Mohon tunggu...
Ali Imroen
Ali Imroen Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kawasan Ekonomi Khusus untuk Jaga Stabilitas Harga Sembako di Sempadan Negara

24 Maret 2018   06:57 Diperbarui: 24 Maret 2018   08:32 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengendalian harga bahan pokok yang stabil sebenarnya telah diantisipasi oleh Pemerintah. Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting yang ditandatangani tanggal 15 Juni 2015 dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan barang dan stabilisasi harga barang yang beredar di pasar. Namun yang terjadi di pasaran tidak seperti yang harapkan. Dimana sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, jika pasokan lebih kecil dari penawaran maka harga barang akan naik drastis.

Berbicara tentang pasokan kebutuhan pokok yang muaranya untuk menjamin ketersediaan barang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Negara Indonesia yang begitu luas dengan deretan pulau-pulau tidak jarang membuat pemerintah kewalahan dalam menjaga stabilitas harga dan ketersediaan barang.

Hal inilah yang menyebabkan stabilitas harga tidak terjaga dan barang menjadi mahal, masyarakat di sempadan negera pun menjerit dengan kondisi ini. Hal ini dipengaruhi ongkos distribusi yang tinggi karena harus menggunakan kapal-kapal laut. Semakin jauh pulau tersebut dari daratan atau pelabuhan impor resmi pemerintah maka semakin tinggi pula harga yang harus dibayar masyarakat.

Masyarakat Indonesia yang berada di sempadan negeri sudah selayaknya mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Regulasi yang mengatur urusan perdagangan lintas batas harus disesuaikan dengan kultur dan kemampuan masyarakat di beranda depan NKRI. Salah satunya dengan menerapkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Sebagai contoh, daerah yang berada di perbatasan negara Malaysia yakni Propinsi Riau, tepatnya Kabupaten Kepulauan Meranti.

Sejak zaman nenek moyang mereka, warga setempat sudah menjalin hubungan dagang dengan Malaysia. Berbagai komoditi dibawa dari Meranti untuk dijual ke Malaysia. Begitu juga sebaliknya sejumlah barang dari negara harimau malaya itu dibawa masuk dan dijual di Meranti.

Termasuk barang pokok, mulai dari beras, gula, bawang dan daging. Harganya jangan ditanya, jauh lebih murah dibandingkan dengan harga barang yang dipasok dari Pulau Jawa.

Jarak Kepulauan Meranti dengan negara Jiran, Malaysia sangatlah dekat, jika menggunakan kapal laut jarak tempuh Meranti dan Malaysia hanya sekitar satu jam saja. Sementara untuk ke Pekanbaru, ibukota provinsi yang berada di Pulau Sumatera, minimal butuh waktu empat jam itupun dengan kapal cepat. Jadi, jangan ditanya berapa jauh jika kebutuhan pokok itu harus didatangkan dari Pulau Jawa.

Sebagai contoh, gula yang diselundupkan dari Malaysia harganya hanya berkisar Rp 11.000 hingga Rp 12.000 per kilogram. Sedangkan gula yang dipasok dari Pulau Jawa bisa membengkak menjadi Rp 15.000 per kilogramnya. Begitu juga dengan daging sapi asal Malaysia dijual Rp 85.000 sampai Rp 90.000 per kilogram, sedangkan daging yang didatangkan dari provinsi terdekat dijual dengan harga Rp 130.000 atau bisa mencapai Rp 140.000 per kilogram menjelang lebaran. Selisih harga yang sangat besar tersebut mendongkrak angka inflasi cukup tinggi di wilayah ini, hingga menjadikan Meranti kabupaten termiskin di Riau.

Kepualauan Meranti hanya satu contoh dari ribuan pulau lain yang ada di Indonesia. Jika pemerintah mau sedikit meninjau ulang dan 'melonggarkan' izin perdagangan lintas batas ini, atau paling tidak menerapkan KEK, maka masyarakat tidak lagi harus dihadang dan kucing kucingan dengn Bea Cukai, TNI AL maupun Polisi Perairan dengan tuduhan penyelundupan. Semua itu akan berbalik seperti Tentara Diraja Malaysia yang katanya selalu menjaga kapal-kapal barang dari Indonesia agar mudah masuk ke negaranya.

Dengan tumbuh dan berkembangnya suatu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di suatu daerah akan selalu diikuti oleh pertumbuhan perekonomian di daerah sekitarnya, dan sektor perekonomian lainnya akan ikut bergerak dan bergairah. Harus diakui bahwa ada potential lost dari ditetapkannya KEK di suatu wilayah, berupa hilangnya penerimaan pajak baik Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Bea Masuk (BM) atas barang konsumsi dan barang mewah. Namun demikian, potensi perolehan (potential gain) dari ditetapkannya KEK pada satu wilayah yaitu peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan Pajak (terutama PPh, Pajak Langsung, Pajak tak Langsung), peningkatan lapangan kerja.

Setiap adanya penetapan suatu kebijakan, permasalahan baru pasti muncul sebagai konsekuensi logis dari kebijakan tersebut. Ada potensi kerusakan alam, eksploitasi sumber daya, monopoli investor asing serta tergilasnya Usaha Kecil Menengah (UKM) warga, juga potensi kerugian akibat bencana.

Tentunya kebijakan yang diambil selalu mempertimbangkan berbagai aspek yang diakibatkan oleh kebijakan itu. Namun yang terpenting, perlu adanya kebijakan tertentu untuk meredusir berbagai akibat yang muncul sehingga tercipta keseimbangan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Corporate Social Responsiblty (CSR) adalah solusi yang patut diterapkan dalam setiap kebijakan yang diambil sehubungan dengan KEK. Tanggung jawab sosial merupakan bagian dari setiap aktifitas untuk menjaga keseimbangan dalam berusaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun