Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

“Kiprah DPD RI: 10 Tahun Membela Daerah”

22 September 2014   21:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:55 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam 10 tahun usianya, memang terjadi evolusi fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), juga agregasi dan artikulasi kepentingan. Namun, selama periode kesatu (2004-2009) dan kedua (2009-2014) DPD, evolusi tersebut kurang optimal mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi perwakilan. Pimpinan/anggota DPD dan alat kelengkapan DPD tetap saja kesulitan untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah, seiring pemenuhan tuntutan berbangsa dan bernegara sekaligus peningkatan peran dan tanggung jawab lembaga perwakilan ini.

Menyangkut agregasi dan artikulasi kepentingan, DPD menjadi forum mediasi aspirasi masyarakat dan daerah serta kepentingan lainnya. Begitulah maksud dan tujuan pembentukannya sebagai kamar (majelis) kedua di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai kamar kesatu yang merupakan inti perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Sidang Tahunan Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) tanggal 1-9 November 2001 yang disahkan tanggal 10 November 2001. Pengukuhan posisi DPD yang setara DPR juga merupakan inti perubahan keempat UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR tanggal 1-11 Agustus 2002 yang disahkan tanggal 10 Agustus 2002.

Sebagai bukti kiprahnya kepada rakyat, bangsa, dan negara, per tanggal 18 September 2014 DPD menghasilkan berbagai keputusan. Total jenderal: 494 keputusan. Berdasarkan masanya, keputusan DPD periode 2004-2009 yang berbentuk usul Rancangan Undang-Undang (RUU) berjumlah 19 buah, pandangan dan pendapat 92 buah, pertimbangan (non-anggaran) 7 buah, pengawasan 49 buah, dan pertimbangan anggaran 29 buah; sehingga berjumlah 196 buah. Sedangkan keputusan DPD periode 2009-2014 yang berbentuk usul RUU berjumlah 30 buah, pandangan dan pendapat 139 buah, pertimbangan (non-anggaran) 9 buah, pengawasan 82 buah, dan pertimbangan anggaran 29 buah, usul Prolegnas 4 buah, rekomendasi 5 buah; sehingga berjumlah 298 buah.

Selama periode kedua, Komite I DPD merumuskan paket undang-undang otonomi daerah sebagai revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 20014 tentang Pemerintahan Daerah, yang terbagi tiga RUU, yakni RUU Pemerintahan Daerah, RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), RUU Desa, plus RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan. Komite I DPD terlibat intensif membahas RUU-RUU itu bersama DPR dan Pemerintah dalam proses legislasi model tripartit.

Di samping itu, Komite I DPD membentuk tim kerja RUU daerah otonom baru Papua dan Papua Barat serta non Papua dan non Papua Barat yang tengah terlibat intensif membahas 65 + 22 RUU daerah otonom baru bersama DPR dan Pemerintah, serta melakukan tinjauan fisik kewilayahan ke calon provinsi/kabupaten/kota. Di antaranya, Sidang Paripurna DPD tanggal 18 September 2014 menyetujui pembentukan Provinsi Papua Tengah dan mengesahkan pandangan DPD terhadap RUU-nya guna pembahasan bersama DPR dan Pemerintah, tanggal 8 Juli 2014 menyetujui pembentukan Provinsi Kepulauan Nias dan mengesahkan pandangan DPD terhadap RUU-nya, serta tanggal 14 Mei 2014 menyetujui pembentukan Provinsi Papua Barat Daya dan mengesahkan pandangan DPD terhadap RUU-nya.

Dalam kurun waktu itu pula, Komite I DPD menyusun RUU Pengelolaan Daerah Perbatasan, RUU Pengadilan Keagrariaan, RUU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Bali (RUU Otsus Bali), serta RUU Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (RUU Jabodetabekjur). RUU Pengelolaan Daerah Perbatasan menjadi jawaban Komite I DPD terhadap berbagai persoalan pembangunan dan pemerintahan di daerah perbatasan negara, sedangkan RUU Pengadilan Keagrariaan merupakan komitmen mengawal reformasi agraria sebagaimana semangat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

RUU Otsus Bali merupakan hasil kajian otonomi khusus dan otonomi asimetris sejak awal tahun 2013. Otsus Bali adalah respon atas kegiatan pembangunan dan pemerintahan di Bali yang dinamis guna menjaga, memelihara, dan melindungi daya tarik pariwisata Bali yang memberikan multiplier effect ke daerah lain. Adat dan budaya Bali yang dijiwai agama Hindu dan dilandasi falsafah Tri Hita Karana itu adalah seperangkat nilai yang mendasari pengembangan dan pelestarian pariwisatanya. RUU Otsus Bali berupaya untuk meminimalisasi fenomena yang merugikan Bali.

RUU Jabodetabekjur yang bersifat lex specialist menjadi payung hukum menata kawasan Jakarta dan sekitarnya menuju megapolitan dunia, mengingat perbedaan wewenang otoritas pemerintahan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah kabupaten/kota sekitarnya.

Sebelum hiruk-pikuk status keistimewaan Yogyakarta, Komite I DPD justru melahirkan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang menyepakati mekanisme suksesi kepemimpinan DIY melalui penetapan, bukan pemilihan, bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono yang bertahta di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sri Adipati Paku Alam yang bertahta di Kadipaten Pakualaman menduduki jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Sidang Paripurna DPD tanggal 26 Oktober 2010 mengesahkan RUU Keistimewaan DIY sebagai RUU usul inisiatif.

Selama periode kedua ini, Komite II DPD menyusun beberapa usul RUU, yaitu RUU Perubahan Atas UU 18/2004 tentang Perkebunan, dan RUU Perubahan Atas UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Komite II DPD beralasan, UU 18/2004 membuka kesempatan eksploitasi besar-besaran tanpa pembatasan luas maksimum dan luas minimum lahan perkebunan, sehingga perubahan UU ini menjadi mendesak agar kelak terlahir suatu kebijakan yang sanggup menyelesaikan konflik lahan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan UU 7/2004, implementasinya menghadapi perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya air dari barang sosial ke barang ekonomi, sehingga perubahan UU ini menyeimbangkan pemanfaatan sumber daya air dengan konservasi, serta pengetatan izin dengan kelestarian lingkungan.

Komite II DPD juga menyusun RUU Perubahan Atas UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Komite II DPD fokus mengawasi pelaksanaan UU 31/2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan UU 45/2009, dan UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Terhadap UU 25/2007, Komite II DPD menilainya sangat sentralistik karena membatasi peran pemerintah daerah di bidang investasi, serta minim mengatur koordinasi antarinstansi, baik vertikal maupun horisontal, dalam penyelenggaraan prinsip pelayanan terpadu satu atap. Komite II DPD berusaha untuk membuat alur mekanisme izin investasi yang ideal di daerah.

Untuk RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, sejumlah masalah dihadapi nelayan seperti minimnya akses pembiayaan nelayan, rendahnya pendidikan nelayan, tiadanya sarana dan prasarana nelayan, rendahnya penegakan hukum di laut, dan tiadanya kebijakan pembangunan nelayan. Perlindungan nelayan meliputi pembatasan liberalisasi, kepastian usaha, harga ikan, ganti rugi karena kejadian luar biasa, dan asuransi. Sedangkan pemberdayaan nelayan meliputi pendidikan dan kesehatan nelayan, sarana dan prasarana nelayan, penyuluhan dan pendampingan nelayan, informasi dan iptek, serta kelembagaan nelayan. Seiring penyusunan RUU ini, Komite II DPD menyempurnakan RUU Kelautan.

Merampungkan RUU Kelautan

Tahun 2010 Komite II DPD merampungkan RUU Kelautan. Berdasarkan Keputusan DPR Nomor 03A/DPR RI/II/2013-2014 tanggal 17 Desember 2013, RUU Kelautan menjadi prolegnas prioritas usul inisiatif DPD urutan ke-66. Komite II DPD menyerahkan draft RUU beserta naskah akademiknya kepada Komisi IV DPR dan Pemerintah (Kementerian Kelautan dan Perikanan) di ruangan Komisi IV DPR tanggal 15 September 2014. Pasca-putusan MK, untuk pertama kalinya tiga pihak membahas RUU Kelautan dalam rapat kerja (raker) dan raker menyetujui pembentukan tim khusus (timsus). Pemerintah pun menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada DPR dan DPD.

Pra-putusan MK, Komite II DPD menyampaikannya kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR. Tahun 2013, beberapa kali Komite II DPD melakukan pembahasan RUU Kelautan bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR. Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK), status RUU usul inisiatif DPD tersebut tidak lagi RUU usul DPR, sehingga Baleg DPR tidak lagi berhak dan/atau berwenang untuk melakukan harmonisasi dan pemantapan konsepsi. RUU dari DPD setara RUU dari Presiden dan RUU dari DPR, sehingga Komite II DPD ikut membahasnya sampai tahap sebelum persetujuan.

