Sebuah berita di Kompas.com:
JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah organisasi mendeklarasikan berdirinya gerakan Lawan Ahok, Sabtu (22/8/2015). Dalam pernyataannya, para anggota gerakan ini menyatakan berdirinya gerakan Lawan Ahok berawal dari kejengahan atas kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Puncaknya tentu saja saat peristiwa kekerasan terhadap warga Kampung Pulo hari Kamis kemarin," kata juru bicara 'Lawan Ahok', Andi Sinulingga, dalam acara yang digelar di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat itu.
Andi yakin selama ini banyak warga Jakarta yang tidak setuju dengan cara kepemimpinan Ahok, namun takut untuk bersuara. Karena itu, ia mengajak orang-orang tersebut untuk bergabung dengan mereka agar bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Ahok.
"Kalau ada yang menyatakan diri 'Teman Ahok', kami sepakat harus ada yang lawan Ahok supaya yang selama ini diam tidak perlu takut lagi," ujar dia.
Menurut Andi, selama memimpin Jakarta, tidak ada hal positif dari Ahok yang bisa ditiru oleh masyarakat. Dia justru menilai banyak masyarakat telah terjerumus pada logika-logika sesat yang dibangun oleh Ahok yang sebenarnya tidak sesuai dengan adat ketimuran..
"Kata-kata kotor yang diucapkan Ahok jadi dianggap sebuah kewajaran. Hal-hal seperti itulah yang harus kita lawan," ucap Andi.
Andi kemudian mencontohkan saat Ahok melontarkan kata-kata kasar yang ditujukan kepada anggota DPRD dalam sebuah wawancara di televisi. Terakhir, saat dia melontarkan hal serupa kepada sejarahwan JJ Rizal.
"Tapi dia yang mulutnya kotor itu suka menganggap dirinya lebih baik dari pemimpin-pemimpin sebelumnya yang dia nilai korup. Tidak boleh kita membangun opini yang menyatakan seseorang korup. Padahal tidak pernah ada proses hukum ataupun fakta pengadilan yang menyatakan orang itu korup," ujar Andi.
Sejumlah organisasi yang disebut ikut dalam deklarasi gerakan tersebut, yakni Himpunan Mahasiswa Islam, Relawan Pejuang Kesehatan, Perhimpunan Magister Hukum Indonesia, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan Pemuda Gerindra. Gerakan Lawan Ahok sendiri diketuai Tegar Putuhena yang merupakan Wakil Sekjen PB HMI.
Hmmm boleh juga. Kesannya mereka sedang melawan diktator bertangan besi yang suka menembak mati rakyat yang tidak patuh pada penguasa, sayangnya masyarakat sekarang bukanlah orang-orang bodoh macam zaman kuda gigit besi, yang gampang saja dipengaruhi opini-opini menyesatkan dan tampaknya bergaya membela orang kecil seperti ini. Zaman telah berubah Bung, sumber informasi banyak sekali, dan masyarakat makin jeli membaca motif-motif busuk di balik semua aksi yang katanya untuk membela rakyat kecil.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam gerakan-gerakan basi semacam ini. Pertama adanya ambisi politik yang tak kunjung surut dari segelintir oknum partai politik yang sengaja memelihara gerombolan ormas dan preman untuk melakukan pekerjaan kotornya, mereka ingin menghilangkan semua kerja baik Ahok dan mencona menuai simpati publik, terutama warga Kampung Pulo yang terkena program normalisasi sungai untuk mengatasi bencana banjir Jakarta. Oknum-oknum partai politik ini juga duduk di DPRD DKI dan mereka umumnya sakit hati karena proyek-proyek silumannya yang selama ini aman-aman saja kini habis disikat Ahok. Mereka bertekad menggunakan segala cara asal bisa mendiskreditkan Ahok, tak peduli aksi tersebut akan merugikan Jakarta dalam jangka panjang.
Kedua, mereka tak pernah memperlihatkan kerja nyata selama ini untuk membantu warga Kampung Pulo mengatasi aneka ragam persoalan, kecuali melemparkannya lagi ke Pemda DKI. Di mana mereka saat warga Kampung Pulo keleleran dikepung banjir setiap tahun? Adakah mereka membantu satu tangan saja saat warga Kampung Pulo megap-megap ditelan air? Sekarang mereka muncul bak pahlawan kesiangan, mau membela warga Kampung Pulo yang sudah dipindahkan Ahok ke rumah susun sekelas apartment yang lokasinya juga tidak jauh dari pemukiman lama mereka?
