Entah kenapa, saya tak pernah percaya pada proses politik bernama pilkada. Terlebih pada tim sukses. Mereka ibarat para penyabung ayam yang menjelang pertandingan sibuk mengelus-elus jagoannya.Â
Pilkada tak ubahnya sebuah permainan kartu. Pada akhirnya, mereka yang menang akan sukses dan memanen rezeki, sedang yang kalah akan menangis sejadi-jadinya ketika membayangkan uang yang terlanjur dibelanjakan.
Pilkada memang selalu bisa diinterpretasikan dari banyak sisi. Bagi rakyat, pilkada sudah barang tentu adalah ajang mendengarkan janji-janji surga. Bagi politisi, pilkada adalah peluang untuk menancapkan kekuatan.Â
Bagi birokrat, pilkada adalah rasa was-was apakah kelak, posisinya akan digeser ataukah tidak. Bagi pengusaha, pilkada adalah arena untuk memasang taruhan dan siap-siap memanen keuntungan berlipat jika menang. Bagi preman, pilkada adalah saat yang tepat untuk memanen duit lewat kerja-kerja intimidasi.
Bagi saya, pilkada itu lebih kejam dari perempuan. Sebab, untuk kesekian kalinya kita memelihara harapan yang kuat sebelum akhirnya dipatahkan oleh para centeng-centeng kelas kancil serta pemimpin yang pongah atas sederet prestasinya, namun minim pengabdian kepada masyarakat.
Menurut kalian, pilkada itu bagaimana?