Ambisi DPR RI untuk mewujudkan 7 megaproyek multiyeras tampaknya makin mendapat resistensi, bukan hanya dari aktivis anti korupsi seperti Formappi dan Fitra, tetapi juga dari pemerintah dan sesama anggota DPR sendiri.
Kecaman paling nyaring kita dengar dari peniliti senior LIPI Mochtar Pabottinggi yang tak pernah surut komitmen dan konsistensinya dalam mneyikapi berbagai hal yang dianggapnya janggal. Mochtar mengatakan 7 megaproyek DPR itu nol urgensi dan konyol argumentasi.
Saya setuju.
Kenapa? Pertama, DPR itu bukan eksekutif, mereka tak bisa ujuk-ujuk mengubah diri menjadi kontraktor proyek lalu menggiring eksekutif untuk menyetujui apa pun yang mereka mau, meskipun hal itu jelas-jelas menabrak aturan perundang-undangan maupun hukum yang berlaku. Wong proyek di atas Rp 100 juta saja harus lewat mekanisme lelang.
Kalau DPR butuh sesuatu mereka harusnya mematuhi aturan dan prosedur yang berlaku yakni melalui musrenbangnas yang intinya adalah memberi tahu kebutuhannya kepada eksekutif melalui proposal yang jelas dan berdasar, termasuk wujud fisik, kajian teknis dan plafon anggaran serta hal-hal lainnya. Tak bisa sambil tiba-tiba saja menggiring presiden untuk menandatangani prasasti, lalu marah-marah di depan publik mengatakan eksekutif kok sulit sekali memenuhi keinginan DPR yang cuma butuh biaya Rp 1,6 triliun, sementara eksekutif tiap hari membangun berbagai infrastruktur dengan mudahnya seperti yang dipertontonkan Fahri Hamzah, Wakil ketua DPR RI dan Ketua Tim Reformasi Parlemen, di televisi.
Kedua, karena DPR menerapkan cara-cara yang tidak bermartabat ala preman dengan menghembuskan isu bahwa pemerintah sudah setuju dengan anggaran yang diajukan DPR, padahal sama sekali belum. Penjelasan Sekretaris Kabinet Pramono Anung bahwa pemerintah baru mengkaji 7 megaproyek tersebut menjadi bukti bahwa pemerintah sama sekali belum membicarakan 7 megaproyek DPR yang anggarannya katanya sudah dibahas di DPR bersama pemerintah. Ngarang, coba-coba, spekulasi adalah cara yang sangat rendah dalam etika bernegara, apalagi kalau dilakukan oleh DPR yang terhormat.
Ketiga, karena sesama anggota DPR sendiri juga belum kompak dan satu suara tentang 7 megaproyek ini. PDIP termasuk partai yang bingung dengan agenda 7 megaproyek karena katanya tak pernah dibahas dalam rapat-rapat DPR. Begitupun Nasdem dan Demokrat. Nasdem bilang tak pernah diajak membicarakan dan tak melihat adanya alokasi anggaran untuk 7 megaproyek ini di RAPBN 2015. Ruhut malah bilang Jokowi selamat dari jebakan Batman yang telah disiapkan oleh segelintir pihak di DPR. Hanya Fadli Zon (Gerindra) dan Fahri Hamzah (PKS) yang lantang menyuarakannya. Ketua DPR RI Setya Novanto (Golkar) juga bersikap malu-malu tapi mau dalam hal ini.
Keempat, meski belum jelas DPR sudah menyelenggarakan sayembara desain gedung parlemen modern tersebut dengan total hadiah Rp 500 juta, padahal belum ada kejelasan apakah megaproyek tersebut akan dibangun atau tidak. Kalau DPR berpikir pokoknya ada desain dulu, untuk jaga-jaga ya silakan saja, yang jadi pertanyaan adalah dana siapa yang dipakai untuk hadiah sayembara tersebut? Apakah takkan ada kongkalingkong berbau rasuah di balik pembiayaan sayembara tersebut kelak?
Kelima, kalaupun DPR memang butuh 7 megaproyek tersebut, apakah mereka layak menerimanya? Setya Novanto boleh saja bilang proyek tersebut untuk rakyat. Fahri Hamzah dan Fadli Zon boleh bilang Indonesia butuh parlemen modern, bukan gedung cagar budaya, meski untuk merealisasikan 7 megaproyek tersebut mereka menggunakan UU Cagar Budaya, tapi masalahnya layak tidak mereka menerimanya? Lihat aja kinerja DPR selama 10 bulan terakhir, baru dua UU yang mereka golkan bersama pemerintah, itupun tak sepenuhnya UU, karena salah satunya cuma mengundang-undangkan Perppu. Bandingkan dengan Parlemen Korsel yang dalam 4 tahun masa kerjanya menghasilkan lebih dari 1.000 UU alias lebih dari 250 UU per tahun! Tanda mereka benar-benar bekerja.
Masih bisa ditambahkan beberapa hal lagi, tapi saya rasa ini sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan alasan ketidaksetujuan saya, karena itu daripada sibuk jadi calo proyek atau mengincar-incar proyek dengan perusahaan masing-masing, sebaiknya DPR fokus aja bekerja meyelamatkan negara. Tangungjawab terhadap Indonesia tidak terletak pada eksekutif saja, tetapi juga legislatif.
Sudahlah DPR, kembalilah ke khittah, nggak usah berburu proyek segala, apalagi megaproyek abal-abal kayak yang 7 ini. Maluuuu…