Mohon tunggu...
Imran Rusli
Imran Rusli Mohon Tunggu... profesional -

Penulis dan jurnalis sejak 1986

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lawan Politik Jokowi Kok Cemen Semua?

12 Februari 2019   06:00 Diperbarui: 14 Februari 2019   12:05 1737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari H Pilpres dan Pemilu 2019 semakin dekat."Pertempuran" di medsos juga semakin masif. twitter, facebook, instagram, whatsapp dan lain-lain penuh dengan peluru tajam, baik berupa sindiran.sindiran ringan maupun maki-makian kasar. Tak kurang hoax dan gorengan bersemburan, seperti pompa banjir di DKI.

Kubu 02, Prabowo-Sandi tetap menjalankan jurus kampanye firehouse of falsehood. Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Abdul Kadir Karding  menyatakan: "Metode firehouse of falsehood artinya teori membakar rumah yang membuat semua ketakutan. Stres, lama-lama nanti di ujung dia bisa mempengaruhi dengan kondisi terkini, karena masyarakat sudah dalam tekanan akhirnya memilih dia," ujar Karding kepada JawaPos.com, Kamis (15/11).

Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengatakan, strategi tersebut pernah dilakukan di Amerika Serikat (AS). caranya dengan selalu meminta maaf. Padahal, di balik maksud maaf tersebut ada tujuan tertentu. yakni untuk mendapatkan dukungan dan simpati dari masyarakat.

Menurut Karding tradisi minta maaf itu baik, dan merupakan ciri kultural bangsa Indonesia, tapi bila terlalu sering meminta maaf tentu dampaknya akan  negatif ke masyarakat. Artinya bila melakukan kesalahan lagi bisa selesai hanya dengan permintaan maaf.

"Banyak orang berbuat tanpa dipikir, berbuat seenaknya, asal ngomong tanpa memikirkan dampaknya dan setelah itu minta maaf, dan urusan dianggap selesai,"ungkapnya. Lengkapnya lihat: jawapos.com

Prabowo-Sandi telah melakukan ini sejak sejak awal masa kampanye yang dimulai tanggal 23 September 2018. Sampai tanggal 14 November 2018 saja, Prabowo-Sandi sudah 3 kali minta maaf kepada publik, Pertama untuk kasus hoax Ratna Sarumpaet, kedua untuk kasus tampang Boyolali dan ketiga untuk aksi Sandi melangkahi makam tokoh NU KH Bisri Syansuri. Baca di cnnindonesia.com.

Seterusnya tuduhan dan kebohongan berlanjut,  ada yang dengan mengatakan Malaysia jauh lebih besar dari Jawa Tengah, Indonesia miskin seperti negara Haiti di Arika, padahal Haiti di Amerika Serikat, 99 persen rakyat Indonesia miskin, Indonesia bubar tahun 2030 yang didasarkannya pada sebuah novel, Indonesia akan punah jika Prabowo-Sandi tak menang Pilpres, Indonesia negara paling korup di dunia, menteri pencetak utang, APBN bocor 500 T dan seterusnya.

Strategi firehouse of falsehood atau juga sering disebut firehose of falsehood ini benar-benar dahsyat dan telah dipakai dalam pemilu di berbagai negara seperti AS, Brazil, Mexico, Malaysia dan lain-lain, namun di Asia umumnya gagal. Tampaknya Prabowo-Sandi dengan konsultan politik Amerikanya Rob Allyn, serius dengan model kampanye seperti ini. Bagi Prabowo-Sandi yang penting menang Pilpres, akibatnya tehadap bangsa dan negara mereka tak peduli dan yakin bisa diperbaiki dengan konsolidasi, seolah-olah gelas yang sudah pecah bisa dibentuk lagi seperti semula. Mereka lupa dengan DKI yang tak pernah pulih sampai kini.

Sedangkan untuk Rob Allyn tak ada beban apapun. Asal dibayar mahal diapun akan total melakukan keahliannya. Dengan santai dia membantah terlibat sebagai konsultan kampanye politik Prabowo-Sandi dan balik menuduh pihak yang menuduhnya sebagai penganut teori konspirasi. Tapi kan membantah itu gampang dan bukan berarti bantahannya benar. Baca di kompas.com

Lawan politik Jokowi yang lain, atau yang mengaku-ngaku lawan politik karena sebenarnya kapasitasnya tak sebanding, seperti Akhmad Dhani, Buni Yani, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Mardani Ali Sera, Hidayat Nur Wahid, Andi Arief, Rizieq Shihab, Slamet Maa'rif, Ketua PA 212, Sukmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, Kivlan Zen dan lain-lain tak kurang cemen. Setiap mereka terlibat kasus hukum pasti langsung teriak kriminalisasi. Seolah-olah mereka berada di atas hukum. Ini balas dendam, ini kriminalisasi teriak mereka seperti orang gila kalap. Padahal nyata-nyata ada laporan pelanggaran hukum dan polisi menemukannya dalam penyelidikan mereka.

Kriminalisisasi seperti berulang kali dinyatakan Kapolri adalah bila seseorang ditahan dan dimasukkan ke penjara tanpa alasan dan kesalahan. Ini kan tidak. 

Mereka terindikasi melanggar hukum, dan ditersangkakan  Maka itu tak bisa dibilang kriminalisasi, melainkan murni kriminal. Pengasara mereka yang banyak, tapi kayanya kekurangan klien itu, sudah mencoba sekuat tenaga membela, tapi ternyata tidak bisa, karena bukti-buktinya kuat. Ya udah jalani saja. Jangan malah teriak-teriak kriminalisasi dan membawa gerombolan ke kantor polisi, seolah-olah polisi akan takut dengan mereka. Tak ada gunanya meneror polisi karena bila diperlukan polisi diberi kewenangan melakukan tindakan represif kalau aksi massa sudah berlebihan. Berani? Saya tak yakin, karena terbukti ketika Rizieq ditangkap polisi di era SBY, pengikutnya yang selalu berlagak sangar itu hanya diam seribu bahasa. Mereka berlagak berani karena tahu orang akan memilih diam saja. Kualitas mereka belum seperti Taliban atau ISIS yang nekat, meski mereka memuja iblis bertopeng Islam tersebut.

Lain lagi Rizieq, satu kasusnya sudah SP3, yakni chat mesum dengan Firza Husein. Namun bukan berarti kasus itu ditutup, karena jika ada bukti baru kasus itu akan hidup lagi dan dia akan tetap diproses. Lagipula kasus lainnya yang mesti dipertanggungjawabkannya masih banyak. Namun apa yang dia lakukan? Kabur dan berteriak-teriak dari jauh, menentang Jokowi. Dia tak punya keberanian pulang, karena katanya takut dibunuh. Oalah, kalau Jokowi seperti Soeharto, dia takkan bisa kabur ke Arab, melainkan sudah mati di salah satu penjara militer. Enak saja menuduh Jokowi sekeji itu! Aslinya Rizieq memang penakut. Mau bilang apa lagi?

Sukmawati, Sri Bintang, dan Kivlan Zen kini diam seribu bahasa, setelah rencana makar mereka dengan menduduki gedung DPR/MPR dibongkar polisi.

Mereka masih gede omong di berbagai forum di komunitas mereka, tapi ke publik sudah tidak lagi. Tak ada lagi pidato berapi-api Sri Bintang tentang mudahnya menjatuhkan Jokowi. Tak ada lagi fitnah terlontar dari mulut Sukmawati, putri Bung Karno yang tampaknya frustrasi karena tak bisa menjadi Ketua Umum PDIP, menggantikan kakaknya. Dan Jokowi tidak mengancam mereka. Proses hukum saja yang membuat mereka kehilangan energi, ditambah cibiran dari masyarakat.

Namun mereka menuduh Jokowi berada di belakang polisi, hanya karena Jokowi adalah panglima tertinggi TNI dan POLRI. Belum pernah terbukti, Jokowi memanfaatkan TNI dan POLRI untuk kepentingan kekuasaannya, meski menuduh itu gampang. Faktanya okowi bukanlah Soeharto, mantan mertua Prabowo.

Tuduhan-tuduhan PKI dan antiIslam masih terus disemburkan, tapi kedekatan yang diperlihatkan Jokowi dengan para ulama, membungkam semua isu tersebut. Apalagi dengan banyaknya deklarasi dukungan untuk Jokowi dari kalangan ulama dan da'i muda. Semua membuat FPI, HTIdan PA 212 yang bekerja untuk Prabowo-Sandi keteteran.

Lembaga Survei Menangkan Jokowi

Kini kondisinya semakin  mengesalkan kubu Prabowo-Sandi. Hasil survei berbagai lembaga survei terbaru menunjukkan elektabilitas Jokowi masih tinggi. Selisihnya ada yang mencapai 30 persen. Prabowo-Sandi hanya beda sedikit dengan Jokowi --Ma'ruf di lembaga survei internal Gerindta yang hasilnya tentu sama saja dengan onani.

Berrikut hasil survei tersebut: LSI Denny JA, elektabilitas Jokowi Ma'ruf 54.8 persen, Prabowo-Sandi cuma 31,0 persen. Survei dilakukan 18 -- 25 Januari 2019. Berikutnya Populi Center yang melakukan survei 20 -- 27 Januari 2019. Hasilnya elektabilitas Jokowi-Ma'ruf 54,1 persen, Prabowo Sandi 31,0 persen. Selanjutnya Charta Politika yang melakukan survei 22 Desember 2019 -- 2 Januari 2019, hasilnya 53,2 persen untuk Jokowi-Ma'ruf dan 34,1 persen untuk Prabowo-Sandi. Indikator Politik menemukan 54,9 untuk Jokowi-Ma'ruf dan 34,8 untuk Prabowo-Sandi, Survei dilakukan 16 -- 36 Desember 2018. Lalu Y- Publica, yang melakukan survei 26 Desember 2018 -- 8 Januari 2019, menemukan 53, 5 untuk Jokowi-Ma'ruf dan 31,9 untuk Prabowo-Sandi. Survei Median mendapatkan angka 47,9 untuk Jokowi-Ma'ruf dan 38,7 untuk Prabowo-Sandi. Terakhir SMRC (Syaiful Munjani Research $ Consulting) yang mendapatkan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf 60,4 persen dan Prabowo-Sandi 29,8 persen pada survei yang dilakukan 7 -- 14 September 2018 tersebut. Selengkapnya bisa dibaca di tribunnews.com

Meskipun kubu Prabowo tidak mau percaya lembaga-lembaga survei ini, seperti juga mereka tak mempercayai media-media mainstream, dengan mengatakan semua lembaga suvei dan media nasional sudah dikuasai Jokowi---sebuah tuduhan yang amat absurd dan kekanakan--tapi hasil-hasil lembaga tersebut cukup membuat mereka jengkel dan blingsatan, meskipun ngakunya tidak. Jadi mereka terus menyemburkan kebohongan demi kebohongan untuk membuat rakyat linglung dan tak peduli lagi mana yang benar. Rakyat diharapkan akan memilih nama yang sering terdengar saja. Untuk itulah mereka bikin semua kehebohan tersebut, agar nama mereka tetap ada di orbit, meskipun nama buruk.

Dari sini terlihat betapa cemennya lawan-lawan politik Jokowi ini. Di saat Jokowi aktif membalas serangan, mereka merasa dizalimi, padahal biasa saja dalam politik balas menyerang itu. Apalagi Jokowi sudah diam selama 4 tahun , membiarkan mereka menghina, memfitnah, mencaci maki, membuat dan menyebarkan berita bohong sesukanya. Kini ketika Jokowi gaspoll membalas, mereka mewek dan misuh-misuh.

Jadi maunya jangan dibalas? Biarkan mereka saja yang mencaci karena Jokowi di pihak yang kuat? Begitu alasannya. Mana ada aturan main begitu! Kalau bertanding ya saling menyerang dan menciptakan gollah, kalau nggak ngapain bertanding? Mending tidur atau menjaga kuda aja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun