Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Akhirnya Diakui Kepahlawanan Sjafruddin Prawiranegara

10 November 2011   08:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:50 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemerintah Indonesia akhirnya menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Sjafruddin Prawiranegara. Tanda gelar diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada ahli waris di Istana Negara, Selasa (8/11/2011). Sebagai Pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), sejak lama Sjafruddin diusulkan menjadi pahlawan nasional berkat jasa-jasanya mempertahankan kesinambungan pemerintahan Republik Indonesia (RI).

Usulan tersebut juga rekomendasi Seminar Nasional Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Bupati Solok Selatan Syafrizal J mengungkapnya dalam lawatannya bersama Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, Rabu (11/2/2009), ke basis perjuangan PDRI di Nagari Bidar Alam, Kecamatan Sangir Jujuan, Solok Selatan, Sumatera Barat.

Seminar Nasional PDRI bertema “Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan Posisi Solok Selatan dalam Pentas Sejarah Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia” berlangsung dua hari (10-11 Februari 2009) di Aula Kantor Bupati Solok Selatan, Timbulun—Padang Aro, Selasa, (10/2). Irman menjadi keynote speaker berjudul Nilai Perjuangan PDRI dalam Menyemangati Pembangunan Daerah Sumatera Barat.

Usulan tersebut disegerakan dengan proposal yang disampaikan kepada Menteri Sosial (Mensos) di Jakarta. Menurut Syafrizal, wacana menjadikan Sjafruddin menjadi pahlawan nasional dinyatakan Pemerintah Kabupaten Solok Selatan ketika Mensos Bachtiar Chamsyah berkunjung ke Nagari Bidar Alam tanggal 9 Juni 2008.

“Kami juga akan membentuk tim yang akan membahas sejarah PDRI guna dijadikan kurikulum pelajaran sejarah,” ujarnya. Syafrizal menambahkan, penyelenggaraan Seminar Nasional PDRI di Solok Selatan bertujuan menggali nilai-nilai perjuangan PDRI yang diketuai Sjafruddin Prawiranegara dalam mempertahankan kemerdekaan RI.

Bagi Irman, Nagari Bidar Alam mencatat sejarah semangat mempertahankan kemerdekaan RI yang sepatutnya dikembangkan seiring kemajuan zaman. Ia berharap terlahir pahlawan-pahlawan pembangunan dari Solok Selatan.

Didampingi Syafrizal, Irman menyempatkan diri mengunjungi peninggalan sejarah PDRI sekaligus memberi bantuan, yakni rumah jama’ Sjafruddin Prawiranegara yang menjadi markas Ketua PDRI serta tempat sidang kabinet PDRI tahun 1949 dan Masjid Nurul Falah Mr Sjafruddin Prawiranegara. Kunjungan setengah harinya di Nagari Bidar Alam juga meninjau Sekolah Dasar Negeri (SDN) 03 Bidar Alam, Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Solok Selatan, dan Madrasah Tsanawiyah Swasta (MTsS) Lubuk Malako.

Pelaku sejarah PDRI yang menjadi narasumber Seminar Nasional PDRI, Ismael Hassan, juga menyatakan dukungannya. “Kami sudah menyampaikannya,” katanya di Aula Kantor Bupati Solok Selatan, Selasa (10/2). Usulan disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Masjid Baiturrahim, KompleksIstana Presiden, tanggal 26 Januari 2007. “Namun hingga kini belum terealisasi.”

Usulan ini berlanjut. Seminar Nasional PDRI diharapkan menghasilkan rumusan yang melengkapi berbagai persyaratan pengajuan Sjafruddin yang diteruskan kepada Menteri Sosial. “Kami akan minta Mensos agar memasukan pimpinan PDRI itu menjadi pahlawan nasional, agar tidak menjadi pertanyaan sepanjang masa,” ujarnya.

Ismail mengharapkan dorongan pemerintah daerah dan tokoh-tokoh Sumbar di tingkat nasional. Selain itu, Kabupaten Solok Selatan membangun nagari yang dulu ditempati pejuang PDRI tetapi kini masih terjaga serta menginventarisasi peninggalan sejarahnya. Dengan terpeliharannya bukti-bukti sejarah itu, generasi mendatang akan bisa mendapatkan fakta bahwa nagari kecil di Solok Selatan ini pernah menjadi pusat PDRI.

Bangunan sejarah yang utuh adalah rumah jama’ Sjafruddin Prawiranegara yang menjadi markas Ketua PDRI serta tempat sidang kabinet PDRI tahun 1949, surau Bulian yang menjadi stasiun pemancar radio PHB/AURI yang dibawa dari Bukittinggi, serta Masjid Nurul Falah Mr Sjafruddin Prawiranegara. Melalui radio itu, Sjafruddin berhubungan dengan pusat PDRI di Kototinggi serta anggota-anggota PDRI di Jawa dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang menyampaikan radiogram PDRI hingga ke luar negeri.

Saat ini rumah jama’ dan masjid yang dipugar atas bantuan Bachtiar. Ketika mengunjungi Solok Selatan tanggal 9 Juni 2008, ia menyerahkan bantuan pemugaran masjid dan rumah jama’ masing-masing Rp 100 juta dan Rp 300 juta. Ia juga membantu pembangunan taman makam pahlawan dan museum PDRI masing-masing Rp 1 miliar.

Sejahrawan Universitas Indonesia (UI) Anhar Gonggong, narasumber lainnya, mengatakan bahwa pengangkat Sjaruddin menjadi Pahlawan Nasional merupakan keputusan Pemerintah yang melalui prosedur. Layak atau tidaknya seseorang sebagai Pahlawan Nasional dikaji tim Pemerintah.

“Pemerintah daerah perlu membersiapkan persyaratan-persyaratan sesuai dengan ketentuan. Tapi, keputusannya pada pemerintah pusat,” katanya seusai menjadi pembicara dalam seminar nasional itu.

Terkesan setengah hati

Selama Seminar Nasional PDRI mengemuka pendapat bahwa pengakuan Pemerintah terhadap eksistensi PDRI terkesan setengah hati. Penetapan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara lebih kental bernuansa politis ketimbang komitmen Pemerintah memosisikannya ke dalam sejarah yang sebenarnya.

Hari Bela Negara yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006 tak lain adalah hari kelahiran PDRI. Keppres yang diteken Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tertanggal 18 Desember 2006 tersebut menyatakan peringatan Hari Bela Negara sebagai bentuk apresiasi terhadap PDRI tahun 1948 yang bermakna penting bagi keutuhan RI.

Belakangan tokoh-tokoh nasional yang terlibat PDRI diakui sebagai pahlawan nasional. Sjafruddin bersama Mohammad Natsir diajukan tanggal 10 November 2007, tetapi Pemerintah menolaknya. Belakangan, Natsir yang pernah menjadi Deputi Perdana Menteri Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diangkat sebagai pahlawan nasional.

Keterganjalan Sjafruddin juga diduga karena keterlibatannya dalam PRRI, salah satu peristiwa sejarah di Sumatera Barat, yang terlanjur dicap sebagai gerakan separatis dan makar. Tanggal 15 Februari 1958, Kolonel Achmad Husein, di Padang, mendeklarkan pendirian PRRI dengan mengangkat Sjafruddin sebagai Perdana Menteri.

PRRI diproklamasikan setelah rapat raksasa di Padang tanggal 10 Februari 1958, yang dihadiri Letnan Kolonel Achmad Husein, Letnan Kolonel Herman Nicolas Ventje Sumual, Kolonel Maluddin Simbolon, Kolonel Dachlan Djambek, Kolonel Zulkifli Lubis, Natsir, Sjarif Usman, Burhanuddin Harahap, dan Sjafruddin.

Harmoni Pusat-Daerah

Pengalaman pergolakan PRRI yang berbasis di Sumatera Barat dan Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara menegaskan betapa penting hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dan daerah, yang memudahkan pencapaian tujuan nasional, yakni kesejahteraan dan keadilan masyarakat.

“Ada dokumen PRRI dan Permesta tentang tuntutan desentralisasi dan otonomi akibat kekecewaan mereka terhadap sentralisasi, korupsi, imoralitas, dan kerusakan di pemerintah pusat. Bagi mereka pemerintah pusat mempersempit ruang ekspresi daerah, menghambat kemajuan daerah, dan mengeksploitasi daerah yang membuat rakyat daerah menjadi korban,” ujar Ketua DPD Irman Gusman di Gedung Nusantara IV Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/3/2011).

