Dewasa ini, dunia sedang dihadapkan pada situasi genting akibat kedatangan tamu yang tak di undang secara tiba-tiba dan tak kunjung hilang, yakni covid 19. Di Indonesia sendiri banyak yang terkesan meremehkan covid 19, baik dari segi penanganannya maupun kesadaran masyarakatnya. Meski begitu, sekalipun diremehkan nyatanya dampak sosial akan tetap kita rasakan.
Baik kita sadari ataupun tidak, banyak sekali yang berubah sejak covid-19 datang. Sebab, segala aktifitas yang kita lakukan sebisa mungkin dikerjakan dirumah, sehingga sedikit demi sedikit kita semua dipaksa untuk adaptasi cepat terhadap digital. Mulai dari pekerjaan, transaksi, pembelajaran dan komunikasi, kesemuanya ditransformasikan ke digital.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, siapkah para santri yang notabene kaum bersarung dihadapkan pada era yang serba digital seperti saat ini? Mari kita bahas bersama.
Generasi santri di era ini, adalah generasi yang berbeda dengan generasi pada sebelum-sebelumnya. Alasannya adalah,  santri di era ini masuk dalam kategori Generasi Z atau Gen Z, generasi Z terlahir setelah Generasi Y. Gen Z sendiri adalah Kumpulan orang yang lahir di tahun 1995 sampai dengan tahun 2010. Gen Z biasanya disebut sebagai iGeneration atau generasi internet atau generasi net, karena mayoritas dari mereka kesehariannya selalu terhubung dengan dunia maya dan dengan kecanggihan teknologi digital. Â
Kemudian, alasan lain yang menjadi pembeda antara santri sekarang dengan sebelumnya adalah, santri di era ini  berhadapan langsung dengan era transformasi digital. Mengapa saya disini menyebutnya dengan istilah transformasi digital?Â
Karena selain sekarang sudah memasuki era big data dan internet of think (IoT) yang kemudian berubah menjadi kecerdasan buatan atau istilah lainnya adalah revolusi industri 4.0, ditambah lagi dengan kehadiran covid-19.Â
Sehingga, bagi mereka yang sudah siap dengan digital dan mereka yang belum siap dengan digital, mau tidak mau dipaksa dan diharuskan untuk segera menyesuaikan diri dengan digital.
Pada dasarnya, di era kecanggihan digital kita di buat ketergantungan dengan digital, atau istilah lainnya adalah tidak dapat hidup kecuali dengan digital.Â
Tidak heran jika Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan, revolusi industri 4.0 (era digital) telah mendorong inovasi-inovasi  teknologi  yang  memberikan  dampak  disrupsi  atau  perubahan  fundamental  terhadap  kehidupan masyarakat. Artinya, perubahan  tak  terduga akan menjadi fenomena sosial yang sering muncul pada era digital.
Untuk itu, transformasi digital sudah seharusnya menjadi tantangan sekaligus peluang bagi para santri, untuk mencetak santri yang berkualitas unggul.Â
Maka dari itu, di era digital ini santri di Tanah Air diharapkan dapat mengejar pengetahuan dibidang IT, agar para santri dapat diterima oleh masyarakat dengan baik. Karena selain memiliki akhlakul karimah sesuai ajaran agama Islam, mereka juga tidak kalah saing dalam hal kemampuan IPTEK.
Jika sedikit menilik kebelakang, banyak sekali catatan sejarah yang menceritakan keberhasilan kaum santri dalam berjuang menghadapi tantangan perubahan zaman dari masa ke masa.
Jika di Jawa sendiri, di awali dengan hadirnya wali songo di era Feodalisme yang secara radikal dapat melakukan islamisasi ke seluruh struktur masyarakat, mulai rakyat kecil sampai pemimpin kerajaan.
Kemudian, di era kolonialisme kaum santri juga termasuk kalangan yang paling sulit di taklukan oleh Belanda. Bahkan, selama abad ke 19 terdapat sekitar 112 pemberontakan melawan kolonialisme yang di pimpin oleh kaum santri. Termasuk perang Jawa yang di pimpin Pangeran Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830 Masehi dan dapat membuat Belanda kocar kacir, juga merupakan representasi perlawanan dari kalangan santri.
Kemudian setelah memasuki abad ke 20 zaman pun mulai berubah. Masyarakat pribumi mulai mengenal baca tulis sejak diterapkannya kebijakan politik etis atau politik balas budi. Sejak itu pula ruh-ruh nasionalisme mulai tumbuh. Kemudian masyarakat pribumi sadar, bahwasanya perlawanan melawan kolonialisme Belanda membutuhkan wadah yang di sebut dengan Organisasi.
Oleh sebab itu, banyak sekali organisasi-organsasi yang bermunculan, dan kaum santri pun juga tidak lepas dari itu. Seperti lahirnya Syarikat Dagang Islamiyah (SDI), dengan semangat keislamannya para saudagar islam bersatu akibat memanasnya persaingan dagang antara pribumi dengan penduduk Tionghoa peranakan. Kemudian SDI mengubah nama organisasinya menjadi Syarekat Islam (SI). H
Haluan organisasinya yang awalnya hanya fokus pada sosial dan ekonomi, berubah menjadi politik dan agama. Dengan maksud menyumbangkan sepirit perjuangan islam dalam semangat juang rakyat terhadap kolonialisme dan imperialisme pada masa tersebut.
Syarekat Islam berkembang dengat sangat pesat ketika di pimpin H.O.S Tjokoaminoto. Namun seiring berjalannya waktu H.O.S Tjokroaminoto dianggap kurang radikal dalam menghadapi kolonialisme belanda.Â
Dari situlah terjadi perpecahan di kubu SI menjadi dua kelompok, yakni SI putih yang dipimpin H.O.S Tjokroaminoto dan SI merah di pimpin Semaon yang pada saat itu memiliki jabatan sebagai ketua SI Semarang. SI merah inilah cikal bakal berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain SI, organisasi islam yang sampai saat ini kita kenal adalah Nadlotul Ulama' (NU) dan Muhammadiyah.
Di era Revolusi santri juga memiliki peran dalam menghadapi tantangan perubahan zaman. Seperti dalam perumusan dasar negara kita, kaum santri yang dalam hal ini diwakili oleh KH Wahid Hasyim, turut andil dalam mengambil kebijakan untuk Indonesia kedepannya di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).Â
Selain itu, dalam sidang PPKI, KH Wahid Hasyim mampu membuktikan dirinya sebagai seorang tokoh yang mampu menjebatani ketegangan diantara tokoh bangsa yang berdebat mengenai dasar negara Indonesia. Bahkan KH Wahid Hasyim mampu memberikan solusi yang terbaik bagi bangsa ini terkait isi kandungan sila pertama dari Pancasila.
Selain berjuang secara gagasan, kaum santri juga turut berjuang secara fisik. Atas insturksi pendiri NU, Â KH Hasyim Asy'ari memberi seruan jihad akibat kembalinya penjajah Jepang yang datang untuk menginvasi Indonesia. Ketika itu, KH Hasyim Asy'ari mengirim surat kepada para kiai dan santri untuk melakukan rapat guna membahas ide tersebut. Atas undangan tersebut, para kiai se-Jawa dan Madura berkumpul di kantor ANO, Jl. Bubutan VI/2 Surabaya pada 21 Oktober 1945 untuk membahahas Resolusi Jihad.Â
Seruan tersebut di anggap sukses besar karena mampu menggerakkan ribuan mujahid yang datang dari penjuru daerah memenuhi Kota Surabaya untuk mengusir penjajah yang berkeinginan menduduki Indonesia kembali. Resolusi jihad yang difatwakan KH Hasyim Asya'ari ini menjadi perang paling fenomenal yang pernah ada dalam sejarah Santri Nusantara. Hingga kemudian hari tersebut terkenal dengan istilah "Hari Santri Nasional" dan selalu diperingati tiap tanggal 22 Oktober.
Kemudian sejarah santri berlajut di era reformasi. Pada kala itu, KH Abdur Rahman Wahid, yang kerap disapa Gus Dur menjadi Presiden RI menggantikan Presiden BJ Habibi. Gus Dur adalah representasi kaum santri yang berhasil menduduki kursi nomor satu di Indonesia. Dalam menjalankan misi Reformasi, banyak sekali kebijakan-kebijakan yang (menurut saya) cukup berani di ambil Gus Dur.Â
Ketika Gus Dur baru sebulan menjabat sebagai presiden, seketika Gus Dur merombak tatanan birokrasi pemerintahan dengan cara membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan. Gus Dur juga menyambangi mantan Presiden Soeharto. Padahal, waktu itu Soeharto dan Keluarga Cendana sedang menjadi sorotan publik.Â
Saat itu, Gus Dur mengusulkan bahwa Soeharto harus diadili, kemudian hartanya disita, lalu Soeharto dimaafkan. Hingga akhirnya, untuk pertama kalinya, pada 30 Agustus 2000 dilaksanakan pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto.
Kemudian, kebijakan Gus Dur yang menuai kontroversi dari banyak kalangan ialah soal usulan pencabutan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang pelarangan PKI dan pelarangan penyebaran ajaran komunisme dan Marxisme/Leninisme di Indonesia.
Gus Dur juga tidak segan-segan memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla serta Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang disampaikan Gus Dur ialah, keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun pada akhirnya Gus Dur belum bisa memberikan bukti yang cukup kuat. Gus Dur juga berani mengubah keangkeran Istana Negara dengan cara menerima tamu dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum, pejabat, hingga kiai NU yang hanya memakai sarung dan sandal.
Kebijakan Gus Dur yang paling kontroversial dari semua kebijakan ialah menjelang akhir masa jabatan. Gus Dur mengancam akan mengeluarkan dekrit Presiden untuk pembubaran parlemen. Dekrit itu berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli. Sebaliknya, MPR malah secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden.
Dari catatan sejarah di atas, membuktikan bahwa santri adalah golongan yang mudah adaptasi, berani, bisa memimpin, dan bahkan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Artinya, dalam menghadapi tantangan era transformasi digital ini, sudah menjadi keharusan bahwa santri mampu beradaptasi cepat dan bisa menjadi golongan penggerak dalam situasi apapun.
Saat ini sudah mulai bermunculan pesantren-pesantren yang benar-benar menyeriusi kecanggihan teknologi digital, seperti pondok pesantren Sintesa yang bertempat di Magetan Jawa timur. Di pesantren tersebut para santri di ajarkan ilmu memahami dan menghafal Al qur'an dan juga berbisnis dengan digital, seperti membangun website, SEO Marketing, sosial media marketing, dan progam lainnya.
Ada lagi pondok programmer di yogyakarta. Di sana selain para santri di ajarkan ilmu agama, satnri juga di ajarkan cara codding dan programmer. Di pondok pesatren Al Fattah sukoharjo juga menyediakan Website sebagai media para santri menulis artikel bertajuk hasanah, opini, sastra dll. Selain itu, juga masih banyak sekali pondok pesantren yang saat ini sudah menggunakan tehnologi digital sebagai metode berdakwah, baik itu youtube, website, atau media sosial lainnya.
Sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia, sudah menjadi sebuah keharusan bagi pesantren untuk mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, terutama di bidang informasi dan teknologi. Kalau lembaga pendidikan lain bisa, pesantren bukan sekedar harus bisa, tapi harus lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H