Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan Pengasuh Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat Palembang

Jurnalis, Dosen UIN Raden Fatah Palembang, dan sekarang mengelola Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Rahmat Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bintang Emon dan Wudhu Nasional

21 Juni 2020   00:55 Diperbarui: 21 Juni 2020   00:52 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dua pekan terakhir, sejumlah media dan netizen di negeri ini sedang membahas tentang ujaran Bintang Emon di Medsosnya, yang terkait dengan hukuman terhadap pelaku penyiraman Novel Baswedan.

Spontan,  ujaran anak muda ini banyak menuai kiritk dan juga pujian. Ya begitulah resikonya, tidak semua yang kita lakukan akan disukai dan disenangi orang.  

Dan sebaliknya, tidak juga semua orang membenci. Ini adalah sunnatullah, sudah menjadi hal yang qodrati. Jangan pro dan kontra tetang ujaran Bintang Emon, jauh sebelum kita lahir pun, Iblis juga sudah diizinkan oleh Allah Swt untuk menggoda manusia. Dan sampai saat ini dalam diri kita juga ada dua pasukan, satu pasukan iblis dan satu lagi pasukan malaikat. Pertarungan  baik dan buruk ini akan terus berlangsung sampai, Allah Swt berinisiatif menggulung isi bumi dan langit.

Bicara tentag kritik, teguran, makian, hujatan, ejekan, ledekan atau yang sejenisnya, kita bisa belajar dari dua tokoh nasional kita, satu pejuang kemerdekaan, yaitu KH Agus Salim, kedua KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur.  Bagaimana kita belajar dari mereka, dan apa hungannya dengan Bintang Emon dan Wuhdu Nasional?

KH Agus Salim dan Gus Dur

Dalam sejarah tercatat, bagaimana seorang  Tokoh pejuang Kemerdekaan KH Agus Salim, ketika membuat argumentasi bagi kalangan muda yang berada di luar masjid, yang ketika meledek KH Agus Salim saat sedang berpidato atau sekarang  cermah.

Sekelompok anak muda, yang berada di luar masjid seketika mengejutkan jemaah, karena tiba-tiba mereka bersuara mengembik, layaknya kambing.

Karena suaranya ramai, sehingga suaranya anak-anak muda ini menganggu kenyamanan jemaah dan tentu saja mengusik KH Agus Salim yang ketika itu masih berada diatas mimbar.

"Mbeek..mbeeek..." begitulah kira-kira suara ejekan yang dilontarkan sekelompok anak muda dari luar masjid.

Sontak, suara itu langsung mendapat respon dari jemaah dan Kiai Agus Salim. Ledekan itu diduga, karena KH Agus Salim memang memiliki ciri khas jenggot, sehingga kesannya, anak-anak muda ini ingin menyindir KH Agus Salim yang berjenggot sepeti kambing, yang sebagian juga berjenggot.

Namun, marahkah KH Agus Salim dengan ejeken itu?  Ternyata, Haji Agus Salim yang dijuluki 'The Grand Old Man' dan merupakan tokoh dari Sarekat Islam ini, sama sekali tidak marah dengan ejeken sekelompok anak muda ini.

Malah sebaiknya. Dengan tingkat kecerdasannya, Kiai Agus Salim memberi argumentasi yang sama sekali di luar dugaan jemaah dan sudah pasti diluar nalar anak-anak muda yang meledek dari luar masjid.

Mendengar ledekan itu, Kiai Agus Salim secara spontan menghentikan ceramahnya, dan memberi penjelasan kepada jemaah, yang ujarannya sebagai sindiran kepada anak  muda yang meledek dari luar barisan jemaah.  Kira-kira redaksinya begini, meski ini tidak saya kutip langsung dari beliau :

"Para jemaah sekalian, Syukur alhamdulillah, ternyata pada pengajian kali ini, yang hadir di tengah-tengah kita bukan hanya bangsa manusia, tetapi juga ada barisan hewan, diantaranya yang hadir adalah barisan kambing. Namun mohon maaf, kepada para kambing, saat ini kami sedang membahasakan pengajian ini dengan bahasa manusia. Jadi nanti, setelah pengajian selesai, saya akan menyampaikan dengan bahasa hewan," ujar KH Agus Salim, yang tentu saja menyindir barisan anak muda yang berada di luar masjid.