Ketiga, di mana mereka ketika Kali Ciliwung makin menyempit diperkosa bangunan dan sampah warga? Adakah mereka datang ke Kampung Pulo dan berbagi kearifan agar warga tak membahayakan dirinya sendiri dan warga Jakarta lainnya serta mau sedikit mengurangi kepentingan diri sendiri demi kesejahteraan bersama? Toh mereka juga tak dibiarkan terlantar seperti yang dulu dilakukan oleh para pendahulu Ahok – Jokowi? Malah dipindah ke apartmen yang kalau disewa secara biasa bisa mencapai Rp 5 juta per bulan di luar air, sampah, dan listrik? Sebagai perbandingan apartemen Cibubur Village saja di pinggiran Jakarta, tarifnya Rp 3,5 juta per bulan untuk kelas biasa, di luar listrik, sampah dan air. Ini di Jatinegara, cuma Rp 10.000 per hari, itupun tiga bulan pertama digratiskan?
Keempat, apa mereka bisa menawarkan solusi yang lebih baik untuk mengatasi persoalan pengangkangan tanah negara secara liar seperti ini? Apa mereka bisa menunjukkan cara yang bisa diterima akal sehat untuk memberi tahu warga yang sudah lama melakukan dan menikmatinya bahwa menyerobot tanah negara itu tak bisa dibenarkan dan warga tak diperbolehkan melakukannya? Apa mereka mau mempertanggungjawabkan penggunaan dana rakyat untuk digunakan sebagai kompensasi agar para pemukim liar tersebut pergi? Terus, kalaupun mereka bisa, berapa lama hal itu akan terealisasi? Bisakah secepat cara Ahok ini?
Kelima, mereka mengumbar isu bahwa Ahok menggunakan cara-cara yang bengis untuk memaksa agar warga Kampung Pulo bersedia menerima relokasi, padahal semua juga melihat di televisi siapa yang dengan beringas melempari aparat dengan batu, membakar ekskavator, memaki-maki dan berteriak-teriak mengancam? Kalau Ahok benar menggunakan cara kekerasan, mengapa cuma satu orang yang dirawat di rumah sakit? Harusnya kan banyak seperti Tragedi Tanjung Priok di era Soeharto dulu?
Keenam, benarkah mereka ini peduli pada warga Kampung Pulo dan bukannya sedang memanfaatkan warga Kampung Pulo demi keuntungan sendiri? Mereka memaksa Ahok membayar ganti rugi, siapa yang bisa menjamin bahwa mereka juga tak mengincar bagian andai Ahok berlaku bodoh dan membayar ‘pemerasan’ itu? Itu incaran yang bersifat materi, bagaimana pula indikasi syahwat politik di belakangnya? Mereka ingin warga Kampung Pulo mau mengingat aksi ‘mendadak peduli’ yang mereka gelar demi dukungan suara di pilkada mendatang. Tak usah bohong, warga Kampung Pulo itu tidak bodoh Bung.
Dan lihatlah JJ Rizal itu. Bukannya ikut menjernihkan situasi dengan menanamkan pemahaman bahwa kawasan sungai perlu steril dari himpitan pemukiman warga, dia malah menyerang Ahok dengan sinyalemen yang masih sangat debatable dengan mengatakan bahwa Ahok telah menghilangkan kesempatan warga Kampung Pulo berdamai dengan sungai. Berdamai apanya? Rizal kira ini Kali Code Yogyakarta? Perkosaan terhadap Kali Ciliwung sudah melewati ambang toleransi, tapi dia tutup mata saja asal bisa menghantam Ahok. Di mana-mana pinggiran sungai itu tak boleh dijadikan pemukiman warga. Harus kosong untuk kelancaran berbagai akses pelayanan warga.
Seharusnya sebagai sejarawan yang peduli Jakarta dia bisa memberi kritik konstruktif yang masuk akal, sekaligus win win solution atas dasar legalitas hukum, karena bagaimanapun hidup di mana pun ada aturannya, bahkan di hutan sekalipun, jika tak ikut aturan bisa lenyap dilumat hukum alam.
Tapi apa yang dilakukan Rizal? Dia asal membela warga, tak peduli bahwa hal itu bisa menambah kisruh suasana, sementara warganya sendiri sudah menerima kompensasi dan solusi atas keteledoran mereka di masa lalu. Kini mereka akan hidup sebagaimana layaknya manusia, bukannya jadi manusia-manusiaan yang hidup berhimpitan—yang jelas tidak baik untuk kesehatan, pendidikan anak dan dihantui ancaman banjir setiap tahun yang bukan tak mungkin suatu saat bisa menerkam anak-anak mereka sendiri--di pinggir sungai dan diperlakukan sebagai komoditas politik oleh mereka yang katanya peduli tapi sebenarnya ‘peduli amat emang gue pikirin’ pada warga Kampung Pulo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H