Mohon tunggu...
Imran Rusli
Imran Rusli Mohon Tunggu... profesional -

Penulis dan jurnalis sejak 1986

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Terkenang Batang Arau

8 April 2017   13:19 Diperbarui: 8 April 2017   21:00 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Batang Arau,ungai yang mengalir di sisi selatan Kota Padang adalah sungai legendaris. Jauh sebelum Emmahaven (Pelabuhan Teluk Bayur) dibuka, Batang Arau telah menjadi pelabuhan penting bagi kapal-kapal dagang yang melayari pantai barat Sumatera atau jalur perdagangan Singapore, Aceh, Barus, Tiku, Pariaman, Padang, Bengkulu, Teluk Betung dan Batavia. Dari Singapore terhubung langsung ke berbagai negara di berbagai belahan dunia. Dari Batavia kapal-kapal dagang itu melayari hampir seluruh pelabuhan penting di Nusantara, sampai ke Ternate. Kapal-kapal dagang itu milik berbagai maskapai dunia seperti VOC (Belanda), EIC (Inggeris), Portugis, Spanyol, Perancis, Arab, China dan India.

Bukan hanya kapal dagang yang merapat di Pelabuhan Muara yang merupakan muara Batang Arau ini, tetapi juga kapal-kapal militer VOC. Ketika berperang melawan orang Pauh dan Tuanku Imam Bonjol, Pelabuhan Muara sangat sibuk. Berbagai persenjataan, dari pistol sampai meriam dan berkotak-kotak peluru serta mesiu dibongkar dan disimpan di gudang-gudang yang banyak berjejer di Pelabuhan Muara. Gudang militer dan gudang perdagangan bersebelahan dengan rapinya. Muara dan Batang Arau juga menjadi saksi kebangkrutan VOC gara-gara tak henti-hentinya berperang dengan inlander, manusia kecil bernyali besar, orang Indonesia.

Saat itu kereta api juga sudah menjadi transportasi penting untuk mengangkut batu bara dari tambang batu bara Ombilin di Sawahlunto. Bekas-bekas rel dan stasiunnya masih bisa kita temukan di Pulau Air dan Bukit Putus Teluk Bayur.

Saya tak mengalami masa kejayaan Batang Arau dan Pelabuhan Muara itu, tapi ada sepenggal masa kecil saya yang terhubung ke suatu masa ketika Batang Arau dan Pelabuhan Muara menjadi pusat hiburan masyarakat Kota Padang. Bukan masa ketika Pasa Gadang, Pasa Mudiak, Pasa Borong dan Tanah Kongsi menjadi pasar terbesar di Kota Padang, tapi sesudahnya, ketika selaju sampan masih diselenggarakan di Batang Arau.

Tahun 1968 – 1970-an Kota Padang ramai dengan berbagai atraksi budaya yang sekaligus menjadi suguhan wisata, seperti barongsay, sipasan atau ular naga, pawai lampion atau telong-telong dan selaju sampan. Selaju sampan atau yang sekarang dikembangkan menjadi dragon boat (lomba perahu naga) di Batang Kuranji, memiliki daya tarik yang berbeda dengan dragon boat. Mungkin karena pesertanya benar-benar berasal dari masyarakat yang srata sosialnya hampir sederajat. Mereka kebanyakan berasal dari keluarga nelayan yang hidup di Kota Padang. Ada yang dari Palinggam, Pasa Gadang, Pasa Mudiak, Pasa Borong, Tanah Kongsi, Purus, Ulak Karang, Lubuk Buaya, Muara Penjalinan, Seberang Padang, Gaung, Air Manis, Muara dan sebagainya.

Karena tidak kaya, sampan yang digunakan benar-benar sampan yang digunakan untuk mencari kehhidupan di laut dan supporter mereka umumnya adalah warga kampung masing-masing, sehingga kohesivitas emosionalnya sangat kuat. Mereka juga didampingi tokoh masyarakat masing-masing, ada yang ulama, ada penghulu dan cerdik pandainya (cenbdekiawan, intelektual).

Para pendukung ini datang ke Batang Arau lengkap dengan perbekalan yang dimasak ramai-ramai oleh kaum ibunya. Sebelum selaju sampan dimulai mereka akan berdoa dan makan bersama di tempat-tempat yang telah disediakan panitia untuk mereka. Suasananya sungguh kental dengan semangat kekeluargaan.

Kehebohan makin menjadi setelah para kandidat bersiap di garis start dengan perahu masing-masing. Lengkap dengan ikat kepala atau jumbai-jumbai warna-warni yang gagah di lengan mereka. Saat itu kedua sisi Batang Arau akan dipadati jubelan manusia. Bukan hanya di pinggir jalan, tetapi juga di lantai dua pergudangan, bahkan atap bangunan. Dan ketika sampan jagoan mereka melaju dengan didayung sekitar 15 orang, yel yel pemberi semangat pun berlumandang dari tepi sungai. 

Teriakan itu membahana sampai ke finis. ”Antak labu-labu, antak labu-labu (tusuk atau tabrak bulatan warna-warni yang dipasang di garis finis),” terdengar sangat riuh ketika sampan-sampan tersebut melaju melewati garis finis. Yang menang akan berparade sejenak di tengah sungai menerima aplaus dan apresiasi penonton, lalu menepi untuk menerima sambutan meriah dari para pendukung. Sungguh sebuah atraksi wisata yang sangat hidup dan merakyat!

Selain selaju sampan, Batang Arau adalah lokasi penyeberangan dengan perahu warga yang berbadan lebar untuk menuju Bukit Gado-gado dan Pantai Air Manis. View makin cantik dengan banyaknya makam orang-orang Cina. Kalau kebetulan bertemu orang-orang Cina yang sedang bersembahyang untuk sanak kerabat dan para leluhurnya yang telah meninggal, suasananya sunguh khusyuk dan magis. Apalagi kalau ada ritual pemakaman, kita akan tesentuh melihat paparan budaya Cina yang tergambar dari iring-iringan keluarga yang berbaris di belakang peti mati saat mengantar mayat ke pemakaman. Pakaian mereka yang sengaja dibuat dari kain belacu kasar, dilengkapi dengan ikat kepala dan ikatan di lengan sebagai tanda berkabung, sunggguh merupakan sebuah pemandangan budaya yang menyentuh.

Batang Arau waktu itu juga masih dalam dan tak punya sampah. Bangkai kapal yang tenggelam tidak terlihat sama sekali, karena dalamnya. Airnya juga terlihat bening tanpa lumpur. Tidak seperti sekarang, saat Batang Arau diperkosa oleh berton-ton sampah, bangkai kapal yang menungging ke langit, serta lumpur di kedua tepinya, yang kadang-kadang tersembunyi di balik pasang, namun ketika pasang surut tampangnya yang jelek akan membuat Batang Arau terlihat kusut dan jorok. Lumpur yang sama juga akan keluar dan mengotori permukaan sungai ketika baling-baling kapal berputar saat mesinnya dihidupkan.

Takkan Kembali

Tentu tak mungkin mengharapkan Batang Arau kembali seperti dulu. Tapi warga Kota Padang dibantu Pemko jelas bisa membuatnya kembali menarik dan hidup. Bukan dengan karaoke dan cafe tenda remang-remang yang mesum, tapi dengan atraksi dan suguhan yang bisa dikonsumsi semua orang, dari anak-anak sampai orang tua, pria maupun wanita.

Kalau mulai dengan  pembenahan bangunan-bangunan tua yang kini telah menjadi milik pribadi dan mendatangkan profit menjanjikan dengan menjadikannya sarang burung walet terlalu sulit, mungkin bisa dimulai dengan menjadikannya sentra kuliner khas. Pemko mungkin bisa menyokong satu atau dua wirausahawan lokal yang sukses membangun cafe tenda atau rumah makan di kedua sisi Batang Arau, misalnya dengan membantu modal untuk berjualan ikar bakar`segar seperti yang ada di Gelanggang Samudera Ancol atau Muara Angke, Jakarta Utara. Atau terserahlan, Pemko kan sudah sering melakukan studi banding ke daerah-daerah wisata semacam ini, bahkan sampai ke luar negeri.

Kuliner lain yang sudah hidup di situ juga bisa dibantu dengan menyewakan kios-kios cantik yang sesuai dengan standard Pemko. Tentunya dengan harga yang masuk akal dan wajar. Pedagang pisang bakar, jagung bakar, roti bakar, lompong sagu, serabi kuah, putu mayang, pala bada, rakik maco, sala lauak, jus buah, lapek bugih, onde-onde, kue talam, dan lain-lain bisa membuat orang menghabiskan sore dan malam hari di tepi Batang Arau, daripada bengong di rumah, sehingga Batang Arau hidup kembali, bukan cuma sebatas yang ada di atas Jembatan Siti Nurbaya.

Kalau ingin lebih hidup, festival lampion atau telong-telong bisa digelar di Batang Arau di malam hari. Keluarkan lagi perahu lama orang Subarang dan orang Palinggam itu untuk berparade sepanjang sungai. Seni tari, qasidahan, rebana, teater dan puisi juga akan menarik bila diadakan malam hari di panggung terapung di setiap momen HUT Kota Padang. Lomba perahu hias apa lagi, pasti akan menarik minat wisatawan lokal dan Nusantara kalau rutin di adakan. Apa lagi kalau selaju sampan dihidupkan lagi, Batang Arau akan ramai kembali. Pesta rakyat ini akan menjadi pemanasan yang menarik bagi dragon boat di Batang Kuranji.

Pemko tidak perlu ragu, APBD di SKPD Pariwisata tidak akan habis untuk menstimulasi motivasi warga untuk mendapatkan dampak finansial dari kedatangan warga Kota Padang lainnya dan warga kota dan kabupaten tetangga ke tepi Batang Arau, karena warga Batang Arau sudah terbukti pintar cari duit dan selama ini telah melakukan bermacam-macam usaha tanpa bantuan dana dari  Pemko.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun