Manusia dan bahasa merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Di mana ada manusia di tempat itu pula pastilah ada bahasa.
Bahasa pertama yang dikenal oleh manusia adalah bahasa cinta. Bahasa ini jelas berawal dari perasaan bahagia dilanjutkan dengan dengan belaian , dekapan , kecupan hingga senanudung dan juga doa sebagai ungkapan cinta dari seorang manusia yang bernama ibu kepada bayi yang baru dilahirkannya. Bahasa cinta dari seorang ibu tersebut dalam perkembangan selanjutnya jadilah bahasa ibu karena berawal dari faktor penutur pertamanya.
Bahasa ibu sebagi cikal bakal bahasa daerah akan berkembang sesuai kesepakatan para penutur atau pengguna bahasa tersebut. Bahasa daerah yang tetap dipelihara dalam pergaulan sehari-hari atau bahkan lebih sering digunakan dalam forum-forum resmi di daerah tersebut maka keberadaanya akan tetap terjaga dibandingkan bahasa daerah di tempat lain yang tidak dipergunakan dalam acara-acara resmi atau dalam bahasa sehari-hari lebih menyukai menggunakan bahasa nasional. Memang bahasa nasional adalah sebagai pemersatu bangsa, tapi kalau kita harus menjaga keberadaan bahasa nasional bukan berarti harus meninggalkan atau membiarkan bahasa daerah mati secara pelan-pelan dengan berbagai alasan misalnya keberadaan bahasa Jawa banyak yang beralasan lebih rumit, tidak praktis bahkan ada yang mengatakan terkesan feodal karena ada tingkatan-tingkatannya dalam penggunaannya.
Bahasa daerah memang harus tetap dipelihara tetapi tak perlulah kemudian terlalu fanatik dengan kedaerahan tersebut, seperti pengucapan akhiran kan menjadi ken misalnya melaporkan menjadi melaporken , menyampaikan menjadi menyampaiken dan sebagainya yang konon itu pengaruh dari bahasa Jawa seperti Jw, ngaturaken,nyaosaken dan sebagainya. Tenyata kebiasan menggunakan bahasa seperti itu tidak berlanjut sampai saat ini berarti masyarakat sekarang bisa membedakan penggunaan bahasa daerah dan bahasa nasional.
Beberapa waktu yang lalu sebuah stasiun televisi swasta dalam reportase pagi menayangkan berita mengenai peternakan itik di daerah Semarang dalam berita tersebut digunakan kata pengangon untuk menggantikan kata penggembala kami yang sedang menyiapkan sarapan pagi terkejut mendengar kata pengangon karena terasa Jawa sekali pengangon wow pengangon.
Pada kesempatan lain penulis mencoba membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia ternyata ada kata pengangon samadengan kata penggembala,mungkin karena kurang terbiasa saja sehingga penulis merasa aneh dengan kata tersebut ataukah mungkin ada juga dalam bahasa daerah lain kami tidak tahu. Menurut hemat kami kata penggembala lebih familier dibandingkan kata pengangon .
Jadi kita harus tetap memelihara dan menjaga bahasa nasional tanpa harus membiarkan mati bahasa daerah, karena bahasa daerah merupakan kekayaan budaya bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H