2. MAGNITUDE KRISIS
Magnitude Krisis sebagai akibat dari kondisi tersebut di atas sudah mulai dirasakan hampir di seluruh penjuru kawasan regional dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi yang mengarah kepada krisis global, terutama pada negara-negara yang pertumbuhan PDB-nya mengandalkan ekspor, perdangan dan jasa internasional serta investasi dan sumber financial global.
Kondisi yang berlawanan terjadi pada beberapa negara kawasan ASEAN dengan laporan statistik Q3 masing-masing negara masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat mengesankan seperti Indonesia yang mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7%, Malaysia 14,2%, Vietnam 13,67%, Filipina sebesar 7,6% dan Singapura sebesar 4,4%.
Kinerja pertumbuhan yang masih sangat baik pada negara kawasan ASEAN tersebut didukung oleh growth sektor perdagangan, ekspor dan konsumsi, di mana kenaikan harga komoditas dunia memberikan kontribusi yang cukup signifikan atas performa growth pada kawasan tersebut kecuali Singapura yang kinerja ekspornya 200% dari PDB dan neraca perdangannya mencapai 325% dari PDB.
Mengacu kepada krisis financial global tahun 2008 yang tidak berdampak signifikan pada sektor riil, perdagangan, ekspor, pariwisata, maupun finansial di negara kita, kondisi tersebut disebabkan kontribusi konsumsi domestik terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 56%, surplus pada trade balance sebagai dampak dari meningkatnya nilai ekspor atas kenaikan harga komoditas ekspor utama Indonesia seperti CPO, karet, kopi, batu bara, cokelat dan ekspor natural resources lainnya serta capital inflow FDI maupun Non-Direct Investment dari capital market growth saat itu.
Kondisi serupa terulang kembali dengan kenaikan harga komoditas yang sangat tinggi, konsumsi domestik yang terjaga sesuai dengan ekspektasi indeks konsumen dan stabilisasi nilai tukar rupiah yang didukung oleh surplus neraca perdagangan, dan cadangan devisa sebesar 130 Milyar USD serta kembalinya Capital Inflow yang sempat keluar di awal tahun 2022 ini.Â
Jika kondisi resesi global terus berlanjut pada tahun 2023 diperkirakan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional akan mengalami tekanansebesar +/- 1, menjadi sekitar 4,5% sebagai dampak menurunnya permintaan global terhadap ekspor komoditas utama Indonesia, volatilitas nilai kurs dan penyesuaian atas inflasi.
Solution
Langkah yang diperlukan untuk mengatasi kondisi perlambatan dan resesi ekonomi global tersebut adalah dengan membuat kebijakan bauran fiskal dan monetary policy yang disesuaikan dengan perkembangan progres internal dengan faktor pengaruh global.
- Kenaikan inflasi yang cukup tinggi saat ini idealnya dipenuhi dengan peningkatan sisi supply atau penawaran, namun kekurangan dari sisi supply ditutupi dengan melakukan tekanan terhadap sisi demand dengan kebijakan tight money policy melalui peningkatan suku bunga untuk meredam inflasi sesuai dengan target yang diharapkan di kisaran 2% s/d 4%
- Menyesuaikan dan menurunkan suku bunga acuan bank pada saat angka inflasi mulai menurun sampai dengan pemulihan ekonomi pada tingkat interest rate yang diharapkan.
- Menerapkan kembali sistem Inventory Level dan Buffer Stock untuk bahan baku kebutuhan utama dan industri, mengingat gejolak ekonomi dan geopolitik global yang mengalami eskalasi dan periodesasi gejolak tersebut semakin cepat dan meluas
- Menyiapkan produk dan supply chain kebutuhan substitusi dan energi terbarukan untuk megurangi ketergantungan saat kondisi force majeure
- Meningkatkan daya saing dan kualitas SDM, penguasaan teknologi, IT dan pengembangan infrastruktur
Tatanan Dunia Baru
Mengingat gejolak regional, potensi konflik dan peperangan antar negara maupun antar sekutu semakin meningkat, karena kebutuhan pangan, wilayah dan sumber energi yang semakin menipis maka diperlukan perubahan regulasi global secara fundamental pada organisasi perserikatan bangsa-bangsa.