Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan Pengasuh Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat Palembang

Jurnalis, Dosen UIN Raden Fatah Palembang, dan sekarang mengelola Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Rahmat Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kehilangan adalah Kasih Sayang

4 Juni 2020   19:06 Diperbarui: 5 Juni 2020   07:13 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Imron Supriyadi

Suatu ketika, Anca adik tingkat saya di kampus mengadu pada saya. Dia mencurahkan hatinya tentang sikap orang tuanya yang tidak mau membelikan sepeda motor untuk kuliah. Dari getaran suaranya ada nada protes, dan setengah kebencian terhadap kedua orang tuanya. Bahkan, saya menebak kalau dalam pikiran Anca muncul kesimpulan kalau orang tuanya tidak sayang pada dirinya.

Saya kemudian tanya pada Anca, tentang penghasilan kedua orangtuanya. Menurut mengakuannya, orang tua Anca memiliki kebun Kelapa Sawit dan Kebun Karet yang luas. Atas dasar itulah, Anca menganggap sangat tidak masuk akal kalau orang tuanya tidak bersedia membelikan sepeda motor untuk kuliah.

Di tengah berbagai kegundahan hati dan seribu tanya pada diri Anca, saya kemudian mengatakan, kalau sebenarnya penolakan  orangtuanya bukan karena ayah Anca tidak sayang padanya. Bahkan sebaliknya, oleh karena orang tuanya sayang pada Anca, sehingga orang Anca sampai hari itu belum membelikan sepeda motor.

Saya berkata lagi pada Anca, “orang tuamu tidak ingin kamu celaka yang disebabkan oleh sepeda motor. Orang tuamu sangat mengerti dengan watakmu, yang mungkin kamu suka kebut-kebutan, sehingga orang tuamu khawatir, kalau sampai terjadi apa-apa pada kamu!”

“Ah! Itu hanya alasan ayah saya yang tidak mau membelikan sepeda motor! Kata Anca protes. Saya ini sudah besar. Sudah kuliah, mana mungkin saya akan ikut-ikutan kebut-kebutan seperti anak-anak SMA,” katanya menyakinkan saya.

“Anca, masalahnya bukan itu saja. Kamu harus berpikir, jangan sampai orang tuamu membelikan sepeda motor itu dengan amarah dan tidak dengan kerelaan. Sebab, Tuhan hanya akan meridloi jika orang tua juga meridloi. Jadi jangan dipaksakan. Ini adalah penundaan dari dan kasih sayang Tuhan kepada kamu melalui kedua orang tuamu!”

“Aaaah, itu tidak rasional!” katanya kesal

“Sekarang begini. Seberapa penting sepeda motor yang harus kamu punya, lalu untuk apa?” tanya saya pada Anca.

“Untuk kuliah! Lagi pula kalau saya pulang ke kampung, saya tidak perlu ongkos naik bis. Saya bisa pulang satu bulan satu kali, tidak seperti selama ini saya pulang setiap satu semester,” kata Anca berargumentasi.

Saya tanya lagi pada Anca, “kalau seandainya ayahmu tidak membelikan sepeda motor, apakah kamu tidak bisa kuliah? Kemudian jika tanpa sepeda motor apakah kamu tidak bisa mudik menemui kedua orangtuamu di kampung?”

Anca terdiam! Tatapannya membentuk bulatan, yang jelas tidak setuju dengan ucapan saya.

“Kalau ada sepeda motor, saya siap narik ojek, sambil kuliah, kan saya bisa cari duit,” katanya menegaskan lagi.

“Oke, besok kamu pulang dan katakan pada orang tuamu, dengan semua alasan yang kamu sampaikan hari ini,” kata saya setengah menyuruh Anca.


Dua minggu saya tidak bertemu. Saat saya datang ke kampus Anca sudah mengendarai sepeda motor baru. Ada rona keceriaan yang tersemburat di wajahnya. Tetapi sejak itu pula, Anca makin jarang saya temui di kampus, apakah dalam ruang kuliah atau di sejumlah kegiatan mahasiswa. Saya tanya pada sebagian teman-teman Anca. Kata mereka, Anca sekarang sibuk dengan kekasihnya. Antar jemput kekasihnya dan setelah itu narik ojek.

Ketika itu, dalam kesenangan Anca mungkin tidak menyadari, kalau sebenarnya orangtaunya membelikan sepeda motor dengan keterpaksaan dan setengah hati.

Sekitar dua atau tiga bulan saya tidak mendapat kabar tentang Anca dan sepeda motornya. Dan masuk bulan keempat, saya dapat kabar dari teman Anca, kalau sepeda motornya hilang di kampus saat Shubuh menjelang. Anca sekarang kembali kuliah tanpa sepeda motor seperti sebelumnya.

Kisah ini memberi pelajaran bagi kita, kalau kasih sayang tidak selalu dalam bentuk pemenuhan materi. Sebab, pemenuhan materi pada anak tanpa menimbang risiko, sama saja kita sebagai orang dewasa telah menjerumuskan generasi bangsa ini ke jurang kesesatan sosial.

Kedua, dari kisah ini kita dapat memetik, sebenarnya Tuhan secara ghoib sudah membisikkan pada Anca untuk tidak terlalu memaksakan diri memiliki sepeda motor. Cara tuhan berbisik melalui penolakan orang tua Anca yang tidak bersedia membelikan sepeda motor. Tetapi karena Anca memaksa, akhirnya sepeda motor dibeli, tetapi hanya saat saja kemudian sepeda motor itu diambil kembali oleh Tuhan dengan cara Tuhan mengutus Pencuri untuk mengambil paksa.

Tuhan mengutus pencuri, bukan karena Tuhan jahat, atau menghukum Anca dan kedua orangtuanya. Pesannya adalah, dengan hilangnya sepeda motor, tanpa sepengetahuan indera manusia, Anca dan kedua orangtuanya sedang diselamatkan oleh Tuhan, pada peristiwa yang mungkin akan terjadi pada keluarga itu, yang lebih buruk lagi dibanding sekadar kehilangan sepeda motor.

Palembang, November  2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun