Mohon tunggu...
Imron Fhatoni
Imron Fhatoni Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar selamanya.

Warga negara biasa!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pengalaman Menyaksikan Pelantikan Presiden di Gedung DPR

21 Oktober 2019   18:06 Diperbarui: 21 Oktober 2019   18:10 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, saya berkesempatan menyaksikan pelantikan Pak Jokowi dan Kyai Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil presiden Indonesia 2029-2024. Sebenarnya, saya tidak menyaksikan secara langsung. Saya hanya mengikuti proses bersejarah itu dari dekat. Saya melihatnya dari gedung DPR/MPR dimana segala sesuatunya dilaksanakan.

Saya mencatat banyak hal yang berbeda dari pelantikan presiden. Ketimbang saat pelantikan DPR, MPR, dan DPD, pelantikan presiden memang super ketat. Penjagaan berlapis diterapkan oleh aparat keamanan. Tidak sembarang orang bisa masuk gedung DPR. Jika tak membawa undangan acara, jangan harap Anda bisa melewati pintu gerbang utama.

Kemarin, saya kebetulan mendampingi salah satu undangan yang juga merupakan Anggota DPR RI. Di sepanjang jalan menuju gedung DPR, banyak personel keamanan yang berjaga-jaga. Kabarnya, sebanyak 31 ribu personel gabungan dikerahkan untuk mengamankan pelantikan ini.

Maklumlah, banyak tamu negara yang ikut hadir. Di antaranya adalah Sultan Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah, PM Australia Scott Morrison, PM Singapura Lee Hsien Long, PM Kamboja Hun Sen dan Raja Eswatini Raja Mswati III.

Selain tamu negara, pelantikan juga setidaknya diikuti oleh 711 anggota MPR yang terdiri atas DPR dan DPD. Belum lagi para kabinet kerja di era Jokowi-JK dan sejumlah tamu penting lain termasuk Pak Prabowo dan Sandiaga Uno yang merupakan pesaing Jokowi-Ma'ruf pada Pilpres lalu.

Membiarkan momentum pelantikan ini dirusak oleh kelompok tertentu, sama dengan mencoreng muka sendiri. Apapun itu, marwah negara harus tetap dijaga di hadapan bangsa lain. Pelantikan seorang kepala negara harus disambut gegap gempita, bukannya malah menggelar aksi demonstrasi. Kira-kira seperti demikian kata seorang pejabat negara di salah satu media.

Setiba di area gedung, saya melihat banyak sekali Tank dan Barakuda. Pasukan Brimob dan TNI bersenjata lengkap hilir mudik. Jurnalis dari banyak media dan stasiun televisi pun tampaknya sudah menanti para tamu undangan untuk diwawancarai.

Saya juga melihat Prabowo dan Sandi memasuki gedung. Sepertinya mereka memang sudah janjian untuk pergi ke acara ini bersamaan. Saat mereka tiba, banyak sekali wartawan yang mengerubungi. Mungkin mereka hendak bertanya banyak hal pada pasangan itu. Entahlah.

Saya bisa merasakan bagaimana tuntutan profesi para jurnalis. Saya punya banyak teman yang berprofesi di bidang ini. Mereka tidak ingin ketinggalan meliput momentum besar, lalu sesegera mungkin menyebarkannya ke publik. Kabar tentang dilantiknya seorang presiden adalah kabar yang mesti diketahui semua anak bangsa.

Saya mengenal beberapa jurnalis yang biasa meliput di DPR. Saat sama-sama minum kopi di belakang Minimarket, saya sempat berbincang dengan. Sahabat itu mengaku sengaja datang lebih awal. Ia sudah tiba di gedung DPR sejak pukul 7 pagi. Padahal, sesuai kesepakatan MPR, acara baru akan dimulai sekitar pukul 14.30. "Kalau telat nanti masuknya susah. Lagian sebentar lagi pasti macet tuh di luar." Katanya.

Yang menjengkelkan dari acara pelantikan kemarin adalah acara sempat ditunda satu jam. Tak jelas apa alasannya. Tapi menurut desas desus yang beredar di DPR, justru dari pihak presiden lah yang memintanya. Ada sesuatu dalam budaya Jawa yang mengharuskan acara tersebut ditunda. Mungkin soal penghitungan waktu.

Penundaan itu mengingatkan saya pada orang-orang kampung. Di kampung saya, masih banyak orang yang percaya mitos soal waktu yang baik untuk memulai pekerjaan besar. Misalnya saat hendak menikah, pindah rumah, hajatan, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dianggap penting. Saya tak menyangka bahwa mitos-mitos seperti ini juga dipercaya oleh para pejabat tinggi.

Seperti biasa, pelantikan Presiden kemarin berlangsung hikmat. Usai mengucapkan sumpah, pak Jokowi pun berpidato dengan penuh optimisme dan daya ledak. Sesekali peserta bertepuk tangan mendengar teriakan SDM Unggul. Seisi ruangan mencair. Semua bergemuruh.

Pada akhirnya, kita hanya bisa menyaksikan proses sakral itu dari luar. Kita hanya melihat segala sesuatunya dari tepian tanpa pernah mengetahui apa-apa saja deal-dealan setelahnya. Kita adalah penonton yang sudah membeli tiket untuk menyaksikan pertandingan selama lima tahun.

Hikzzzzzzzz.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun