Dalam sejumlah Firman-Nya Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah Swt, kita sangat mengetahui kalau Allah Swt adalah dzat yang serba Maha atas segalanya. Langit, bumi serta isinya  semua dibawah kekuasaan-Nya. Namun demikian, Allah Swt juga mengatakan : wahai Hambaku, Aku sesuai persangkaanmu kepada-Ku.
Pernyataan Allah ini, tercantum dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Al Hakim no. 1828, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah no. 2012).
Demikian bijaknya Allah Swt memberi ruang seluas-luasnya kepada kita sebagai hamba-Nya, namun pada satu peristiwa tertentu, sering kali, sadar atau tidak kita sendiri yang menyatakan diri kita ini miskin, susah dan serba kesulitan, sehingga dalam menghadapi hidup, kita cenderung mengeluh dan mengeluh sepanjang hari.
Seolah hidup ini selalu dalam tekanan, sehingga dalam satu detik pun kita tidak bisa mengatakan : aku bahagiia, atau aku merdeka. Karena saya dan isteri tidak ingin diberi kesulitan dan kemiskinan oleh Allah Swt, maka dalam satu peristiwa, saya menolak stempel dari Tuhan, Allah Swt. (Simak Vidoenya : Saya Menolak Stempel Tuhan).
Kisahnya, tahun 2010, kondisi ekonomi keluarga saya memang sedang kembali ditata ulang, setelah saya kembali dari Tanjung Enim dan balik lagi ke Palembang. Singkat cerita, saya dan isteri ketika itu harus memulai dari nol. Baik dari sisi biaya hidup, dari sisi pekerjaan.
Kali itu semua pekerjaan yang bisa mendatangkan duit yang halal saya lakukan. Pesanan nasi kotak, snack dari panitia seminar, saya layani. Meskipun itu sebenarnya bukan bidang kami.
Sampai-sampai kami, juga sempat berdagang kue yang kami titipkan di beberapa warung, tepmat kami tinggal. Kemudian kami juga menitipkan kerupuk udang di warung Bakso, milik teman saya, di kilometer 9 dan di Plaju Palembang.
Semua itu kami lakukan, demi menjaga kelangsungan hidup di Palembang, yang ketika itu sedang kami mulai kembali, setelah sebelumnya saya 4 tahun kontrak kerja di Tanjung Enim.
Di tengah kondisi ekonomi kami yang belum stabil, kebutuhan anak kami yang sulung, Annisatun Nurul Alam harus membuat kami berpikir keras. Sebab, kami ingin memasukkan anak kami ke sekolah agama yang berkualitas. Tentu dengan risiko kami harus mengeluarkan biaya yang lumayan tinggi.
Rencana kami ini, terdengar juga oleh tetangga. Ketika itu, salah satu diantara tetangga berbincang dengan isteri saya, dan mendengar tentang rencana kami yang ingin menyekolahkan anak kami di sekolah swasta yang berbasis pesantren.
Kali itu, tetangga saya ini menyarankan agar, saya dan isteri membuat peryataan keluarga miskin atau tidak mampu dari ketua RT atau kelurahan.
Malam harinya, saat saya berbincang sanati dengan isetri, seketika isetri saya bilang; "Yah, kato tetangg kito, kalau kita nak nyekolahke Caca---panggilan anak saya, ke pesantren, pacak dapat potongan lima puluh persen," kata isteri saya membuka pembicaran malam itu.
"Ada, tapinya, ndak?" tanya saya merespon cepat.
"Yo, itu syaratnyo, kito harus buat surat keterangan miskin, atau keluarga tidak mampu dari er-te," ujar isteri saya agak berat malam itu.
Mendengar itu, saya sesaat menghela napas panjang. Saya menatap tajam ke isteri saya. Malam itu, saya melihat di balik mata isteri saya ada nada protes terhadap ujaran tetangga itu.
Dari sorot matanya, saya melihat isteri saya menolak terhadap saran tetangga saya itu. Tapi sebagai isteri, bagaimanapun dia harus menyampaikan uneg-uneg, atau isi hati dan pikirannya kepada saya sebagai suami.
"Terus menurut Bunda, cak mano?" kata saya, balik bertanya.
"Disatu sisi, kito pengen anak kito sekolah agama yang bagus, tapi di sisi lain, kondisi keuangan kito belum mampu," kata isteri saya.
"Terus, apo pendapat bunda samo saran tetanggo itu?"
"Kalau menurut ayah, cak mano?" isteri saya balik bertanya.
Saya sedikit menggeser temat duduk saya. Kali ini saya lebih dekat. Mata saya menatap isteri saya.
"Bun, Allah itu Maha kaya, dan Allah pasti tidak ingin hamba-Nya miskin. Sekarang ayah tanyo samo Bunda. Bunda galak ndak kalau kito dibuat miskin oleh Allah?" tanya saya.
"Lho, tadi ayah kan ngomong kalau Allah tidak ingin hamba-nyo miskin. Kok malah balik tanyo?"
"Maksud ayah gini, lho. Kito, atau keluargao yang lain sudah pasti tidak ingin miskin. Bener, dak? Nah, kalau kito, gara-gara pengen nyekolahke anak kito ke pesantern yang bagus, sementara kuangan kito belum sanggup, laju kito buat keterangan miskin, terus disitu tertulis...
Yang bertanda tangan dibawah ini : Imron supriyadi, orang tua dari Annisatun nurul Alam, menyatakan bahwa kami benar-benar keluarga miskin atau keluarga tidak mampu, terus ayah tanda tangani. Apo itu ndak samo dengan peryataan diri kalau kito ini siap dibuat miskin oleh Allah?! Kalu itu kito lakukan, Bun, itu samo be kito ini di-stempel oleh Allah sebagai wong miskin dan tidak mampu. Itu samo be kito sudah merendahkan  Allah Swt yang Maha kaya.
"Tapi kato Ayah, Allah tidak menginginkan hamba-Miskin!" protes isteri saya.
"Bener, Bun, Allah memang menginginkan hamba-Nyo kayo, sejahtera. Tapi, kalau ado yang miskin, itu karena mereka menuahkan dir dari Yang Maha Kaya. Diantara kito jugo seringkali tanpa sengajo kito menyatakan miskin. Jadi bukan Allah yang mbuat kito miskin, tapi kito dewek yang menginginkan kito jadi wong miskin, sebab Allah hanya akan menjawab doa sesuai dengan persangkaan hamba-Nya terhadap Allah.
Sesaat kami terdiam. Saya hanya bermohon pada Allah agar kami diberi jalan terbaik atas semua persoalan yang kami hadapi. Sebab semua persoalan datang dari Allah, dan hanya Allah Sang Maha Penyelesai masalah atas hamba-Nya.
Ponpes Tahfidz Rahmat, Palembang, 31 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H