6
Ekspor (FOB US $)
50,237,526.31
53,826,324.55
5.Sumber: BPS & BPMPT Kota Surakarta, 2012
Perhatikan tanda tersebut. Penulisan tanda “koma” yang tidak benar membuat angka tersebut sangat berbeda dengan yang hendak dimaksud.Padahal nilainya tidak kecil. Jika kita merujuk apa adanya, maka PDRB atas dasar harga berlaku di tahun 2010 besarnya adalah sembilan juta sembilan ratus empat puluh satu ribu seratus tiga puluh enam rupiah, lima puluh sen. Dibandingkan dengan tahun 2011, maka terjadi peningkatan PDRB yang gila-gilaan, karena di tahun 2011 PDRB atas dasar harga berlaku adalah sepuluh triliun tujuh ratus delapan puluh miliar delapan ratus dua puluh sembilan juta empat ratus delapan puluh lima ribu tiga ratus sembilan belas rupiah.
Mungkin si penyusun (yang mengetik) dokumen KUA berdalih salah ketik. Oke lah, alasannya bisa diterima meski sebenarnya janggal karena naskah KUA ini merupakan dokumen resmi yang diajukan ke DPRD untuk menjadi kesepakatan bersama. Sayangnya, dalih salah ketik terjadi lagi pada PDRB atas dasar harga konstan 2000. Lagi-lagi penempatan tanda “koma” yang membuat nilai PDRB tersebut jatuh ke jurang dan akibatnya fatal karena nantinya jika dihitung seperti apa adanya, akan membuat pertumbuhan ekonomi kota solo mencapai ratusan juta persen. Nggak masuk akal bukan?
Bukan itu saja, di kolom indicator, pada keterangan PDRB, termasuk untuk PDRB per kapita dituliskan keterangan dalam juta rupiah. Artinya jika keterangan itu diikuti, maka PDRD di tahun 2011 yang sudah dalam hitungan triliun itu masih harus ditambah angka nol sebanyak enam biji di belakangnya. Saya tidak bisa membacanya lagi angka seperti Rp 10.788.829.485.319.000.000 dan seterusnya.
Terus terang saya tidak bisa memberikan penilaian, apakah data-data yang tersaji berikutnya bisa dipercaya. Saya juga tidak menyebut apakah data itu tidak valid, salah ketik, manipulatif. Saya tidak memiliki istilah yang tepat tapi rasanya kalau salah ketik kok terus terjadi. Mari dilihat lagi pada penjelasan yang diberikan penyusun KUA terhadap tabel II.1 tadi. Ada bi dibandingkan tahun 2010 sebesar 5,09%, tumbuh sebesar 0,95%.” saya tidak tahu dari mana angka laju pertumbuhan di tahun 2010 itu sebesar 5,09 % diperoleh karena di dalam tabel yang dijelaskan tertulis sebesar 5,94 (persen). Jika salah kutip maka seharusnya di kalimat selanjutnya tidak akan tertulis “tumbuh 0,95%” karena angka itu benar jika hitungannya di tahun 2010 sebesar 5,09% dan di tahun 2011 ada pada 6,04. Seharusnya jika salah ketik, maka “tumbuh 0,1 %.”Rasanya kurang masuk di akal untuk memasukkan masalah ini dalam kategori “salah pengetikan” lagi. Apalagi, jika diteruskan logika si penyusun KUA ini yang menyatakan laju pertumbuhan ekonomi di Kota Surakarta pada tahun 2010 “sedikit lebih rendah dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi tingkat provisi sebesar 5,8”. Data mana yang dipercaya, di dalam tabel atau dalam penjelasan??
Masih berkaitan dengan data berupa angka yang meragukan, tidak valid atau tidak bisa dipercaya. Kita masuk ke bagian ekspor. Dituliskan di halaman 9, seperti ini “Nilai ekspor Kota Surakarta tahun 2011 sebesar US$ 53.826.324,55 dengan nilai ekspor semester I sebesar US$ 27.368.621,02, tumbuh 7,14% dibandingkan nilai ekspor tahun 2010 sebesar US$ 50.237.526,31.” Mari dibandingkan dengan data serupa di bagian lain, (di halaman 10 yang membahas mengenai prospek ekonomi 2012-2013). Di bagian ini ditulis “….jika melihat realisasi ekspor sampai dengan semester I tahun 2012 sebesar US$ 27.368.621,02, dibandingkan dengan nilai ekspor semester 1011 sebesar US$ 21.462.854,8.”.
Apa yang janggal dari dua data itu? Di saat membahas kondisi ekonomi tahun 2010-2011 (halaman 9), nilai ekspor sebesar sebesar US$ 27.368.621,02 dikatakan sebagai nilai ekspor pada semester I tahun 2011. Namun saat membahas prospek ekonomi 2012-2013, nilai ekspor tersebut dikatakan sebagai realisasi ekspor semester I Tahun 2012. Mana yang benar? Ooo..ooo, angka itu dikoreksi di halaman berikutnya
Menurut saya ini bukan soal salah menempatkan angka atau salah ketik karena akan memberikan konsekuensi mengenai asumsi-asumsi ekonomi makro yang juga menjadi bagian dari KUA. Jika salah data, asumsi apa yang bisa dibuat? Jika data asal-asalan, asumsi yang menjadi dasar untuk melihat prospek ke depan juga hanya rekaan maka kebijakan yang dibuat pun tidak lebih dari kebijakan seenak udelnya. Ini bukan mengada-ada, karena bisa dengan terlihat dengan jelas jika KUA 2013 ini sesungguhnya tidak memberikan “arah yang jelas ke mana kebijakan Pemkot Surakarta di tahun 2013. Kita cukupkan dulu soal data yang sulit untuk dimengerti (baca: tidak bisa dipertanggungjawabkan) ini.
2. KUA Tahun 2013 meliputi lima bab, dengan duaEkonomi Makro Daerah, Asumsi Dasar Penyusunan RAPBD dan Kebijakan Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan Daerah. Pada bagian Ekonomi Makro Daerah, selain berupa penyajian data yang asal-asal karena banyak yang tidak teliti, juga memuat mengenai prospek ekonomi Kota Surakarta serta Arah Kebijakan Ekonomi Kota Surakarta 2013.
Jujur saya tidak terlalu memahami masalah-masalah ekonomi, tetapi membaca KUA 2013 ini, saya menjadi terperangah karena begitu tergantungnya ekonomi Kota Solo dengan yang namanya Amerika Serikat (dan Eropa). Entah beberapa kali disebut Amerika dan Eropa sebagai biang dari melambatnya pertumbuhan ekonomi Kota Surakarta dan anjloknya nilai ekspor dari Kota Solo. Secara teoritis, memang sangat logis jika pasar ekspor tidak tersedia maka ekspor bakal anjlok, tetapi terus terang sebenarnya benarkah Kota Solo ini melakukan ekspor yang nilainya mencapai US$ 21.462.854,8 di semester II tahun 2012? Angka ini tidak kecil karena jika dirupiahkan (dengan asumsi nilai tukar Rp 9.000), hampir mencapai Rp 200 miliar.
Sebelum membahas soal Arah Kebijakan, ada baiknya untuk melihat data-data tentang investasi yang disajikan. Melihat data tersebut benar adanya, saya termasuk orang yang sulit untuk percaya jika di Solo masih ada pengangguran.Kenapa? Bayangkan, nilai investasi di Kota Solo sampai dengan triwulan III tahun 2012 sudah mencapai Rp 2.489.478.129.199, sudah melebih nilai investasi di tahun 2011. Jika diakumulasi sejak tahun 2009 hingga 2012 triwulan III, nilai investasi di Kota Solo mencapai Rp 7.615.474.943.566 atau kalau disederhanakan adalah Rp 7,6 triliun lebih. Bukan angka yang kecil untuk investasi dan tentunya membuka lapangan kerja yang tidak sedikit. Sayangnya, di KUA tidak ada gambaran soal pengangguran dan kemiskinan sebagai bagian dari asumsi dasar dan kerangka dasar ekonomi yang menjadi landasan untuk menentukan arah kebijakan ekonomi daerah.
Satu lagi berkaitan dengan investasi. Di dalam KUA 2013 disebutkan jika investasi yang ditanamkan di Kota Solo, didominasi oleh usaha skala besar, dari empat jenis usaha yang melakukan investasi yakni usaha skala yakni mikro, kecil, menengah dan besar. Hal ini sebenarnya agak aneh, mengingat selama ini Pemerintah Kota Surakarta memiliki jargon keberpihakan terhadap ekonomi mikro-kecil-menengah. Ada dua kemungkinan, pertama investasi di skala usaha mikro-kecil tidak terdeteksi oleh dinas yang mengurusinya (BPMPT) karena tidak mengajukan izin atau mengajukan izin tetapi tidak menjadi prioritas untuk diselesaikan karena tidak memberikan “apa-apa”. Kemungkinan yang kedua adalah pembangunan besar-besaran pasar tradisional, penataan PKL dan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan UMKM memang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap investasi pada skala UMKM. Saya cenderung menduga pada kemungkinan yang pertama jika mengacu pada pemberitaan di media yang memberikan gambaran betapa susahnya untuk mendapatkan IUP/TDP bagi pengusaha mikro.
Ada kesan KUA 2013 mengesampingkan kondisi ekonomi riil dan hanya berkutat pada hal-hal yang makro. Hal itu kemudian mempengaruhi arah kebijakan ekonomi kota Surakarta di tahun 2013 yang diajukan dalam KUA tersebut. Lima arah kebijakan ekonomi daerah terasa absurd, tidak jelas, berputar-putar sekadar “statement verbal”. Saya cuplikan salah satu arah kebijakan ekonomi daerah tersebut, “Meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dengan mengembangkan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi dominan, yang bertumpu pada peran ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Pertumbuhan ekonomi dengan percepatan yang lebih tinggi, terjaganya stabilitas ekonomi makro. Dengan pembenahan yang sungguh-sungguh pada sektor riil, diharapkan akan dapat mendorong peningkatan investasi dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas dengan fokus utama untuk menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan, dalam hal ini diperlukan strategi kebijakan yang tepat dengan menempatkan prioritas pengembangan pada sektor-sektor yang mempunyai efek pengganda tinggi dalam menciptakan kesempatan kerja.”
Dengan kalimat panjang-lebar tetapi tidak memberikan gambaran yang konkret sebenarnya hendak ke mana arah yang dituju. Jikahanya statement “meningatkan pertumbuhan ekonomi…”, tentu semua kebijakan ekonomi yang dibuat adalah untuk itu salah satunya. Tidak perlu harus ada KUA 2013. Arah kebijakan ekonomi yang tertuang dalam KUA ini rasanya seperti sebuah “rekomendasi” dari konsultan atas sebuah penelitian/survey ataubahkan mungkin sekadar kesimpulan dari studi mahasiswa yang sedang mengejar title sarjananya.
Saya membayangkan bahasa yang dipakai dalam menjelaskan arah kebijakan ekonomi 2013 lugas dan to the point. Misalnya “Mengarahkan sebagian besar resources yang ada di Kota Surakarta untuk mempercepat perbaikan infrastruktur dan sarana mobilitas dalam rangka mewujudkan Kota Solo sebagai Kota MICE yang berbasiskan pada industri kreatif dan wisata budaya”. Ini misal lho, jadi ya agak gimana gitu. Tapi rasanya lebih jelas, ada pijakan dan hendak ke mana (arahnya).
Masih ada satu lagi sebelum saya sudahi pembacaan KUA 2013. Pada bagian asumsi dasar (bab III), mengenai pertumbuhan PDRB tahun depan. Menurut penyusun KUA, pertumbuhan ekonomi Surakarta, berdasarkan data tahun-tahun sebelumnya, ditopang oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor industry olahan. Itu tidak salah, karena faktanya Solo memang tidak memiliki sumber daya alam dan selama ini tergantung pada usaha jasa dan perdagangan. Namun ketika disebutkan peningkatan pertumbuhan sector tersebut lantaran keberhasilan branding city sebagai kota MICE, saya ragu. Karena apa? Tak secuilpun data yang disajikan untuk memperkuat argument keberhasilan sebagai Kota MICE skala regional, nasional dan internasional. Apalah selain orang yang berdatangan ke Solo karena melakukan kegiatan yang berkaitan MICE, ada follow up-nya, semisal menanamkan modal atau melakukan transaksi bisnis secara signifikan? Wallahu bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H