Salah satu daerah pemasok utama garmen Pusat Grosir Tanah Abang adalah Tasikmalaya, Jawa Barat, setiap Senin dan Kamis mereka berkonvoi ke Tanah Abang dan buka mokonya dari pukul 04.00 sampai pukul 11.00 siang sejak tahun 1999...
China Datang Tasik Menantang
Bersamaan dengan berubahnya penampilan Pasar Tanah Abang, berubah pulalah trend perdagangan. Kebakaran besar Februari 2003 membuat banyak pelanggan mancanegara Tanah Abang lari ke China. Pengakuan H. Aris (70) menggambarkan hal itu. Pedagang asal Pariaman, Sumbar ini dulu punya 4 kios di Tanah Abang dan 1 kios di Senen, tapi kini tinggal 2 saja yang dipakainya--dua-duanya di Blok A--tiga lagi disewakan untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Itu karena pelanggannya orang-orang Nigeria pindah ke Guang Zhao, RRC. China mengisi kekosongan aktivitas di Pusat Grosir Tanah Abang itu dengan baik.
Sementara pedagang lokal, terutama yang berada di Indonesia Timur seperti Bali, Lombok, Samarinda, Balikpapan, Banjarmasih, Pontianak, Palangkaraya, Makassar, Mataram, Manado, Ambon dan Papua berpaling ke Pasar Turi, Surabaya yang juga merupakan pusat grosir produk tekstil dan garmen di Jawa Timur. Kekosongan selama 4 tahun itu—2003 – 2007—sangat memukul eksistensi Pusat Grosir Tanah Abang.
Kondisi itu diperburuk oleh agresivitas dan peluang bisnis yang muncul karena regulasi perdagangan regional seperti Asean China Free Trade Agreement (AC FTA) yang meski baru resmi berlaku 1 Januari 2010, tapi sudah dimanfaatkan China dengan sebaik-baiknya. Desember 2009 saja, menurut catatan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) produk tekstil dan garmen asing dari China, Korea, Sri Lanka, Banglades, Makao, Hongkong, Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Singapura sudah merajai 75 persen pangsa pasar di Pusat Grosir Tanah Abang. Dari yang 75 persen itu, 80 persennya adalah produk tekstil dan garmen China.
Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) sebenarnya sudah teriak sejak tahun 2004, ketika mereka menemukan indikasi lonjakan impor produk tekstil dan garmen asal China ke Pusat Grosir Tanah Abang. Liputan Kompas 28 Februari 2006 menyebutkan keluhan APPSI tentang rusaknya jaringan tekstil nasional. Menurut APPSI mata rantai produk tekstil dan garmen nasional dibangun dengan sistem konsinyasi, mulai dari hulu dan terikat berdasarkan asas kepercayaan sejak puluhan tahun.
”Jaringan tekstil nasional sangat istimewa karena pedagang bisa melakukan bisnis tanpa modal, cukup dengan kepercayaan. Semua perdagangan tekstil di hilir dibiayai oleh industri tekstil dengan memberikan konsinyasi selama empat bulan,” ujar Hasan Basri, Ketua Umum APPSI waktu itu.
Ia menambahkan, dahulu pengusaha tekstil memberikan bahan kepada produsen garmen dengan waktu pembayaran empat bulan. Kemudian, pengusaha garmen menyerahkan barang ke Pasar Tanah Abang dengan jangka waktu pembayaran dua bulan. Barang mengalir ke pasar di daerah dengan pembayaran dalam jangka waktu satu bulan.
Jadi, jaringan industri tekstil di Indonesia sangat kuat tanpa memerlukan dana segar. Akan tetapi, begitu tekstil China masuk, mulai berlaku hukum rimba sehingga hanya pedagang bermodal kuat yang bisa bertahan.
Menurut Hasan Basri kepada Kompas jaringan bisnis impor dari China dilakukan dengan pola pembayaran tunai. Saat ini pedagang yang tetap bertahan di jalur garmen lokal lebih karena ketiadaan modal. Nilai bisnisnya pun dari tahun ke tahun terus menurun. Sebagai gambaran, pada tahun 2002 Hasan Basri masih mampu meraup omzet Rp 30 juta-Rp 50 juta per hari. Saat itu—tahun 2006--omzetnya tinggal Rp 3 juta per hari.
Mayulis, pedagang garmen lokal lainnya di Blok G, Pasar Tanah Abang, memperkuat fakta itu. Dulu sebelum produk China masuk ke Tanah Abang, omzetnya bisa mencapai Rp 6 juta-Rp 8 juta per hari. Tahun 2006 itu Mayulis hanya meraup omzet Rp 700.000 per hari.
Contoh lainnya yg tumbang dilindas produk China adalah PT Sarasa Nugraha. Perusahaan ini dahulu adalah produsen garmen lokal. Kini dua pabriknya ditutup dan banting setir ke bisnis agrokimia. Presiden Direktur PT Sarasa Nugraha waktu itu, Budhi Moeljono menngatakan pada Februari 2004 perseroan menghentikan produksi pakaian jadi di pabrik Balaraja, Tangerang, dan sekitar 1.200 karyawannya diberhentikan. Selanjutnya, pada Februari 2005 PT Sarasa menghentikan produksi pabrik di Cibodas, Jawa Barat, dengan merumahkan sekitar 1.700 karyawan. Sejak 4 Oktober 2005 perusahaannya mengubah bisnis intinya setelah merger dengan PT Indo Acidatama Chemical Industry.
[caption caption="Seorang calon pembeli memilih kerudung di Pasar Tasik Tanah Abang"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H