Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan Pengasuh Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat Palembang

Jurnalis, Dosen UIN Raden Fatah Palembang, dan sekarang mengelola Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Rahmat Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penyakit Kaya #01

3 April 2022   10:11 Diperbarui: 5 April 2022   07:37 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Di Dusun Sukaraja Kec. Muaradua Kisam Kab. OKU Selatan, Sumatera Selatan (Foto.DokPribadi/imron)

...kaya dan miskin itu hanya sebutan.  Kalau kita mengaku miskin, berarti kita sedang memosisikan diri sebagai orang miskin. Meskipun secara fisik dan pemenuhan keseharian sebenarnya lebih dari cukup.  Tetapi sebaliknya, meski dalam kesehariannya serba kekurangan dan keterbatasan, tetapi kalau menyebut diri kita kaya, maka saat itu kita adalah orang kaya.

Hampir setiap kita punya cita-cita untuk menjadi kaya.  Status kaya, bagi orang kebanyakan diukur dengan jumlah rupiah, fasilitas mewah dan kehidupan yang serba ada. Ukuran orang biasa, kaya itu tercukupi secara fisik. Banyak orang menyebut, kaya berarti seseorang yang dapat memenuhi apa yang diinginkan, bukan apa yang dibutuhkan.

Sebab antara keinginan dan kebutuhan seolah sepadan. Tapi dalam kenyataan, kedua kata itu punya makna berbeda. Misalkan saja; suatu ketika kita lapar, maka jalan keluarnya adalah makan. Pada posisi ini, makan menjadi kebutuhan bukan keinginan.

Tapi di lain waktu, ketika kita berhasrat makan dengan lauk ayam, daging atau berselera lebih dari sekadar melepas lapar, itu namanya keinginan. Bukan pada makannya tetapi selera lauk yang lain dari biasa

Sebab kali itu, kita sedang ingin makan jika ada lauk ayam atau daging. Sementara di rumah kita sudah tersedia lauk lain, yang sebenarnya sudah cukup untuk sekadar melepas lapar.  

Maka kebanyakan, orang baru akan disebut kaya jika seseorang bisa membeli apapun yang diinginkan, kapan dan dimana saja, tanpa batas materi, ruang dan waktu.

Tapi bagi Idas, salah satu teman saya di Palembang, kaya dan miskin itu hanya sebutan.  Kalau kita mengaku miskin, berarti kita sedang memosisikan diri sebagai orang miskin. Meskipun secara fisik dan pemenuhan keseharian sebenarnya lebih dari cukup.  Tetapi sebaliknya, meski dalam kesehariannya serba kekurangan dan keterbatasan, tetapi kalau menyebut diri kita kaya, maka saat itu kita adalah orang kaya.

Ketika Presiden SBY menggulirkan Bantuan Langsung Tunai (BLT),  faktanya malah berbalik. Program yang seharusnya diperuntukkan bagi orang miskin, tetapi tidak sedikit orang yang kemudian mengaku miskin. Bahkan diantaranya ada yang sengaja memosisikan dirinya miskin.

Sebab, ada saja orang yang fisiknya berkecukupan, tetapi tanpa malu mendatangi Ketua RT dan minta Surat Keterangan Miskin (SKM). Tujuannya agar yang bersangkutan dapat memperoleh jatah BLT yang di tahun 2013 menjelma menjadi Bantuan Langsung  Sementara Masyarakat (BALSEM).

Semula, pemaknaan saya terhadap kaya dan miskin juga terhanyut pada pengertian umum sebagaimana banyak orang. Tetapi setelah menjalani proses panjang, ternyata saya kemudian sepakat dengan apa yang dikatakan Idas, salah satu teman saya di Palembang, katanya : kaya dan miskin hanya sebutan, bukan diukur dengan tampilan materi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun