Sehari, dua hari, seminggu, tak pernah ada kabar lagi dari Pendi. Burhan mulai resah, Mirna apalagi.
"Sebaiknya Uda pulang dan cek, Hp-nya tak merespon, begitu pula HP yang lain-lain. Saya sudah telepon Uni Debob, katanya sejak pulang dengan kita ke Pekanbaru dulu Pendi tak pernah lagi terlihat di kampung, begitu pula orang-orang yang dulu ikut dia ke rumah kita," kata Mirna panik.
"Jangan-jangan dia menipu kita," ujar Burhan lirih.
***
Ternyata benar, Pendi dan kawan-kawannya sudah minggat dari kampung. Menggondol uang Burhan Rp500 juta. Ketika partai yang dia sebut menelpon mereka mengaku kenal Pendi tapi tak pernah membicarakan soal caleg dan imbalan Rp500 juta. "Apa Uda benar-benar punya uang sebanyak itu? Mendaftar sekarang saja, partai kami siap menampung," ujar pengurus partai itu bernafsu. Burhan pun lesu. Dia melaporkan Pendi ke polisi. Di situ diketahui rekening yang menerima uangnya ternyata rekening yang dibuat dengan KTP palsu. Nama dan alamat yang tertera di KTP itu tidak ditemukan. Yang lebih buruk, rekening itu sudah ditutup. Burhan makin lesu. Dia menelpon ke rumah.
"Apa awak bilang, Uda percaya juga sama si Pendi tu. Kini apalagi? Rp500 juta sudah melayang, Uda tu benar-benar payah, tak mau mendengarkan kata istri. Sekarang apa gala Uda? Datuak Caleg nan Celek?" Suara Mirna menggelegar di kupingnya.
Padang, 9 September 2008
Dimuat Padang Ekspres
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H