RUU Kelautan versi Komite II DPD itu mengarahkan pengarusutamaan (mainstream) kegiatan/program pembangunan dan pemerintahan di negara kepulauan bernama Indonesia yang berorientasi ke laut. Jadi, urusan maritim atau bahari menjadi arus utama kegiatan/program. Selama penyusunan RUU itu, Komite II DPD mengharmonisasikan materinya dengan 35 existing law (hukum positif).

Komite III DPD fokus mengawasi penyelenggaraan ujian nasional (UN). Sejak tahun 2009 hingga 2014, Komite III DPD memang tegas-tegas menyatakan penolakannya dan mendesak Pemerintah untuk melaksanakan rekomendasi DPD untuk menghapus penyelenggaraan UN sebagai syarat kelulusan peserta didik. Komite III DPD berpendirian, penyelenggaraan UN mereduksi mutu pendidikan, mengaburkan konsep pendidikan, dan melanggar prinsip-prinsip pembentukan karakter peserta didik. Penolakan itu juga karena beragam penyimpangan seperti kebocoran soal dan kunci jawaban, serta memboroskan anggaran.

Oleh karena itu, Komite III DPD menyusun RUU tentang Perubahan Atas UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai RUU usul inisiatifnya. Kemudian, Komite III DPD fokus mengawasi pencairan dan penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang kurang tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat jumlah. Komite III DPD juga fokus mengawasi pemberlakuan kurikulum 2013 yang terkesan dipaksakan oleh Pemerintah, padahal pemberlakuan itu memerlukan sosialisasi menyeluruh kepada guru.

Komite III DPD konsisten mengawasi pelaksanaan UU 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU 11/2010 tentang Cagar Budaya, serta menyoroti penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya kesiapan PT Jamsostek (Persero), PT ASKES (Persero), dan PT Taspen (Persero) sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam pelaksanaan UU 24/2011 tentang BPJS. Bahkan, Komite III DPD menyampaikan pertimbangannya atas RUU Pengelolaan Dana Haji. Selama kurun waktu periode ini, Komite III DPD juga menyusun RUU Perlindungan dan Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional, dan Ekspresi Budaya Tradisional.

Malahan, tahun 2013 DPD membentuk Panitia Khusus (Pansus) Guru mengingat betapa banyak tantangan dan kendala permasalahan pengajaran dan unsur guru adalah faktor penentu peyelenggaraan sistem pengajaran nasional. Hasilnya, Pansus Guru menelurkan “Resolusi DPD RI atas Permasalahan Guru di Indonesia”. Ada 11 catatan yang disampaikan ke DPR dan Pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), yaitu seleksi mahasiswa calon guru, proses pendidikan calon guru, mahasiswa program profesi guru, pengangkatan tenaga honorer kategori 2 (K2), keberadaan tenaga honorer, sistem rekrutmen guru, beban mengajar guru, pengembangan profesi guru, upaya peningkatan layanan terhadap realisasi hak-hak guru, mendesain ulang proses pendidikan bagi calon guru, dan kebijakan terhadap sekolah swasta.

Komite IV DPD wajib menyampaikan pertimbangannya terhadap RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran sebelumnya, serta kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal serta dana transfer dalam RUU APBN, termasuk APBN-P. Komite IV DPD menyampaikan pertimbangannya kepada DPR dan Pemerintah. Selain itu, sebagai salah satu lembaga perwakilan yang menerima hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komite IV DPD juga wajib menyampaikan pertimbangannya sebagai tindak lanjut. Pertimbangan DPD terhadap Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Semester I dan II BPK itu disahkan Sidang Paripurna DPD dan disampaikan kepada DPR dan Pemerintah.

Dalam Sidang Paripurna DPD tanggal 7 Juli 2014, mereka menyampaikan pertimbangannya terhadap kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal serta dana transfer daerah dalam RUU APBN TA 2015. Mereka menyatakan, Pemerintah harus benar-benar mengoptimalkan seluruh instrumen anggaran tahun 2015, baik belanja pusat berbentuk dana dekonsentrasi/tugas pembantuan, dana transfer dari pusat ke daerah, dana perbankan dan investasi, serta dana lain untuk meningkatkan pemerataan dan mendorong percepatan dalam mewujudkan tujuan dan sasaran pembangunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun