[caption id="attachment_70963" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Menonton Suami-suami Takut Istri di Trans TV hati saya miris. Bukan karena lakonnya yang buruk dan vulgar-meski awal-awalnya menghibur juga—tapi lebih karena stereotype etnis yang digambarkan di sana. Orang Padang digambarkan pelit, orang Betawi besar lagak, sok jagoan, Jawa ngeyel, keras kepala dan Batak tak punya otak, hanya besar di otot.
Saya miris karena kebiasaan membuat stereotype ini bagi saya adalah kebiasaan bodoh yang dilakukan oleh orang bodoh. Mungkin ada orang Padang yang pelit, tapi bukan tak ada orang Padang yang dermawan. Wesel ke kampung halaman orang Padang itu nilainya ratusan milyar. Pola patron klien bagi para perantau lama dan baru terus berlaku sampai sekarang, mesjid dibangun terus seolah-olah uang tumbuh di pohon, dan tak kunjung cairnya dana bantuan gempa ditunggu denggan tawaqal, tanpa demo-demo atau unjuk rasa anarkhis.
Apakah itu ciri-ciri orang pelit? Hanya karena satu dua orang Padang tak mau menggunakan uangnya tanpa control, orang Padang sudah dicap pelit. Hendaknya dibedakan antara pelit, hemat dan penuh perantauan. Kami perantau yang melewati beberapa provinsi dan negara agar bisa eksis, kami harus punya disiplin keuangan yang kuat, soal kedermawanan jangan diajari, hanya kami yang punya Gebu Minang, Gerakan Seribu Minang.
Orang Jawa digambarkan ngeyel, mau benar sendiri, apa benar begitu? Orang Jawalah yang harus menjawab.
Orang Betawi sok jago? Kalau ini saya punya sedikit pengalaman, selama 13 tahun merantau ke Jakarta hanya beberapa kali saya ketemu orang Betawi tipe ini. Salah satunya seperti yang tergabung dalam FBR (Forum Betawi Rempug). Tapi saya ragu menggolongkan ini sebagai karakter khas Betawi, lebih pas karakter preman tengik, dan itu bisa ditemukan juga di etnis-etnis lainya di Indonesia.
Mayoritas Betawi yang saya temui adalah ramah, baik hati, suka menolong dan ceplas ceplos. Suka ngutang sih, tapi kayaknya itu sudah budaya mereka yang selau saling tolong-menolong, prinsipnya lu tolong gua, gua tolong lu, akan ada waktunya kita saling membutuhkan. Gitu deh
Orang Batak dikatakan tak punya otak. Cuma mengandalkan otot yang juga tak seberapa. Aneh, padahal pengacara paling banyak dari Batak. Pengusaha sukses juga tak kurang. Kalau orang model Ruhut Sitompul mungkin bisa dikatakan modal otot dan lidah sekaligus, tapi sayang lidahnya dikhususkan untuk menjilat SBY dan keluarga, seolah-olah SBY akan berkuasa selamanya. Entah mana yang lebih buruk, Ruhut atau Harmoko. Sama-sama penjilat, mungkin yang lebih cocok menilai mereka para pengamat penjilatan, gigolo jangan ikut, soalnya mereka khusus menjilat yang lain.
Khusus orang Padang, seperti juga etnis lainnya tentu ada yang pelit. Kalau di Padang kami menyebutnya jaguang (jagung). Kiasannya orang seperti itu kalau buang hajatnya jagung, pasti dimakannya lagi, saking pelitnya. Bung Hatta suka menempelkan sabun lama dengan sabun baru agar sabun itu benar-benar terpakai habis, tidak mubazir, pelitkah sikap ini?
Banyak orang Padang lebih suka menyumbang dengan nama Hamba Allah, sumbangannya sampai milyaran rupiah, apa namanya ini? Pelitkah? Atau tak mau pamer?
Memang orang Padang (baca Minangkabau) terkenal kareh angok (gigih), karengkang, kareh kapalo
(kopig, keras kepala, kepala batu, tak mau kalah), egois (suka menang sendiri dan mendahulukan kepentingan sendiri), rancak di labuah (tampaknya saja bagus), jinaha (licik dan licin), tapi apakah etnis lain juga tak begini?Etnis yang punya tradisi merantau sepertinya seperti ini semua, karena sikap-sikap seperti itu sangat dibutuhkan untuk bertahan dan mempertahankan eksistensi di ranah rantau yang keras.
Mungkin orang yang bertemu orang Padang dan merasakan kepelitannya lalu sesumbar ke mana-mana sampai jadi sterotype dulu itu sedang sangat butuh pinjaman duit, tapi nggak bisa membujuk orang Padang agar memberinya uang. Kalau kaya’ gini belum tentu orang Padang itu yang pelit, tapi dianya aja yang mudah sekali minta-minta (profesinya pengemis kali).
Dengan demikian stereotype orang Padang pelit ini seharusnya tak perlu lagi dijual sebagai komoditi, begitu juga stereotype untuk etnis-etnis lainnya, karena sudah jelas penggeneralisasian ini adalah pekerjaan bodoh yang hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh, sayangnya orang bodoh itu tak pula orang Indonesia, tapi dari pinggiran Sungai Gangga (India). Dengan kerajaan bisnis hiburannya dia menghitamputihkan dan menggoblok-goblokkan orang Indonesia, dan orang Indonesianya diam saja, malah ikut tertawa-tawa.
Jadi yang bodoh siapa? Kita juga pada akhirnya. Bangunlah kawan, jangan kau biarkan orang menertawakan bangsamu sesukanya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H