Sebelum tumbuh menjadi pasar grosir tekstil dan garmen terbesar di Asia Tenggara, Tanah Abang adalah tempat pelesir yang menyenangkan karena banyak pepohonan dan sungainya pun (Kali Krukt) masih berarir jernih. Penduduk Jakarta (waktu itu Batavia) yang berpunya banyak membuka perkebunan di kawasan ini dan membangu ruma peristirahatan...
Dari Tempat Plesir ke Pasar Tekstil
Jauh sebelum dikenal sebagai pasar grosir tekstil dan garmen kawasan Tanah Abang dahulu kala merupakan daerah rawa dan perbukitan. Di sini mengalir Kali Krukut yang berair jernih dan sering digunakan sebagai tempat plesir dan mandi-mandi, baik oleh warga pribumi dari seputaran Jakarta maupun warga Belanda yang membangun rumah-rumah peristirahatan di sini meski bertempat tinggal di kawasan Menteng.
Tanah Abang sendiri mulai disebut-sebut tahun 1628, ketika tentara Mataram di bawah pimpinan Soeltan Agung menyerbu Batavia. Mereka mendirikan pangkalan dan dapur umum di lahan itu. Tahun 1648, Phoa Beng Gam atau Phoa Bing Gam seorang kapitan Tionghoa yang prihatin dengan kondisi kesehatan di Batavia karena banyaknya korban yang meninggal gara-gara penyakit malaria, tiphus, disentri dan kolera, menggali kanal dari de Voorstaft (Kota) ke Harmoni. Tujuannya untuk mengalirkan air rawa supaya tidak lagi tergenang dan menjadi sarang nyamuk malaria dan kotoran lainnya. Sebelum membuat kanal Beng Gam bersama sekretarisnya membuat peta kawasan itu.
Kanal yang digalinya itu dikenal sebagai Kanal Molenvliet (1661) karena di kanan kirinya banyak kincir penggilingan gula tebu atau molenvliet milik penduduk. Kedua sisinya kemudian menjadi jalan penghubung kawasan Kota dengan Harmoni yaitu Jl. Molenvliet Oost (Jl. Gajah Mada) dan Jl. Molenvliet West (Jl Hayam Wuruk).
Pembangunan kanal selanjutnya diteruskan ke arah tenggara melalui samping Rijswijkstraat (JI. Majapahit), Jl. Tanah Abang Timur, terus ke Kali Krukut. Terusan ini dibangun untuk kepentingan umum, guna membuka keterisolasian daerah di selatan Batavia. Dengan demikian kanal ini berfungsi sebagai sarana kesehatan dan angkutan sungai untuk lalu-lintas barang dan orang, termasuk hasil pertanian dan perkebunan yang mulai banyak keluar dari Tanah Abang.
Kanal karya Phoa Beng Gam ini dengan sendirinya telah berperan mempercepat perkembangan dan pemekaran Kota Batavia ke selatan, terutama karena fungsinya sebagai sarana pengangkut kayu dari hutan di selatan Batavia untuk membuat kapal dan bangunan di utara kota, sekaligus pembawa kebutuhan pabrik gula dan mesiu di Lindeteves dan mengantisipasi terjangan banjir dari Jawa Barat yang telah menjadi masalah juga bagi Jakarta waktu itu.
Karena jasanya ini Phoa Beng Gam dihadiahi tanah yang sangat luas di kawasan Tanah Abang. Tanah Abang sendiri saat itu sudah menjadi kawasan pertanian yang subur. Banyak orang Belanda membangun saung, villa atau rumah peristirahatan di sana, sementara orang Tionghoa lebih suka bercocok tanam. Mereka membuka kebun sayur dan palawija seperti bayam, kangkung, tomat, cabe, jahe, kacang, serai (sereh) dan sirih yang sudah menjadi tanaman tradisional dan wajib bagi setiap rumah etnis Betawi di sana, karena daun sirih dibutuhkan untuk menjadi teman kapur sirih yang fungsinya sama seperti permen karet bagi orang Amerika atau rokok bagi para perokok di mana saja, karena sirih membawa efek menenangkan, ampuh untuk mengisi waktu luang atau saat-saat menunggu.
Ada juga yang menanam pala dan jati putih, juga melati. Sampai sekarang jejak pertanian dan perkebunan tersebut masih ada karena diabadikan oleh Pemda DKI sebagai nama jalan di wilayah Kecamatan Tanah Abang, seperti Jl, Kebon Jati, Jl. Jati Baru, Jl, Jati Bunder, Jl, Kebon Sirih, Jl. Kebon Pala, Jl. Kebon Jahe , Kebon Melati, Kebon Kacang dan sebagainya.
Foto 1. Macet berat di sepanjang Jalan Kebon Jati, Tanah Abang, begitulah suasananya sebelum penertiban Agustus 2013 (Foto Internet).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H