[caption id="attachment_193563" align="aligncenter" width="300" caption="Tuanku Bosa XIV memasangkan keris emas kepada penghulu (pemuka adat) yang baru diangkat"][/caption]
Jumat 21 – Minggu 23 Juni akan menjadi hari yang sangat bersejarah bagi Nagari Talu. Nagari yang menyebut diri Salingka Nagari Talu ini terletak 197 Km di utara Kota Padang dan 154 Km di barat Bukittinggi, Sumatera Barat.
Pada tiga hari itu, Nagari Talu yang memiliki luas 112 Km persegi dan berpenduduk 8.200 jiwa akan menyelenggarakan acara peresmian Rumah Gadangserta Obyek Wisata Alam dan Budaya Koto Dalam Talu dan malewakan 5 datuk sekaligus. Seeekor kerbau akan dikorbankan untuk acara tersebut.
Sekitar 300 tamu/undangan dari seluruh pelosok nusantara dan Malaysia akan meramaikan nagari kecil ini selama tiga hari itu. Di daftar undangan terlihat beberapa nama seperti Prof Khaled (Ketua Pengerusi Talu Malaysia),lalu mantan Menteri Perhubungan RI dan Gubernur Sumatera Barat Ir H. Azwar Anas, , DR Ari Gynanjar penggagas program motivasi spiritual ESQ, raja dan sultan dari seluruh kraton dan kesultanan yang ada di Indonesia, para pejabat propinsi dan kabupaten, LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) propinsi dan kabupaten, Camat Talamau, para pemangku adat dan Ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari) se-Sumatera Barat.
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prajitno, Bupati Pasaman Barat Drs H. Baharuddin R. MM dan Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyuang SM Taufik Thaib tentu saja sudah di daftar teratas dalam acara ini. Mereka akan datang atas undangan pucuk adat yang juga Raja Talu, Tuanku Bosa XIV dr H. Fadlan Maalip SKM.
Hotel-hotel, homestay dan rumah penduduk di Simpang Empat (Pasaman Barat), Lubuk Sikaping (Pasaman), Bukittingi dan Talu sendiri akan dipenuhi tamu-tamu tersebut. Mereka akan merasakan sejuknya udara Talu yang dulu sangat digemari oleh para controlleuer Belanda.
Talu memang bukan nagari biasa. Saat ini Talu merupakan ibukota Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat yang merupakan kabupaten tersendiri setelah dimekarkan dari Kabupaten induknya Pasaman. Talu sendiri dulunya merupakan ibukota Kabupaten Pasaman sebelum digantikan Lubuk Sikaping.
Pejabat-pejabat Belanda yang bertugas di wilayah Pasaman selalu berdomisi di Talu yang beriklim sejuk karena terletak pada ketinggian 650 – 900 dpl (di atas permukaan laut). Baik saat disibukkan Perang Padri (1821-1837) atau ketika mengurus kebun kelapa sawit mereka di tempat yang kini disebut Ophir (Kabupaten Pasaman Barat). Sejarah mencatat beberapa controlleur Belanda yang bertugas dan tinggal di Talu.
Belanda juga menyewa daerah Tonang Talu untuk dijadikan onderneming (perkebunanan) teh kepada Tuanku Bosa, sehingga Tuanku Bosa mampu membangun rumah sakit, pasar dan kantor adat.
Pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1918 telah berdiri rumah sakit yang dipimpin oleh dr Saleh—ayah Chairul Saleh, Waperdam di era pemerintahan Presiden Soekarno. Sampai masuknya tentara Jepang 1942, di Taluselalu ada dokter yang melayani masyarakat.
Waterleiding atau yang sekarang disebut air bersih PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum)sudah lama dikenal masyarakat Talu. Prasastinya bertuliskan anno 1925 yang berarti diresmikan pada tahun 1925.
Kantor KAN (Kerapatan Adat Nagari) Talu yang dipakai saat ini sudah berusia lebih dari 140 tahun, karena dibangun pada akhir abad XIX.
Sekolah gubernemen pertama berdiri di Talu, yang kemudian menjadi Sekolah Rakyat I dan terletak di Jalan Bangkok Talu. School Opsineer pada akhir abad XIX sampai dengan awal abad XX adalah Biran, ayahanda dari Prof. Dr. Biran, pembesar FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), di mana dr Fadlan Maalip SKM, Tuanku Bosa XIV, menimba ilmu kedokteran.
Anwar, ayah dari Rosihan Anwar, jurnalis terkemuka Indonesia menjabat demang di Talu pada tahun 1930-an. Rosihan dapat menceritakan pengalaman masa kecilnya di Talu. Rosihan pernah menulis dan membuat film dokumenter tentang Talu atas penugasan PFN (Perusahaan Film Negara).
Betapa mencengangkannya latar belakang nagari kecil yang dijaga Gunung Talamau dan Rimbo Panti ini!
Rumah Godang
Apa istimewannya rumah gadang Talu? Atau yang oleh masyarakat setempat disebut rumah godang?Bukankah di daerah Sumatera Barat lain juga banyak rumah gadang yang dibangun dan direhab oleh para perantau di kampungnya masing-masing?
Bedanya terletak pada konsep. Rumah gadang di tempat lain mungkin dibangun untuk menunjukkan betapa megah dan mulianya kaum pemilik rumah gadang itu sekarang, rumah gadang mereka juga dibangun untuk dipakai sebagai tempat tinggal sanak kerabat di kampung atau seperti villa yang digunakan setiap kali pulang kampung.
Rumah gadang Talu yang terletak di Koto Dalam ini, dibangun untuk membangkjtkan kembali semangat mengenal dan menjalankan adat seperti dulu. Paling tidak itulah yang dikatakan dr Fadlan Maalip SKM atau Tuanku Bosa XIV saat ditanya motivasinya.
“Kita prihatin adat semakin jauh dari anak nagari (masyarakat setempat) padahal adat sangat besar pengaruhnya pada pembentukan budi pekerti, karena adat Minangkabau itu sangat dekat dengan ajaran agama Islam sesuai konsep ABS-SBK, Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi kitabullah (adat bersendi ajaran agama, ajaran agama bersendi kitab suci Al Qura’an),” kata perantau yang sukses dengan perguruan tinggi kesehatan dan keperawatan di Jambi ini.
Dari peruntukkan bagian-bagian di rumah gadang tampaknya dr Fadlan tidak mengada-ada, karena di rumah gadang ini tidak terdapat kamar untuk tidur, kecuali untuk keperluan simbolik belaka atau bahan pelajaran bagi yang ingin tahu.
Di lantai bawah, yang di zaman dulu digunakan sebagai garasi bendi atau pedati hanya terdapat perpustakaan, museum mini, ruang shalat, ruang audio video di mana pengunjung bisa nonton film-film adat atau belajar pepatah petitih Minang, ruang kerajinan tangan tempat dipamerkannya benda-benda kerajinan dan sesekali tempat di mana cara membuat aneka kerajinan tersebut dipamerkan.
Lalu ada dua kamar untuk kantor Tuanku Bosa dan kantor alternatif KAN Talu dan Yayasan Rumah Gadang, yayasan yang dibentuk untuk mengurus rumah gadang ini.
Selebihnya ada replika dapur tradisional Minang, lengkap dengan tungku tigo sajarangan dan ambin tempat kayu bakar di tasnya, dua kamar mandi dengan toilet duduk dan toilet jongkok, satu gudang serta lemari pakaian adat yang bisa disewa oleh para pengunjung jika ingin berfoto dalam pakaian datuk atau pesilat Minang dan lain-lain. Tak ada kamar tidur, juga tak ada kursi tamu.
Lantai atas lebih khusus lagi. Ada anjungan barat atau anjungan rajo dan anjungan timur atau anjungan puti, tempat raja, permaisuri dan para puti (putri, kemenakan atau saudara perempuan raja) duduk bersantai. Tapi itu cuma replika karena dalam keseharian raja, permaisuri dan para puti tidak duduk-duduk di situ, kecuali ada acara adat yang mengharuskan mereka begitu.
Benar ada tiga biliak (kamar), satu biliak bundo kanduang, satu biliak puti, dan satu biliak dalam. Biliak bundo kanduang dan biliak puti hanya model, tak ada bundo kanduang ataupun puti yang tidur di situ malam atau siang hari. Sedangkan biliak dalam hanya dipenuhi barang-barang sakral dan pakaian kebesaran lengkap Tuanku Bosa.
Yang mendominasi justru balairung tempat berbagai acara adat dan pertemuan nagari diselenggarakan. Ya, masyarakat nagari Talu, dari pemuka adat sampai anak sekolah dan pemuda kampung, juga organisasi masyarakat apa saja yang ada di Talu, termasuk partai politik boleh menggunakan balairung itu untuk acara mereka.
Lalu ada dua barando (beranda) yakni beranda depan dan beranda belakang. Barando depan untuk menyambut tamu yang datang, barando belakang untuk duduk-duduk sore menonton segala permainan rakyat yang dilangsungkan di medan nan bapaneh, atau memainkan berbagai alat musik jika di rumah gadang ada acara, kalau tidak tempat itu kosong saja.
Rumah gadang di Koto Dalam ini benar-benar hanya untuk kepentingan sosial dan edukasi, seperti dikatakan Tuanku Bosa XIV, “Kita bangun rumah gadang ini untuk pendidikan adat Minangkabau, siapa saja yang berminat bisa belajar adat di sini,” katanya. Kalaupun kelak ada pungutan, itu hanya sekedarnya saja dan tidak diberlakukan kepada semua orang, hanya yang patut-patut saja yang akan dimintai yakni organisasi massa , partai politik dan jajaran pemerintahan yang jelas-jelas punya anggaran untuk membiayai pertemuan-pertemuan mereka, sedangkan para pelajar atau lembaga-lembaga pendidikan tarifnya damai saja, maklum kan memang ditujukan untuk pendidikan.
Sejalan dengan tujuan edukasi tadi, di halaman rumah gadang juga ditanam tanaman-tanaman yang biasanya memang ditanam di rumah gadang-rumah gadang Minang dulu. “Ada bumbu dapur, tanaman obat dan bunga-bunga perlambang,” ungkap Tuanku Bosa XIV.
Di halaman ada dua rangkiang, yakni Sitinjau Lauik serta Sitangka Lapa dan Sibayau-bayau yang digabung. Sitinjau Lauik adalah rangkiang yang berfungsi sebagai lumbung padi untuk menyantuni para musafir yang kebetulan lewat dan kesusahan.
Sedangkan sibayau-bayau adalah lumbung penyimpan makanan untuk ketahanan pangan kaum Tuanku Bosa, dan sitangka lapa adalah lumbung sosial juga tapi khusus untuk anak nagari, untuk berjaga-jaga kalau panen gagal oleh berbagai sebab--bencana alam misalnya—atau akibat musim kemarau.
Tak heran kalau ada yang menyebut, rumah gadang ini bisa membantu missi museum-museum adat yang ada di Sumatera Barat dalam memperkenalkan adat Minangkabau pada publik yang berminat pada kebudayaan ini.
Rumah gadang inilah—serta tobek godang (kolam besar) yang melengkapinya--yang akan diresmikan penggunaannya oleh Gubernur Sumatera Barat, Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyuang, tokoh Minang dan Bupati Pasaman Barat dalam bentuk penandatanganan prasasti Sabtu 23 Juni 2012. Peresmian itu akan berlangsung di hadapan 300-an tamu, termasuk raja-raja dan sultan se-nusantara, tamu dari Malaysia, para pejabat propinsi dan kabupaten, LKAAM Sumbar dan kabupaten, Camat Talamau, para pemangku adat se-Sumatera Barat, Ketua-ketua KAN serta para tamu, undangan dan anak nagari Talu sendiri sebagai pihak yang punya hajat.
Tobek Godang
Tobek godang atau kolam besar adalah penunjang ekonomi anak nagari Talu.Karena memang ditujukan untuk itu.
Selain memiliki berbagai wahana rekreasi anak seperti rumah pohon, outbond, arena pemancingan, berbagai sarana wisata air (perahu, sepeda air), lapau (warung) yang menjual aneka makanan dan minuman khas Talu seperti ubi, jagung, kacang, kue putu, teh kahwa, gulo anau dan sebagainya, dua tobek godang ini—yakni tobek godang mudiak seluas 1,5 hektar dan tobek godang ilie seluas 1 hektar—dikelilingi berbagai sumber penghasilan seperti peternakan ikan tonsen, imas dan nila, penangkaran rumbai, pandan, kumbuah dan mansiang,Perkebunan Manih Mato yakni perkebunan hortikultura (buah-buahan dan sayuran) seluas 5 – 1- hektar; sertaperkebunan niniak mamak dan anak nagari, antara lain yangsudah jadi:
- Perkebunan karet percontohan seluas 0,5 hektar umur 3 tahun
- Perkebunan gaharu yang dikelola Kelompok Tani Niniak Mamak Mataram seluas 5 hektar, berusia 1 tahun
- Perkebunan pembibitan rakyat yang dikelola Kelompok Tani Sepakat yang akan diikuti dengan penanaman 50.000 batang karet, mahoni, surian, petai pada lahan seluas 25 hektar, saat ini usia bibit rata-rata satu tahun
- Perkebunan pisang lilin seluas 40 hektar, saat ini berusia 2 tahun
Dalam master plan yang dipersiapkan dengan matang, terlihat juga sumber-sumber penghasilan masa depan ini tak cuma sebatas itu, masih ada yang sedang dalam perencanaan yaitu:
- Perkebunan buah dan sayuran seluas 5 hektar sebagai unit usaha rumah godang.
- Perkebunan karet niniak mamak seluas 100 hektar.
- Perkebunan karet anak nagari.
- Perkebunan coklat anak nagari.
- Sawah penangkar benih padi.
- Pembibitan ikan di tobek godang.
- Perkebunan sawit.
“Semua ini memang sudah obsesi saya sejak lama, saya prihatin niniak mamak dan anak nagari makin jauh dari adat gara-gara persoalan ekonomi, kini kami semua akan bangkit secara bersama-sama, bersama-sama menuju sejahtera, bersama-sama pula menegakkan kemuliaan adat dan agama, agar sentosa dunia akhirat,” ujar Tuanku Bosa XIV takzim.
Dulu sebelum Belanda memporakporandakan adat dan Orde Baru menambah kerusakan dengan program desanisasinya melalui UUNo. 5 Tahun 1979 yang diperkuat dengan Perda No. 13 Tahun1983, di mana 543 nagari di Sumatera Barat dipecah menjadi sekitar 3.000 desa, wibawa para datuak/pangulu ditopang oleh pemasukannya yang berasal dari berbagai sumber yaitu:
- Ka rimbo babungo kayu (persentase dari hasil hutan)
- Ka sungai babungo pasia (persentase dari hasil sungai)
- Ka lauik babungo karang (persentase dari hasil laut)
- Ka sawah babungo ampiang (persentase dari hasil sawah)
- Ka ladang babungo tanah (persentase dari hasil tanah ulayat yang digunakan untuk ladang)
- Ka kampuang bapadi abuan (persentase dari hasil aktivitas ekonomi apapun dalam kampung).
Karena itu, dulu, datuak dan pangulu itu pasti berkecukupan. Tak perlu lagi memikirkan biaya rumah tangga.
Sekarang semua itu tidak ada. Akibatnya datuak dan pangulu tidak berdaya, tidak bisa menjalankan kewajibannya dengan baik. Malah ada yang jatuh ke perbuatan memalukan, seperti menggadai atau menjual harta pusaka sesukanya. Akibat terusannya, wibawa dan kehormatannya hilang. Cucu kemenakan tidak lagi menghormatinya karena mengganggap tidak ada yang pantas diambil atau dicontoh dari dia.
Sekarang. Kalau ingin mengembalikan marwah dan wibawa datuak/pangulu tak ada jalan lain, kesejahteraan ekonominya harus dikembalikan seperti dulu. Namun aturan formal dan hukum yang berlaku tidak memungkinkan dia mendapatkan haknya seperti dulu lagi karena sudah diambil alih oleh kecamatan, kabupaten, kota atau negara.
Jalan satu-satunya adalah menciptakan sumber ekonomi baru bagi para datuak/pangulu ini, dan itulah yang telah dicoba rintis oleh Tuanku Bosa XIII dan diteruskan oleh Tuanku Bosa XIV dalam bentuk aneka usaha di bidang perkebunan dan pariwisata.
Sambil menyelam minum air, mendapatkan sumber dana dari usaha yang melibatkan anak nagari dan melakukan pendidikan adat kepada masyarakat, tanpa mengemis dana ke pemerintah. Bukankah bagus sekali? imran rusli
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H