energi (1988-1993), dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) (1993-1998).

Guru besar Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (1995-sekarang) dan profesor di Institute of Asia-Pasific Studies, Graduate School of Asia-Pasific Studies, Waseda University, ini dua kali menteri koordinator, yakni Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri merangkap Ketua Bappenas (Maret 1998-Mei 1998) dan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Mei 1998-September 1999).

Seiring karirnya di pemerintahan, karir lelaki kelahiran Bandung, Jawa Barat, 9 April 1941, ini juga melejit di partai politik dan MPR mewakili Golkar dan Partai Golkar. Sejak tahun 1982, Ginandjar adalah anggota MPR sekaligus anggota Badan Pekerja (BP) MPR. Jabatan antara lain anggota MPR merangkap Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) I BP MPR (1987-1997), Ketua Fraksi Golkar (1997-1999), dan Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Golkar (1999-2004).

“Awalnya nggak gampang”

Walaupun terbatas koridor dalam UUD 1945, DPD berusaha melaksanakan sebaik-baiknya, yaitu kerjasama antarlembaga legislatif-eksekutif (DPD-Presiden), legislatif-legislatif (DPD-DPR), dan legislatif-pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota). Persoalan yang sering dibicarakan dengan Presiden adalah pengaturan hak dan kewajiban seuai dengan fungi, tugas, dan wewenangnya. “Kesetaraan. Kami bertiga (Ginandjar, Irman, Laode) sering membicarakannya.”

Memang nggak gampang mengenalkan DPD, khususnya kepada pejabat-pejabat di negeri ini, karena dianggap bukan lembaga legislatif. Awal masa sidang periode 2004-2009, setiap rapat kerja menteri-menteri tidak memenuhi undangan panitia-panitia ad hoc, alat kelengkapan utama DPD yang kini bernama komite-komite. “Ngapain datang ke DPD. DPD ndak punya kewenangan anggaran terhadap departemen saya,” Ginandjar meniru alasan menteri-menteri.

“Karena ndak mau datang, saya telepon mereka. Menteri Keuangan harus datang. Ketua Bappenas juga. Dulu Mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional) ndak mau datang. Pak Surya (Mohamad Surya, selaku Ketua PAH III DPD waktu itu) mengeluh. Saya telepon menterinya,” jelas anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sejak tanggal 25 Januari 2010 ini.

“Kami laporkan ke Presiden, ‘Pak, menteri ini itu tak mau datang ke DPD. Lalu, Presiden memerintahkan menteri-menteri; harus datang! Sekarang sudah datang kalau dipanggil. Karena kita membangun sistem, lama-lama mereka datang sendiri. Tidak usah ditelepon. Awalnya memang nggak gampang,” ucap dosen pascasarjana ITB (sejak 1995-sekarang) dan STIA-LAN (sejak 2000-sekarang) ini.

Banyak yang dirintis era Ginandjar, termasuk Sidang Paripurna Khusus. Biasanya, DPD menggelar Sidang Paripurna Khusus setiap tanggal 23 Agustus. Tetapi dihilangkan di periode kedua. “UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak mengharuskannya tidak ada. Apakah menguntungkan DPR-DPD sidang bersama. Kalau menyelenggarakan sendiri (Sidang Paripurna Khusus), Ketua DPD menyampaikan aspirasi. Presiden mendengar, rakyat mendengar.”

Di luar teks, biasanya Presiden Yudhoyono menanggapi pidato Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita sebelum mengakhiri Keterangan Pemerintahan tentang Kebijakan Pembangunan Daerah. Misalnya, Sidang Paripurna Khusus DPD di Gedung Nusantara Kompleks Parlemen tanggal 23 Agustus 2007. “Kita memperjuangkan aspirasi. Ciri khasnya, kita memakai pakaian daerah. Batik. Banyak yang merasa kehilangan, termasuk saya.”

Apa harapannya kepada anggota DPD periode 2009-2014? Regenerasi harus menghasilkan DPD yang berbobot, berkualitas, sesuai zaman yang tercermin dari produk, wawasan, dan sikapnya. “Harapan makin banyak. Saya pribadi, yang sudah selesai pengabdian di sini, mengharapkan kepada DPD periode 2009-2014 untuk melanjutkan, baik menyempurnakan maupun meningkatkan, kinerja. Yang jelek ditinggalkan, yang baik makin diperbaiki, yang kurang baik diperbaiki.”

Kemudian, merespon aspirasi masyarakat di tingkat lokal dan nasional. “Seperti masalah Indonesia dengan Malaysia, kita jangan tidak bersikap apa-apa. Bukankah kalau kita menyampaikan sikap, kita justru mendukung diplomasi Pemerintah? Illegal logging, illegal mining, illegal fishing, people smuggling kenapa terjadi? Nah, masalah-masalah begini harus diangkat sebagai simpati dan empati kita. Kita harus di sana. Kita mesti peka, jangan pekak!”

Ginandjar juga menyinggung pembangunan kantor DPD. “Kantor di daerah amanat undang-undang. Yang kita inginkan, kita perjuangkan. Tapi, kita sesuaikan waktu pembangunannya. Kalau DPD mempunyai kewenangan seperti Senat, kita memperjuangkan aspirasi betul-betul seperti senator; benar, kita harus membangun gedung. Sementara, gunakan saja yang ada, karena semua provinsi memiliki gedung dari pemda (pemerintah daerah). Ndak apa-apa. Kalau ke Bandung, kantor DPD di Jalan Mundinglaya, Bandung, dikasih Pemda Jabar (Jawa Barat).”

“Biaya operasional kantor di daerah dibiayai APBN. Kalau satu provinsi 50 juta, dikali 33 provinsi, sudah berapa. Dan, kita tidak perlu membangun gedung seharga 30 miliar. Saya tidak setuju pembangunan gedung DPR. Saya baca di koran, mereka batalkan. Kalau DPR menunda, kita tidak menunda, kita yang menjadi sasaran masyarakat. Tolong dipelajari, tolong dihitung baik buruknya.”

“Masalah lain, kalau masyarakat datang menyampaikan aspirasi, lantas kita apakan? Bisakah kita deliver? Paling kita jawab, nanti kita bawa ke Jakarta, di sidang atau rapat. Berhenti di situ. Besoknya mereka datang lagi. Nanya. Gedung DPD akan menjadi simbol di daerah untuk menyalurkan aspirasi. Kalau aspirasi tidak terespon, saya khawatir, mereka akan antipati kepada DPD.”

“Saya pernah kampanye di Karawang, ada irigasi yang airnya nggak jalan. Saya janji memperjuangkannya jika terpilih. Waktu kembalikampanye lagi, saya ditanya, ‘Pak, air irigasinya kok nggak jalan-jalan? Sekarang Bapak datang lagi, kampanye lagi. Lima tahun lalu, Bapak ngomong yang sama.’ Saya kelabakan menjawabnya. Untungnya, mereka masih tetap memilih saya.”

Dijelaskan, DPD dilahirkan sebagai upaya reformasi untuk memastikan wilayah atau daerah memiliki wakil yang memperjuangkan kepentingannya di tatar nasional, sekaligus menjaga keutuhan negara Republik Indonesia. “Kehadiran DPD memperkuat demokrasi. Tapi, ini tidak bisa terwujud kalau UUD-nya masih seperti sekarang. Karena itu, agenda utama DPD di waktu yang lalu, kini, dan nanti adalah amandemen UUD. Harus amandemen.”

“Kampanye saya tahun 2009 adalah amandemen UUD. Saya katakan kepada pemilih saya, ‘Kalau saudara-saudara setuju penguatan DPD, pilih saya. Kalau tidak setuju, ndak usah. Tapi, mereka memilih saya juga. Mereka percaya. Push lagi amandemen UUD, karena peluangnya ada meskipun tantangannya juga ada,” katanya. “Pesan kami kepada DPD 2009-2014, tuntaskan amandemen UUD. Tunjukkan upaya ke araha sana. Dulu, semua upaya intinya adalah amandemen.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun