Mohon tunggu...
Imron Fhatoni
Imron Fhatoni Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar selamanya.

Warga negara biasa!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

5 Gender dalam Tradisi Bugis yang Harus Dilestarikan

6 Juli 2017   22:08 Diperbarui: 11 Agustus 2017   22:44 2126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Calabai, Karya Pepi Al-Bayqunie (Dokumentasi Pribadi)

Dari sisi potensi, peranan bissu dalam sejumlah upacara adat dapat dijadikan magnet yang kelak menarik banyak wisatawan untuk berdatangan. Pemahaman mereka tentang literatur-literatur Bugis kuno juga bisa didayagunakan sebagai media edukasi dan pembelajaran bagi generasi milenial. Di tengah kekhawatiran klaim budaya oleh negara lain, setidaknya bissu menjadi catatan khusus bagi pemerintah sebagai warisan budaya asli Indonesia.

Pada abad kekinian, komunitas bissu dan pemerintah haruslah berjalan beriringan dalam pengembangan sektor budaya, pariwisata, bahkan pendidikan. Sebab sejak dulu, keberadaan bissu di Sulawesi laksana pupuk yang menggemburkan kehidupan dengan nilai-nilai kebudayaan. Mereka telah hadir dari sekian ratus tahun lalu demi membumikan pesan para leluhur dari generasi ke generasi.

Para bissu juga tak ada kaitannya dengan isu LGBT dan seksualitas yang marak belakangan ini. Maka dari itu, tak ada alasan bagi pemerintah untuk mengabaikan keberadaan mereka. Lagian, istilah LGBT hanya berlaku bagi pecinta sesama jenis. Sementara filosofi kehidupan bissu jauh lebih mendalam.

Meskipun semua bissu adalah calabai, bukan berarti semua calabai berhak menyandang status sebagai bissu. Sebab dalam aturannya, ada prasyarat-prasyarat yang harus dilakukan oleh seorang calabai terlebih dahulu. Seorang yang dikatakan bissu, haruslah terbebas dari segala belenggu nafsu duniawi.

Atraksi Kebal Para Bissu (Sumber foto:Tribun)
Atraksi Kebal Para Bissu (Sumber foto:Tribun)
Secara identitas, menurut Sharyn Graham, seorang peneliti di University of Western Australia di Perth, seorang bissu tidak bisa dianggap sebagai banci atau waria, karena mereka tidak memakai pakaian dari golongan gender manapun, melainkan setelan tertentu dan tersendiri untuk golongan mereka.

Sharyn mengungkapkan, dalam kepercayaan tradisional Bugis, tidak hanya terdapat dua jenis kelamin seperti yang kita kenal, tetapi empat atau bahkan lima bila golongan bissu juga dihitung yakni, "Oroane" (laki-laki), "Makunrai" (perempuan), "Calalai" (perempuan yang berpenampilan layaknya laki-laki), "Calabai" (laki-laki yang berpenampilan layaknya perempuan, dan golongan bissu, di mana masyarakat tradisional menganggap mereka sebagai kombinasi dari semua jenis kelamin tersebut.

Pada titik ini, tak berlebihan jika saya menyimpulkan bahwa fenomena bissu di Sulawesi adalah keberagaman gender yang harus dilestarikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun