Kisah ini terjadi pada 4 Agustus 2010 pukul empat sore. Persis di depan rumah kontrakan saya.
Sore itu, Annisa, putri sulung saya yang baru berumur 5 tahun, jatuh terjerembab. Lutut kakinya lecet tergesek aspal. Tangannya juga bernasib serupa. Luka dan Kulit arinya terkelupas. Seketika itu ada bercak darah yang mengembun dari pori-pori lukanya. Memang tidak terlalu parah.
Tetapi bagi anak seusia Anisa, luka lecet di kedua lutut dan darah yang mengembun, cukup beralasan, jika anak saya kemudian menangis karena menahan rasa sakit.
Tangisnya kian meledak, saat saya kemudian keluar menyambutnya. Dia menganggap, saya akan langsung memanjakan dan menggendongnnya. Tangannya menjuntai ke arah saya. Tetapi saya tidak langsung menerima permintaan itu. Kian meraunglah suara tangis anak saya itu.
Sebagai orang tua, saya tidak ingin tangisan anak saya makin keras. Saya coba mengobatinya. Setelah itu, saya menggendongnya dan saya baringkan diatas ranjang. Tak lama kemudian, dalam belaian, anak saya terlelap bersama rasa nyeri lutut dan tangannya. Saya kemudian meninggalkan anak saya di dalam kamar sendirian, setelah sebelumnya saya mencium keningnya. Demikianlah kisah rasa sakit yang sore itu diderita anak saya.
 Rasa sakit bisa menimpa siapa saja. Rasa sakit tidak kenal dengan pangkat dan jabatan. Dan sore itu rasa sakit menimpa anak saya. Tetapi, saya melihat demikian indah rasa sakit yang menimpa anak saya sore itu, ketika kemudian kecelakaan kecil itu mengantarkan anak saya bisa tidur siang meski hanya sesaat.
Seperti kebanyakan anak seusia anak saya, tidur siang biasanya dianggap sebagai siksaan, karena mereka mengangap ruang dan waktu bermain menjadi tersita oleh tidur siang.
Tetapi, sore itu ternyata Tuhan ternyata berkata lain pada anak saya. Jika tanpa ada kejatuhan yang menimbulkan rasa sakit, anak saya akan menolak untuk diperintah tidur siang. Jatuhnya anak saya adalah bahasa langit yang kemudian menyadarkan saya, betapa keinginan baik dari orang tua yang ditolak mentah-mentah oleh anak, kemudian diambil alih kewenangannya oleh Tuhan, dengan cara "sakit dan jatuh" lebih dulu, baru kemudian anak saya bersedia berbaring dan terlelap.
Dalam skenario langit, Tuhan telah sedemikian banyak menciptakan jutaan rasa sakit yang acap kali kita anggap cobaan, teguran atau bahkan laknat. Tetapi sedemikian sombongkah kita jika kemudian menganggap rasa sakit yang menimpa, kita sebut sebagai cobaan. Sudah berapa banyakkah kita berlaku adil atas karunia-Nya, sehingga kita menganggap rasa sakit itu sebagai cobaan? Seberapa taatkah kita pada Sang Pemberi nikmat, sehingga kita beraninya menganggap rasa sakit yang menimpa kita sebagai teguran, apalagi cobaan?
Lalu sebagian orang mengangap rasa sakit sebagai teguran. Seberapa besar kesalahan yang telah kita lakukan sehingga kita menganggap rasa sakit yang kita derita sebagai teguran? Pernahkah kita kemudian melakukan perhitungan (muhasabah diri) atas segala kelalaian kita yang telah melakukan dosa ritual, dosa sosial  dan dosa struktural dalam system tatanegaraan kita, jika kemudian kita menyebut rasa sakit itu sebagai teguran?Â