Mohon tunggu...
Imro Atu Solihah
Imro Atu Solihah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Brawijaya

Saya menyukai topik mengenai gender, art, and food.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Hustle Culture dan Peran Patriarki dalam Menciptakan "Superwoman"

22 Desember 2024   07:49 Diperbarui: 22 Desember 2024   07:48 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Women of worth buat aku adalah wanita yang sukses yang jalanin perannya sebagai ibu, istri, sekaligus menjadikan dirinya berarti buat orang lain." tulis Dian Sastrowardoyo dilansir dari kapanlagi.com

Lantas perempuan apakah tidak akan lelah dengan semua peran itu?

Di masa sekarang, peran perempuan telah berkembang pesat seiring dengan perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi. Kita sering melihat perempuan yang tidak hanya menjalankan peran sebagai istri dan ibu, tetapi juga turut bekerja untuk mendukung perekonomian keluarga. Tuntutan zaman membuat perempuan harus serba bisa, mampu menjalani berbagai tanggung jawab di dalam maupun di luar rumah. Tantangan ini tentu tidak mudah, tetapi semakin banyak perempuan yang berusaha memenuhi ekspektasi tersebut demi kesejahteraan keluarga.

Perempuan yang berhasil menjalankan semua peran tersebut dengan baik sering kali dijuluki sebagai 'Superwoman.' Sebutan ini muncul karena mereka dianggap mampu melakukan semuanya dengan sempurna---dari merawat keluarga, mengurus rumah tangga, hingga bekerja mencari nafkah. Meski terkesan hebat dan mengagumkan, realitasnya banyak perempuan yang menghadapi tekanan luar biasa untuk memenuhi ekspektasi ini, yang pada akhirnya dapat mengorbankan kesejahteraan pribadi mereka. Di balik sosok 'Superwoman' yang tangguh, ada perjuangan dan pengorbanan yang jarang terlihat.

Perempuan "Superwoman" yang bekerja keras akan tanpa sadar menerapkan hustle culture dalam kehidupannya. Hustle culture berarti workaholic yang memiliki arti hidup serba cepat, sementara culture artinya adalah budaya (Metris, 2024). Jadi hustle culture adalah budaya gila kerja yang dilakukan seorang individu yang pada akhirnya akan menyebabkan kelelahan mental dan fisik. Ekspektasi yang dibebankan kepada perempuan menuntut mereka untuk tidak hanya sukses secara profesional tetapi juga tetap memikul tanggung jawab rumah tangga.

Peran patriarki memperburuk eksploitasi pada perempuan. Dalam budaya patriarki pekerjaan rumah tangga adalah kegiatan yang secara tradisional dianggap sebagai kegiatan perempuan, kodrat, dan keharusan bagi perempuan (Harahap, 2022). Putu (2012) dalam Harahap (2022) menyebutkan bahwa, "Alasan mengapa perempuan bekerja, antara lain yaitu menambah penghasilan, menghindari rasa bosan atau jenuh dalam mengisi waktu luang, mempunyai minat atau keahlian tertentu yang ingin dimanfaatkan, memperoleh status, dan mengembangkan diri". Keharusan perempuan sebagai ibu rumah tangga, dilatarbelakangi oleh pandangan tradisionalis patriarki. Oleh karena itu, meskipun perempuan terjun di dalam dunia kerja maka urusan rumah tangga tetap menjadi kewajiban perempuan (Harahap, 2022).

Dampak dari beban ganda perempuan ini meliputi mental dan fisik akibat tekanan untuk menjadi "superwoman". Hustle culture dan patriarki memperkuat stres, burnout, dan gangguan kesehatan mental pada perempuan. Hustle culture sendiri dapat menyebabkan individu sering mengeluh, work life balance tidak seimbang, hingga mengganggu kesehatan fisik dan mental (Pengabdian et al., 2020). Menurut Sitorus, (2024) dalam Saputra 2024) hustle culture mengabaikan keseimbangan hidup dan kesejahteraan pribadi. Sehingga dapat dinyatakan bahwa hustle culture yang dilakukan perempuan akibat dari patriarki sangat berdampak pada kehidupannya.

Hal yang dialami perempuan ini dapat dianalisis berdasarkan sudut pandang sosiologis teori Feminisme marxis mengenai perempuan mengalami beban ganda bak "superwoman". Menurut Siniaga (2013), feminisme marxis atau sosial menjelaskan hubungan antara ketidaksamaan kelas antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels adalah dasar feminisme Marxis, yang melihat bagaimana kapitalisme dan patriarki menyebabkan ketidaksetaraan gender bagi perempuan. Teori ini menganggap perempuan sebagai kelas yang terpinggirkan sebagai akibat dari hubungan produksi yang ada dalam sistem kapitalis. Menurut teori ini juga laki-laki memiliki dominasi yang kuat dalam sistem keluarga, di mana mereka memiliki wewenang untuk mengatur istri dan anak mereka. sehingga wanita dieksploitasi secara fisik dan mental dalam hal ini. Namun perjuangan wanita agar keluar dari penindasan satu-satunya adalah dengan memiliki ekonomi yang kuat sehingga mengharuskan kaum wanita bekerja yang dapat membuat budaya hustle culture pada dirinya.

Wanita dengan beban gandanya bekerja di sektor domestik dan publik bak superwoman, beban ganda ini mengacu pada situasi di mana perempuan menghadapi tanggung jawab ganda sebagai pekerja produktif di sektor publik dan sebagai manajer rumah tangga di ranah domestik. Efek dari hustle culture bekerja pada dua sektor yang dilakukan perempuan dapat menyebabkan kelelahan fisik dan mental pada dirinya. Berdasarkan Jurnal Strategic Appropriation on Hustle Culture as Positive Trend 2023 di dalamnya menjelaskan terkait (CCR, 2022) studi lanjutan kasus yang dikemukakan dalam jurnal current cardiology reports berdasarkan hasil dari 745rb pekerja yang awalnya mereka tanpa riwayat penyakit bawaan menemukan bahwa mereka yang bekerja lebih dari 55 jam dalam seminggu memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit kardiovaskular contohnya seperti penyakit jantung koroner,bahkan bekerja lembur diketahui mempengaruhi resistensi insulin, aritmia, hiperkoagulasi, diabetes, dan stroke pada pekerja yang berlebihan. Wanita sangat rentan terhadap eksploitasi yang terjadi di kehidupannya baik secara fisik dan mental.

Langkah-langkah yang bisa diambil oleh perempuan dan masyarakat untuk melawan ekspektasi tidak realistis sebagai "superwoman" ini yaitu:

  • Mengadvokasi pembagian yang setara berupa pembagian peran domestik dan tanggung jawab kelaurga yang lebih adil.
  • Bersama-sama mengubah narasi budaya terkait patriarki dan perempuan diwajibkan selalu bekerja di domestik.
  • Membangun dukungan komunitas perempuan untuk menyuarakan ketidaksetaraan gender ini.
  • Mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang progresif terkait upah setar, cuti kerja dan perlindungan diskriminasi gender.
  • Pemfokusan pada kesehatan mental dan fisik pada perempuan seperti slow living dan work-life balance.

Kehidupan yang dapat dinikmati adalah kehidupan yang seimbang, sehingga langkah pencegahan dan mengatasi hustle culture ini pada perempuan ini akibat dari patriarki, dapat dilakukan beberapa cara, seperti menerapkan konsep work life balance (keseimbangan antara kehidupan pribadi, pekerjaan, dan kehidupan sosial) dan menyayangi diri sendiri (Media Indonesia, 2021). Sangat penting kita menciptakan ruang bagi perempuan untuk mencapai kemandirian tanpa perlu terjebak dalam peran "superwoman" yang dipaksakan oleh patriarki dan hustle culture.

Sebelum menutup ada sebuah quote dari Emma Watson di bawah ini:

"Kita perlu hidup dalam budaya yang menghargai dan menghormati serta mengagumi dan mengidolakan wanita seperti halnya pria." - Emma Watson dilansir dari kontan.co.id

Daftar Pustaka

Budiarjo, M. A., & Ulinnuha, R. (2023). 1 , 2 1.2. 9, 102--110.

Harahap, N. H. P. (2022). Perempuan dan Budaya Patriarki. Prosiding Seminar Nasional PSSH ..., 1, 1--8. http://jurnal.semnaspssh.com/index.php/pssh/article/view/32

Media Indonesia. (2021, Oktober 10). Bahaya hustle culture pada pekerja di Indonesia. Media Indonesia. Diakses pada 24 Februari, 2022, melalui https://epaper.mediaindonesia.com/detail/bahaya-hustle-culture-pada-pekerja-di-indonesia

Metris, D. (2024). Hustle Culture: Mencermati Tren Perilaku Yang Mendorong Kesuksesan Tanpa Henti. Al-KALAM: JURNAL KOMUNIKASI, BISNIS DAN MANAJEMEN, 11(1), 111. https://doi.org/10.31602/al-kalam.v11i1.12053

Pengabdian, J., Global, M., & Non-pelatihan, P. (2020). DEVOTE: 1(2), 71--76.

Siniaga, D. (2013). Diskriminasi Pada Tokoh Utama Dalam Novel Boulevard De Clighy Agonia Cinta Monyet Karya Remy Sylado Suatu Analisis Feminis Marxis Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Di SMA. 10-20, FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

Saputra, J. A. (2024). TEOLOGI ISTIRAHAT DAN HUSTLE CULTURE: Teologi Istirahat dalam Keluaran 23: 12 dan Implikasinya terhadap Fenomena Hustle culture. 03(02), 50--72.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun