Mohon tunggu...
Imron Fhatoni
Imron Fhatoni Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar selamanya.

Warga negara biasa!

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Balada Perawat Indonesia, Jauh Panggang dari Api

17 Oktober 2018   05:10 Diperbarui: 18 Oktober 2018   23:08 1975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perawat bekerja secara terus-menerus selama 24 Jam, 2-3 Shift dengan segala resiko yang mengancam seperti tertular penyakit hingga ancaman kematian. Hal ini semakin diperparah dengan sistem jaminan sosial yang tidak pernah merata, antara resiko kerja dan pendapatan yang tidak berimbang.

Ada banyak sekali kasus yang menyangkut kesejahteraan perawat di rumah sakit dan puskesmas. Fenomena ini ibarat gunung es jika dibandingkan dengan perawat di Kuwait dan Taiwan yang mendapat gaji berkisar antara 15 hingga 20 juta per bulan. Sementara di Indonesia, maksimum hanya 500 ribu hingga 1,3 juta per bulannya.

Mereka yang menyandang gelar honorer dan sukarela bahkan lebih parah sebab hanya dibayar 500 ribu per 3 bulan (ada juga yang di bawah angka itu). Artinya dalam sehari, mereka mendapat gaji sebesar 500 rupiah. 

Aksi demonstrasi perawat (Poto: Netralnews.com)
Aksi demonstrasi perawat (Poto: Netralnews.com)
Fenomena ini tidak hanya berbanding terbalik dengan kerja dan tanggung jawab seorang perawat, melainkan juga biaya yang digelontorkan semasa kuliah.

Saya tak begitu heran jika banyak teman kuliah saya justru memilih bekerja sebagai tenaga kesehatan di luar negeri setelah lulus ketimbang di Indonesia. 

Mereka tentu mengharap tingkat kesejahteraan yang lebih baik di luar sana. Indonesia bukanlah rumah yang nyaman bagi perawat sukarela dan honorer. Lebih parah lagi, ketidaknyamanan ini dinikmati begitu saja oleh pemerintah.

Alih-alih memberikan solusi, sekarang ini, perawat yang tidak mengikuti ujian kompetensi dan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) tidak akan bisa bekerja meski sudah memiliki ijazah.

Saya pernah bertemu dengan perawat di salah satu tempat wisata di Lombok. Si perawat tidak sedang bekerja di klinik kesehatan, melainkan berjualan nasi bungkus di sana. Saat saya tanya alasannya, ia ternyata tidak memiliki STR.

Ada ribuan curhatan perawat di kanal media yang merasa diberatkan dengan diterbitkannya aturan STR ini. Mereka yang baru saja lulus harus mengikuti ujian kompetensi dan mendapatkan STR yang dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) terlebih dahulu. Itu pun butuh waktu berbulan-bulan.

Saya membayangkan betapa rumitnya menjadi perawat di negeri ini. Kuliah selama bertahun-tahun, nasib perawat hanya ditentukan oleh ujian kompetensi yang pelaksanaanya tak kurang dari 180 menit. Sungguh miris, jauh panggang daripada api.

Padahal, peran perawat dalam masyarakat tidaklah sepele. Di tengah maraknya bencana yang menimpa bangsa kita saat ini, perawat adalah ujung tombak yang setia menangani para korban di garda terdepan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun