[caption caption="Ilustrasi"][/caption]
Lagi-lagi terdengar ledakan. Di Jakarta, saya mendengar kisah tentang tiga aparat kepolisian dan beberapa warga sipil yang menjadi korban bom bunuh diri. Kejadiannya di terminal Kampung Melayu, Rabu, 23 Mei lalu. Pelakunya meninggal di tempat dengan anggota tubuh yang sudah terpotong akibat ledakan terbagi menjadi kepala, kaki dan badan yang terpisah.
Hal yang sama juga terjadi sehari sebelumnya. Ledakan besar sempat membuat panik jutaan orang ketika musisi cantik dunia, Ariana Grande, tengah menggelar konser di Manchester, Inggris. Setidaknya tercatat sebanyak 19 orang tewas dan banyak lagi yang terluka akibat ledakan tersebut.
Meski aksi terkutuk itu sempat menebar teror, faktanya di Indonesia, banyak orang berbondong-bondong ke lokasi kejadian pasca ledakan terjadi. Di berbagai media online, saya juga melihat begitu banyak perdebatan dari para pengamat. Mereka justru sibuk menyimpulkan siapa pelaku, dan apa motif dibalik aksi nekat tersebut. Padahal, jauh lebih baik menjadikan kejadian ini pembelajaran bagi generasi muda, ketimbang ikut menjadi analis dadakan di media sosial.
Mengapa kita perlu bercerita pada generasi muda terutama anak-anak prihal kejadian ini? Sebab, merekalah yang akan merawat bangsa ini suatu hari nanti. Kelak, mereka akan berbicara tentang solusi agar kejadian serupa tak akan terulang di masa mendatang. Mereka akan tumbuh sebagai simpul-simpul kebenaran, lalu menjaga bangsa ini dari segala macam teror dan perpecahan. Kelak, merekalah yang akan menjadikan banggsa ini menjadi rumah ternyaman bagi siapa saja. Tanpa memandang perbedaan agama dan status sosial, semuanya sama-sama bertautan dalam satu bingkai kebhinnekaan bernama Indonesia.
Namun, bagaimana kita menceritakan kepada anak-anak tentang sebuah ledakan bom? Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, saya kerap bertanya tentang banyak hal kepada orang tua saya. Terkadang saya membayangkan sesuatu yang berlawanan dengan logika, lalu menyimpulkan sendiri hasilnya. Sebagai contoh, dulu saya berfikir bahwa Doraemon, Dragon Ball, dan segala figur dalam film cartoon itu benar-benar ada. Bahkan saya pernah berharap suatu saat nanti bisa bertemu dengan mereka. Itu merupakan hasil kesimpulan saya sendiri ketika belia, sebelum banyak orang memberi tahu saya yang sebenarnya.
Lalu, bagimana jika banyak anak di negeri ini mulai bertanya-tanya tentang ledakan bom di Jakarta sana? Bukankah berita itu sudah tersebar secara viral di berbagai media? Bahkan, melalui layar kecil televisi, secara berkala kejadian tragis itu masih saja diberitakan hingga saat ini. Bagaimana jika banyak anak menyimpulkan sendiri tragedi yang secara massif diberitakan itu? Setidaknya, imajinasi mereka akan terkukung pada pemikiran bahwa negeri yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karto raharjo ini tak lagi nyaman dan aman untuk ditinggali.
Banyak orang tua yang memilih untuk tidak menceritakan berbagai kejadian memulikan di sudut negeri kepada anak-anak mereka karena alasan yang sangat sederhana. Tak ingin si anak berfikiran negatif, tekontaminasi segala bentuk paham radikal, ekstrimisme dan sebagainya. Padahal, membiarkan si anak menyimpulkan sendiri suatu fenomena jauh lebih berbahaya. Eileen Kennedy-Moore, Seorang pakar parenting Amerika, menganjurkan bahwa setiap orang tua harus berani menceritakan segala kejadian kepada anak-anak mereka sesuai dengan fakta-fakta yang sebenarnya.
Setiap orang tua tentunya ingin memberikan dunia yang aman untuk anak-anak mereka. Namun, berbohong dengan mengatakan bahwa kondisi bangsa benar-benar aman bukanlah solusi cerdas. Jostein Gaarder, dalam bukunya, The Sophie’s World menyebutkan, bahwa setiap anak adalah filosof. Kalimat ini menunjukan bahwa masa belia adalah masa dimana Banyak pertanyaan mendasar dilontarkan. Mereka berfikir laksana seorang filsuf. Bertanya tentang apa saja hingga membuat orang tua kehabisan kata-kata untuk menjawabnya.
Saya membayangkan bagaimana ketika banyak anak mulai bertanya-tanya tentang ledakan bom? Mereka akan menayakan dari mana ledakan itu, siapa yang melakukannya, lalu memuji keberanian si pelaku yang dengan gagah berani mengorbankan seonggok nyawa tanpa memperdulikan motif dibalik semuanya.
Saya membayangkan betapa setiap anak akan menimpali orang tua mereka dengan ribuan pertanyaan hanya dari sepotong kasus hingga dahaga pengetahuan mereka dituntaskan. Lalu sebagai orang tua yang bijak, bagaimana seharusnya menjelaskan kasus naaas itu kepada mereka?
Untuk itu, penting untuk mengetahui bagaimana para orang tua bercerita kepada anak-anak mereka tentang sebuah kejadian. Terlebih jika kejadian tersebut adalah sebuah fenomena ledakan bom. Nah, marilah kita buat daftar sederhana. Saya hanya menuliskan ulang apa-apa yang sudah dibahas oleh para ahli parenting.
Pertama, berikan fakta terkait kejadian tersebut dengan cara anda. Akan lebih baik bagi setiap anak untuk mendengar berita dari orang tua dibanding teman sebayanya atau bahkan media sosial. Dapatkan informasi dari sumber berita terpercaya dan dapatkan fakta umum prihal kejadian tersebut.
Anda mungkin juga perlu bertanya kepada mereka, "Apa yang telah kau dengar?" Anak-anak berbicara, dan terkadang mereka salah mengetahui dan memahami sebuah berita. Meminta apa yang telah mereka dengarkan, memberi kita kesempatan untuk memperbaiki kesalahan informasi dan mungkin menghilangkan ketakutan yang tidak perlu pada diri mereka.
Kedua, berbicara tentang perbedaan antara rasa takut dan kewaspadaan. Ketika tragedi menyerang secara tiba-tiba, sangat mudah untuk menyimpulkan bahwa tidak ada orang yang benar-benar aman, kekerasan ada dimana-mana, dan kapan saja. Bantulah si anak memahami bahwa sebagian besar masyarakat yang ada di lokasi kejadian tidak mengalami kekerasan. Hidup dalam bayangan ketakutan terus-menerus terlalu membatasi mereka.
Gunakanlah contoh mengemudi di dalam mobil. Beritahukan kepada mereka bahwa setiap orang akan selalu berkemungkinan mengalami kecelakaan, tapi kemungkinan yang lebih besar tidak. Lakukan beberapa soal matematika dengan si anak untuk membuktikannya. Berapa banyak perjalanan mobil yang rata-rata anda lakukan sehari-hari? Berapa hari anda gunakan untuk mengendarai selama hidup anda? Berapa banyak kecelakaan yang pernah anda hadapi?
Jelaskanlah kepada si anak bahwa jika hidup kita dikekang oleh rasa takut, kita akan berhenti menyetir ke mana saja. Sementara biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan semua itu terlalu tinggi. Maka sebagai gantinya, kita memilih untuk berhati-hati. Kita mematuhi sinyal lalu lintas, tidak bermain hp sambil mengemudi, dan selalu waspada di jalan raya, hingga sampai tujuan.
Ketiga, berilah contoh kebaikan pada kasus tersebut. Ketika kita mendengar tentang tragedi ledakan bom, kita juga akan belajar lebih banyak tentang berbagai tindakan baik didalamnya. Seorang tukang ojek yang menyelamatkan korban ledakan, aksi sigap para aparat kepolisian, serta para warga yang membantu menyebarkan informasi tentang kejadian ini. Beritahulah kepada anak cerita-cerita ini untuk menunjukan bahwa betapa masih banyak orang di luar sana yang hatinya seluas samudra, ketimbang mereka yang jiwanya tercemar penyakit kebencian.
Keempat, mengajak mereka terlibat dalam aksi positif. Sebagian besar dari kita merasa lebih baik ketika bisa melakukan pemecahan terhadap suatu masalah. Bantulah si anak menemukan beberapa cara yang mudah untuk mengambil tindakan dalam melawan segala bentuk kekerasan di republik ini. Mungkin kita bisa mengajak mereka untuk terlibat dalam program anti intimidasi di sekolah, mengumpulkan uang untuk menyantuni keluarga korban, atau mengajak mereka berdoa untuk para korban tragedi ini.
Yang terpenting adalah bagaimana cara kita berkomunikasi kepada setiap generasi muda, kepada setiap anak tanpa keluar dari substansi masalah yang diceritakan. Yang terpenting adalah bagaimana cara kita menjaga asa mereka bahwa bangsa ini adalah bangsa yang tak bisa ditakuti oleh aksi apapun. Persatuan rakyat Indonesia telah menukik tajam ke tanah hingga tak mudah goyah oleh kepentingan kelompok manapun.
Saya hanya mencatat beberapa. Orang-orang yang belajar psikologi ataupun ilmu parenting punya lebih banyak penjelasan tentang bagaimana seharusnya bersikap kepada generasi muda tentang kondisi ini. Kita bisa terus mengembangkan, lalu mencatat berbagai argumen yang kita temukan dalam berbagai interaksi. Ada hal-hal yang kita sadari, banyak pula hal yang tidak disadari. Namun dengan cara belajar terus-menerus, kita bisa mengasah keperkaan kita dalam berargumentasi dan menemukan kebenaran.
Saya turut berbelasungkawa atas duka yang melanda ibukota. Teruntuk para keluarga korban, saya berdoa agar sang pencipta menyelipkan angin ketabahan di hati mereka, serta membayar setiap air mata yang menetes dengan nikmat dikemudian hari. Perlahan saya menundukkan kepala. Dalam hati saya membatin, saya tidak takut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H