Setelah KPPU menemukan indikasi 24 perusahaan importir daging sapi secara sistematis dan terorganisir melakukan upaya ‘pemerasan’ agar pemerintah mau membuka lagi keran impor daging sapi secara besar-besaran, yang membuat harga daging sapi melambung tinggi dan pedagang daging mogok berjualan, kini KPPU mulai mencium pula adanya indikasi kartel di tata niaga daging ayam potong yang menyebabkan harga ayam melonjak tak terkendali, sehingga para pedagang di pasar kesulitan menjual gara-gara tingginya harga retail. Ujung-ujungnya pedagang ayam di Bandung mogok berjualan.
Sementara Polri akan melakukan gelar perkara penimbunan sapi potong minggu depan. Semua menunjukkan kuatnya indikasi akan adanya kartel dalam tata niaga dua jenis komoditi yang sangat erat berhubungan dengan kebutuhan perut ini.
Kartel adalah persekutuan jahat dari sekelompok pengusaha yang berusaha mengendalikan harga demi keuntungan pribadi kelompoknya. Tepatnya goggling aja deh :), tapi pengertian kasarnya kira-kira begitulah. Kartel ini bukan tindak kriminal biasa, karena sangat berdampak pada hajat hidup orang banyak. Bahkan boleh dibilang sudah merupakan pengkhianatan kepada negara, karena didorong oleh keserakahan dan keuntungan diri sendiri dan kelompoknya, tak peduli lagi dengan kepentingan orang banyak.
Dengan kekuataan jaringan dan dominasinya atas komoditi tertentu, kartel mengendalikan semuanya, mula dari sumber bahan baku komoditi, pakan komoditi, distribusi komoditi, regulasi, atau setiap lini pada rantai perdagangan komoditi, sehingga pihak lain, termasuk pemerintah tak berdaya dibuatnya.
Hal ini menyebabkan aktivitas perdagangan terkonsentrasi pada pihak-pihak tertentu saja selama bertahun-tahun, sehingga kuku mereka mencengkeram makin dalam, menjauhkan semua pesaing dan pemain baru yang coba-coba masuk ke bisnis serupa, sekaligus menjaga keutuhan keuntungan—yang makin lama makin besar--masuk ke kantong mereka. Benar-benar bentuk keserakahan tingkat tinggi, apalagi keserakahan ini cenderung melebar ke mana-mana karena semakin kuatnya fundamen sumber daya mereka.
Ini sangat berbahaya dan jelas tidak sehat. Namun karena telah berlangsung lama, bahkan sejak awal-awal masa kemerdekaan, kartel sudah susah dilawan, akarnya sudah dalam mencengkeram perekonomian negara dan mereka sudah sangat pintar mengamankan eksistensinya, termasuk dalam mengantisipasi berbagai regulasi dan produk hukum yang mengatur soal ini. Kartel bukan lagi seperti jerawat atau komedo di wajah, tapi sudah menjadi kanker yang menggerogoti ketahanan seluruh tubuh yang bila dibiarkan akan membunuh semuanya, termasuk mereka sendiri.
Karena itu, demi kesejahteraan orang banyak dan keadilan, kartel harus dilenyapkan dari wajah Indonesia. Apa yang bisa dilakukan?
Ada dua metode pendekatan. Pertama metode jangka pendek, yakni dengan meningkatkan intensitas aksi pengungkapan kartelisasi. Di mana saja terjadi masalah kenaikan harga komoditi yang tak wajar, hilangnya suatu komoditi, mogoknya pedagang, dan lain-lain, pemerintah melalui berbagai instrumen pengamanannya harus segera bergerak menyelidiki, memprosesnya sesuai hukum dan perundang-undangan yang berlaku, serta menjatuhkan sanksi bila terbukti melanggar.
Sementara untuk jangka panjang, mungkin sudah saatnya berbagai peraturan dan perundangan tentang hal-hal yang menyangkut orang banyak lebih disosialisasikan lagi melalui lembaga-lembaga pendidikan. Bukan sekedar pemberitaan selintas atau kampanye sekilas, tapi benar-benar ditanamkan sejak dini kepada generasi penerus melalui proses pembelajaran di sekolah-sekolah. Saya pikir saat di kelas 4 sudah bisa dimulai.
Masalahnya banyak sekali ketidakjelasan peraturan dan perundang-undangan yang telah dihasilkan pemerintah dan DPR, belum lagi perda, pergub, perbup, PP dan banyak lagi. Bahkan di tingkat perguruan tinggipun masih belum sepenuhnya diketahui oleh para mahasiswa, sehingga para kriminal bebas melakukan aksinya karena hanya sedikit yang memahami atau tahu mengenai peraturan dan undang-undang tersebut.
Karena itu saya rasa sudah saatnya memberitahu generasi penerus lebih dini tentang semua itu. Mungkinkah itu? Saya yakin mungkin saja kalau memang ada good will dan political will oleh semua pihak, terutama yang berkompeten. Saya yakin bisa dibuat semacam model pembelajaran, kurikulum, syllabus atau apapun namanya yang secara sederhana dan menyenangkan menanamkan pemahaman tentang hukum, peraturan, regulasi, undang-undang, terutama untuk hal-hal yang secara langsung berkaitan dengan hajat hidup orang banyak—seperti pangan misalnya—kepada anak-anak. Contohnya bisa dilihat dalam film animasi 'Upin dan Ipin' yang dengan sangat smooth memperkenalkan berbagai kebijakan negara kepada anak-anak, sehingga hal-hal semacam itu bisa diterima anak-anak tanpa terbebani. Saya tak menyarankan cara 'Si Unyil', karena terlalu verbal, vulgar dan menggurui, sehingga anak-anak malah ‘muntah’ menerimanya.
Dengan mensosialisasikan berbagai peraturan, regulasi, atau perundang-undangan dan hukum tersebut sejak dini, generasi mendatang akan mengetahui hal-hal yang benar atau salah secara lebih jernih dan mendasar, sehingga dalam diri tertanamlah sikap dan perilaku bagaimana seharusnya warga negara yang baik, benar dan bertanggungjawab itu. Saya kira ini adalah salah satu bentuk revolusi mental yang banyak dibicarakan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H