Dalam sambutannya, ia sekaligus membuka Seminar Nasional “Pembangunan Nasional Sebagai Totalitas Pembangunan Daerah” (Menarik Hikmah Pergolakan Daerah: PRRI dan Permesta) kerjasama antara DPD dan Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara. Acara bertujuan mengenang perjuangan Sjafruddin sebagai tokoh nasional yang memperjuangkan kemerdekaan dan cita-cita kedaerahan.

Narasumbernya Letjen TNI (Purn) Syarwan Hamid [Menteri Dalam Negeri (1998-1999), Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) (1996)], Nina H Lubis [Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (FIB Unpad)], Ferry Raymond Mawikere [Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi (FS Unsrat)], dan Mestika Zed [Ketua Pusat Kajian Sosial-Budaya dan Ekonomi (PKSBE) Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Padang (FIS UNP) dimoderatori Andrinof A Chaniago [Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI)].

Irman mengakui bahwa pergolakan di daerah, seperti PRRI dan Permesta di awal berdiri Republik Indonesia, sampai kini masih menjadi perdebatan yang pro-kontra, apakah pemberontakan daerah yang melemahkan pemerintah pusat ataukah perjuangan menegakkan keadilan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat daerah yang terbaikan pemerintah pusat.

“Tergantung siapa yang menafsirkannya. Tentunya menurut pemerintah pusat, PRRI dan Permesta merupakan gerakan pemberontakan. Namun, bagi para pejuang PRRI dan Permesta, gerakan mereka adalah wujud gugatan,” sambungnya. Seharusnya sudut pandang atau perspektif kita adalah pergolakan di daerah berkaitan dengan tuntutan otonomi dan desentralisasi sebagai pengakuan pemerintah pusat atas eksistensi daerah.

Mengapa selama era Soekarno dan Soeharto terjadi konflik pusat-daerah? Gejolak di daerah terjadi sejak paruh kedua dekade 1950-an yaitu PRRI yang dideklarasi tanggal 15 Februari 1958 oleh Letnan Kolonel (Letkol) Achmad Husein dan Permesta yang dideklarasi tanggal 2 Maret 1957 oleh Letkol Herman Nicolas Ventje Sumual. Sjafruddin sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan Kabinet PRRI.

Sayangnya, menurut Irman, bangsa Indonesia melupakan peran Sjafruddin sebagai Presiden/Ketua PDRI ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948. “Kita seolah melupakan sosoknya dalam sejarah. Mungkin karena keterlibatan Sjafruddin sebagai salah satu tokoh sentral pendirian PRRI yang dianggap sebagai pemberontakan daerah.”

Selaku Ketua Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara, dalam sambutannya Andi Mapetahang (AM) Fatwa mengajak semua komponen bangsa agar jujur menilai sejarah yang puluhan tahun penulisannya selalu memihak penguasa. “Jika karena kalah, PRRI dan tokoh-tokohnya dianggap pengkhianat, bagaimana kita menilai Kelompok Petisi 50 sejak tahun 1980 hingga Soeharto meletakkan jabatannya, yang terus menerus mengkritik tajam rezim Orde Baru?”

“Bagaimana pula kita menyikapi aksi demonstrasi para mahasiswa dan berbagai komponen masyarakat ketika menuntut Soeharto, Bacharuddin Jusuf Habibie, dan Abdurrahman Wahid—mereka adalah Presiden Republik Indonesia yang sah dan konstitusional—agar mengundurkan diri dari jabatannya? Pengkhianatkah mereka?” sambung anggota DPD asal DKI Jakarta ini.

Oleh karena itu, Fatwa mengajak kita bersikap dan bertindak kritis menilai sejarah, yaitu mengungkap fakta-faktanya, mencermati dan merinci sebab musabab masalahnya, dan merelevansikan masa lalu ke masa kini dan masa depan. “Dalam menilai peristiwa-peristiwa yang krusial selama sejarah perjalanan bangsa, kita jangan terpaku menggunakan pandangan kacamata kuda.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun