Masalahnya, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam UU 22/1999 dan UU 32/2004 dalam rangka melaksanakan dekonsentrasi urusan pemerintahan khusus. Semestinya, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam rangka melaksanakan dekonsentrasi urusan pemerintahan umum. “Wakil pemerintah pusat melaksanakan dekonsentrasi urusan pemerintahan umum. He is generalist, instansi vertikal specialist.”
Tetapi, one single command tidak terjadi jika, misalnya, UU Pemerintahan Daerah mengatur peran ganda gubernur sementara UU lain membolehkan bupati/walikota menjabat pengurus dan/atau anggota partai politik. “Di tengah konstelasi sekarang, question mark-nya ialah bisakah terjadi one single command kalau gubernur dan bupati/walikota masing-masing diusung ‘kapal berbeda’? Andaikan konstelasinya seperti dulu, bupati/walikota juga sebagai wakil pemerintah pusat maka terjadi one single command dari atas ke bawah.”
Beberapa wacana mengemuka untuk menghindari dualisme loyalitas antara loyalitas ke partai pengusung dan loyalitas ke pemerintah, yaitu ada yang mengusulkan agar gubernur dan bupati/walikota melepas dirinya dari partai bersangkutan setelah dinyatakan sebagai gubernur dan bupati/walikota terpilih. “Jadi, setelah terpilih maka bupati/walikota melepas baju partainya. Tapi, sekali lagi, keberhasilannya tergantung perkembangan pembahasan rumusannya di Senayan.”
Bhenyamin juga menjelaskan pembagian urusan. Jika mengikuti sistem pemerintahan daerah kontinental maka urusan pemerintahan terbagi menjadi urusan pemerintahan khusus (seperti pendidikan, pertambangan, pertanian) dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan umum tidak terdesentralisasi tapi terdelegasi dari presiden ke wakilnya di daerah. “Instansi vertikal adalah wakil kementerian, kepala instansi vertikal yang bertanggung jawab kepada menteri.”
Ia berharap, pemikiran sistem pemerintahan daerah kontinental teralur jelas dan tegas dalam UU Pemerintahan Daerah yang disepakati di Senayan, bahwa desentralisasi di negara kesatuan seperti Indonesia merupakan executive decentralization. “Desentralisasi hanya memancar dari eksekutif, tidak mencakup legislative decentralization, apalagi judicial decentralization. Judicial decentralization hanya di Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), tapi itu pun masih dalam satu garis.”
Dalam sistem pemerintahan daerah kontinental, penguasanya tidak dipilih lewat sistem pemilihan (election system). “Semuanya diangkap pemerintah pusat,” tukasnya. Kombinasinya ialah calon gubernur dan calon bupati/walikota dipilih dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) seperti diatur UU 22/1999. “Ketika RUU Pemerintahan Daerah dirancang tahun 1999, Tim Perumus menghadap Pak Ryaas (Rasyid), agar gubernur dan bupati/walikota dipilih langsung. Pak Ryaas menolak.”
“Semestinya teralur jelas dan tegas pemikiran sistem pemerintahan daerah kontinental dalam RUU Pemerintahan Daerah hasil revisi UU 32/2004, karena selama ini kita mengikuti sistem kontinental. Mengapa harus Anglo-Saxon? Di negara-negara bagian Amerika Serikat yang menganut Anglo-Saxon bervariasi penerapannya. Ada yang election system, ada yang diangkat pemerintah negara bagian, ada yang diangkat DPRD. Kenapa kita harus berkiblat ke Amerika Serikat?”
Ia bercerita bahwa di hadapan delegasi Musyawarah Nasional, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengingatkan bahwa titik berat otonomi dalam UU 1/1957 yang akan berlaku saat itu adalah pada provinsi. Hatta ingin titik berat otonomi di kabupaten/kota yang bupati/walikotanya berperan ganda tetapi calon-calonnya dipilih DPRD, kemudian salah satunya diangkat pemerintah pusat. Tujuannya, agar terjadi titik temu antara unsur acceptability di bawah dan di atas.
Hatta khawatir, pemilihan langsung bupati/walikota justru melahirkan republik-republik kecil di wilayah Republik Indonesia. “Nanti, kita akan menghadapi perpecahan,” kata Hatta, sebagaimana dikutip Bhenyamin. Kekhawatiran Hatta ternyata terbukti setelah pemberlakuan pemilihan langsung kepala daerah.
Fatwa menjelaskan, RUU Pemerintahan Daerah termasuk list (daftar) Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010-2014. Merujuk daftar RUU Prioritas Tahun 2011, maka RUU yang termasuk prioritas antara lain RUU Pemerintahan Daerah yang hingga sekarang belum diserahkan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan ditembuskan kepada DPD untuk dibahas bersama-sama.
“Inisiatifnya diharapkan dari pemerintah (presiden). Tapi, hingga sekarang pemerintah belum menyerahkannya kepada DPR. Nampaknya, ada tarik ulur antara pemerintah dan Komisi II DPR. DPD menjemput bola. Komite I DPD lebih dahulu membahasnya, diharmonisasi dan disinkronisasi oleh PPUU (Panitia Perancang Undang-Undang) DPD, selanjutnya diserahkan kepada DPR dan Pemerintah,” ujarnya.
Tahun Sidang 2010-2011, Komite I DPD melanjutkan pembahasan RUU, baik RUU usul inisiatif maupun review RUU yang dihasilkan DPD periode 2004-2009, antara lain RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H