Mendengar itu, sekelompok anak muda yang sebelumnya meledek ini, lari tunggang langgang dan merasa malu. Jemaah pun kembali tenang. Suasana masjid kembali normal.

Kisah kedua, ketika di Gus Dur mash menjabat Presiden.  Memasuki tahun kedua, gelombang desakan Gus Dur untuk mundur dari jabatan dari presiden muncul dari berbagai organisasi. Sampai akhirnya, tanggapan  desakan mundur itu, dilontarkan Gus Dur ketika di Palembang.

Di hadapan jamaah Masjid Agung Palembang , Gus Dur, seketika menjelaskan argumentasi yang diluar dugaan banyak orang.  Ketika itu saya, dan rekan-rekan jurnalis berada di lokasi, munggu kalimat  luar biasa yang akan keluar dari mulut Gus Dur.

Dengan tegas Gus Dur mengatakan : Yang menuntut mundur saya dari kursi presiden adalah orang gila!," nada bicara Gus Dur kali itu benar-benar serius. Saya ikt merasakan getaran kekesalan Gus Dur, kali itu.

Saya dan dan jemaah masjid Agung Palembang sudha pasti menunggu ujaran selanjutnya dari Gus Dur.  "Mengapa saya katakan Orang  gila?" ujar Gus Dur melanjutkan ucapannya. "Saya berjalan maju saja dituntun, ini kok malah di suruh mundur, itukan namanya oang gila!" jawaban Gus Dur ini kemudian memecah keheningan, ketegangan menjadi gelak tawa. Sebagian hanya saling toleh, dan sebagian lagi menggelgkan kepala. Tak jelas apa isi kepala mereke mendengar ujaran Gus Dur ini.

Kewajiban Makmum Menegur Imam

Kita ketahui, dalam hukum fiqih, sudah menjadi aturan baku, bagi imam sholat yang salah baca ayat,  lupa jumlah rokaat akan ditegur oleh makmum.

Ketika mendapat teguran itu, Imam harus tunduk dan wajib menuruti makmum. Tujuannya demi menjaga stabilitas shalat agar jamaah tidak rusak akibat kesalahan imam. Makanya, Imam harus tunduk dan patuh terhadap makmum.

Tak peduli, siapa makmumnya. Apakah orang muda atau orang tua. Semua punya hak sama untuk menegur imam yang salah. Sekali lagi, ini diatur dalam fiqh untuk menjaga agar shalat jamaah tidak rusak. Sebab rusaknya imam akan merusak semuanya.

Bahkan, bila di tengah perjalanan shalat kemudian Imam batal, maka sang Imam harus mengambil posisi di pinggir dan salah satu makmum di belakangnya harus segera mengganti menjadi imam, agar shalat jamaah tidak rusak.

Imam yang batal harus sadar diri. Imam yang salah juga harus mau ditegur makmum, tak peduli umur berapa yang menegur. Jangan melihat yang menegur tapi lihatlah isi teguran itu.  Undhur Ma kola Wala Tandhur Man-Kola. (Lihat apa yang dikatakan, bukan melihat siapa yang berkata).

Trend tegur menegur, kritik mengeritik ini di era digital sudah demikian bebas disampaikan oleh sejumlah pihak.  Bahasanya macam-macam. Ada yang santun, ada yang setengah santun, ada yang mengejek, meledek, ada yang menghujat, ada yang mencaci, memaki, dan dengan bahasa yang sangat variatif.

Tak ayal, sejumlah pihak, termasuk juga para petinggi negara, agak kegerahan dengan deretan kritik dari netizen, dan warga di negeri Pancasila ini. Satu hal yang kemudian dilakukan oleh pemerintah adalah membuat aturan dengan udang-undang, yang diduga untuk menjerat para pengkritik kebijakan, satu diantaranya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik alias UU ITE. Tuduhannya bisa macam-macam, apakah itu pengihnaan atau pencemaran nama baik.

Sejak undang-undang ini diberlakukan korban pun berjatuhan. Sebagian masuk bui gara-gara melakukan kritik terhadap kebijakan negara, sekali lagi apakah dituduh melakukan penghinaan atau pencemaran nama bak seseorang, atau nama baik terhadap simbol negara, apakah presden, menteri, kepala daerah dan jajarannya para pengelola negara.

Saat ini, kita tidak punya lagi dialektika ala KH Agus Salim dan Gus Dur, yang membalas kiritk tajam dengan dengan argumentasi segar yang mencerdaskan.

Kritik, teguran atau, masukan sekalipun, yang diniatkan untuk membangun, diniatkan untuk memperbaiki sistem sekalipun, kalau ternyata kiritk itu akan merusak "kemapanan kedholiman tersistem yang dibangun oleh mavia dan penghianat negara, dipastikan akan kena hujatan, kena serangan balik bertubi-tubi, termasuk dari dari para buzer pengejar rupiah, yang sengaja dibentuk oleh para pengelola penghianat negara.

Jadi pesan moral tegur menegur antara makmum dan imam dalam masjid, hanya berlaku di dalam masjid dan mushola. Tetapi tidak bisa diterpkan di negeri ini.

Kalau ada makmum, sebagai simbol rakyat menegur imam sebagai simbol pimpinan dan pegeng kebijakan negara, maka si imam tetap keukeh, berdiri tak mau mangaku kalau si imam sudah salah atau batal, meskipun makmum sudah berteriak-teriak.

Bagi saya, Bintang Emon, adalah bagian kecil dari lilin-lilin Indonesia yang berposisi sebagai makmum, yang sedang berteriak-teriak menegur para imam di dalam masjid Indonesia, bernama Negeri Garuda Pancasila.

Bukan saja Bintang Emon, masih banyak lagi Bintang Emon lain yang dipastikan punya kegelisahan serupa. Dan mereka yang berada di persembunyian, di pojok-pojok desa yang dengan memendam lilin-lilin kebaikan, yang Insya Allah tidak lama lagi akan lahir untuk menguatkan barisan makmum yang kelak akan menjadi kumpulan cahaya, lalu berteriak bersama, dan ikut menerangi para imam di negeri ini yang salah dan batal, baik yang berada di dalam maupun di luar masjid.

Kalau sejatinya imam sudah ditegur makmum karena ayat atau salah rokaat, mestinya imam harus tunduk dan bersedia mengajak para makmum di negeri melakukan perbaikan bersama, meminjam istilahnya Gus Nur---imam harus bersedia mengajak wudhu nasional, agar jamaah dari sabang sampai merauke ini tidak salah dan batal nasional.

Sebagai penutup, sebuah kisah tercatat : bagaimana Rasuluah SAW suatu ketika dalam perjalannya dari rumah ke masjid selalu di hujat, dimaki bahkan diludahi oleh salah satu orang kafir. Hampir setiap hari. Tetapi di satu waktu ketika si kafir tidak ada di tempat, otomatis hari itu tidak ada yang meludahi Rasul.

Setelah Rasul mengetahui si kafir sakit, Rasul kemudian datang ke rumah si kafir. Tujuannya bukan untuk membalas dengan kejahatan yang sama, rasul tidak juga menyuruh para sahabat dan para khalifah menyusun aturan yang membela dirinya, agar bisa menjerat si kafir.

Tetapi Rasul datang membawa nilai-nilai rahmatan lil alalmiin. Rasul membalas makian, hujatan, bahkan dan ludah si kafir itu dengan santunan dan permaafan. Rasul datang ke rumah si kafir dengan mambawa senyum kedamaian, membawa susu dan roti, bukan membawa : Undang pencemaran nama baik dan apalagi Undang-Undang ITE.

Palembang, 21 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun