Mohon tunggu...
Imran Rusli
Imran Rusli Mohon Tunggu... profesional -

Penulis dan jurnalis sejak 1986

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sakuddei, Kenangan dengan Norman Edwin

25 Maret 2010   13:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:12 1289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_102277" align="alignleft" width="500" caption="Lelaki Sakuddei menuju ladang perburuan.Sakuddei adalah nama sekelompok suku Mentawai di pedalaman Saggulube’ (kini masuk wilayah Kecamatan Siberut Barat Daya). Anggota sukunya sekitar 60 orang—tahun 1989 ketika saya ke situ—dan menjadi cerminan yang sempurna dari konsep uma sebagai kata yang digunakan masyarakat Mentawai untuk menyebut suku, rumah adat sekaligus kampung."][/caption] Sakuddei, nama ini sangat menggetarkan tahun 1970-an. Waktu itu beredar kabar bahwa ada sekelompok suku Mentawai yang benar-benar masih asli, masih mempertahankan keaslian budayanya. Mereka adalah komunitas pelarian dari Madobag (kini masuk wilayah Kecamatan Siberut Selatan), yang tak sudi kepercayaannya—arat sabulungan—dimusnahkan oleh agama-agama samawi yang sejak 1954 sangat gencar memberangus mereka. Kabarnya mereka hidup di dalam hutan yang seram, bertubuh kekar dengan rambut panjang serta tattoo yang memenuhi seluruh tubuh sampai wajah mereka, dan sangat trampil dengan panah beracun. Pemburu-pemburu yang sangat mahir dan piawai melebihi dinosaurus. Informasi tentang Sakuddei menghilangkan semua bayangan tentang orang Mentawai yang beredar di Padang. Bayangan yang didominasi sekelompok orang yang berjalan beriringan satu persatu mengikuti jalan setapak yang sempit, sehingga jadi pameo di Padang: jalan ang co urang Pagai (jalan kamu seperti orang Pagai), atau lego Pagai (berantam tak keruan seperti orang Pagai). Pagai adalah sebutan kasar untuk orang Mentawai di daratan Sumatera Barat sejak lama, padahal itu adalah nama pulau yang kebetulan memang orangnya paling duluan dan sering ke Padang, karena pulau merekalah yang lebih dulu digarap pengusaha kayu yang kemudian menjadikan mereka buruh rendahan. Semuanya sirna setelah isu Sakuddei muncul Sakuddei dipopulerkan antropolog Reimar Schefold. Penelitiannya yang kemudian dibukukan dalam buku berjudul ‘Mainan Bagi Roh’, buku setebal hampir 1.000 halaman ini sangat detail menggambarkan kehidupan orang Mentawai, tapi waktu itu saya belum pernah mendengar atau melihatnya. Setelah kuliah di Jurusan Antropologi Universitas Andalas baru saya dengar, tapi belum melihatnya. Tahun 1989, saya lupa bulan apa, tiga wartawan majalah Voice of Nature (Suara Alam) Jakarta muncul di kampus.  Mereka Norman Edwin, Tommy Dono dan Agus Tsawali. Norman Edwin adalah tokoh pencinta alam Indonesia yang namanya jadi hafalan di kalangan pencinta alam. Tulisannya dan tulisan tentang dia banyak menghiasi koran dan majalah-majalah top waktu itu. Mutiara, Sinar Harapan, Kompas, Tempo, Gadis dan lain-lain tak pernah sepi dari petualangannya. Maklum Norman itu seperti Sir Edmun Hillary atau Keith Mallory-nya Indonesia, pendaki top Gunung Himalaya, gunung tertinggi di dunia. Dan hari itu Sang Legenda—yang juga baru mulai bekerja untuk Harian Kompas--muncul di depan pintu saya. Singkat cerita saya diajak ke Sakuddei. Saya dipilih karena sudah sering ke Mentawai, sejak 1986 saya memang sudah bolak-balik ke Mentawai, terutama ke Matotonan di Siberut  Selatan, tempat saya melakukan penelitian tentang kerei, dukun Mentawai. Tahun 1987 kami juga mengalami musibah di Madobag, dan saya berhenti kuliah karena kasus skripsi, jadi nama saya juga sudah menasional dalam masalah Mentawai, pertama karena musibah, kedua karena membuatkan skripsi teman, sebab hampir seluruh media besar memberitakan. Kacau deh. Kalau sekarang kejadiannya mungkin lebih heboh lagi, saya takkan sempat berduka untuk ketiga orang terdekat saya dan mungkin musuhan selamanya dengan teman saya, karena sibuk melayani pers. Untunglah tak seburuk itu kejadiannya. Jadi berangkatlah kami. Waktu KM Sumber Rezeki masih baru. Jadi deritan kayunya tak sekeras sekarang.  Sampai pagi di Muara Siberut, ibukota Kecamatan Siberut Selatan, kami langsung ke kantor camat. Di situ camatnya buka kartu. Katanya dia sudah lama mencari saya karena tulisan-tulisan saya di Harian Singgalang yang selalu mencela pemerintah. Saya tertawa saja, dan akhirnya dia juga tertawa.  Katanya dia mengerti saya hanya menjalankan tugas, sama dengan dia, meski di sisi yang berbeda. Saya lupa nama camat itu. Dari Muara Siberut kami naik speedboat ke Matotonan, desa terdekat ke Sakuddei, soalnya Norman ingin lewat sungai, bukan lewat laut.  Kalau mau lewat laut bisa saja, ada boat besar dengan tarif Rp350 ribu sekali jalan. Sekarang tarifnya Rp1,5 juta. Almarhum Norman--Norman dan Didiek Syamsu dari Mapala UI meninggal saat mendaki Gunung Aconcagua, Argentina Barat yang juga dijuluki Si Bengis--ingin masuk ke jantung Mentawai, bukan hanya menyisir tepi-tepinya. Di Matotonan kami istirahat semalam di uma Sabulat, siripok saya. Kami membawa tembakau asli dari Payokumbuah, Kabupaten 50 Koto, Sumbar. Tadinya Norman ingin membawakan rokok-rokok seperti Gudang Garam Filter atau Jarum, tapi saya sarankan tembakau merek Panorama itu saja, karena lebih disukai orang-orang tua. Misi Norman waktu itu sebenarnya gaharu. Ketika itu di Siberut sedang terjadi penebangan pohon besar-besaran secara serampangan, karena para pemburu gaharu dari Padang, Medan, Jakarta dan bahkan Singapura membayar penduduk dengan agresif untuk mengumpulkan gaharu sebanyak-banyaknya. Getah harum yang dihargai sampai Rp10 juta di Singapura ini dibayar Rp300 – Rp1,2 juta per kilonya oleh pedagang perantara ini di lapangan. Mereka yang masuk sampai ke desa-desa di pedalaman Sarareiket Hulu dan Sila’oinan—tapi tak berani masuk hutan—memberi penduduk ransum untuk 7 – 14 hari. Semua gaharu yang didapatkan harus diberikan kepada mereka yang telah mengijonkan ini dengan harga tadi, tergantung kualitas gaharu yang disetor. Uang ransum langsung dipotong saat gaharu diserahkan. Masyarakat Mentawai yang tahu hutan mereka namun ternyata awam soal gaharu, menebangi semua pohon yang mereka anggap mengandung getah ajaib itu. Akibatnya terjadi kerusakan hutan yang cukup parah, sementara perdagangan rotan dan manau ikut macet karenanya. Gaung masalah ini sampai ke Jakarta, dan media nasional yang peka isu lingkungan dan ekonomi kerakyatan bereaksi dengan mengirim wartawan mereka ke Mentawai. Jadi Sakuddei hanyalah bonus yang pasti takkan dilewatkan Norman, karena almarhum terkenal sebagai wartawan yang tak pernah puas dengan hasil pas-pasan. Selalu ada bonus. Kali ini gaharu berbonus Sakudei. Kami berangkat subuh dari Matotonan, saat ayam berkokok dan babi melenguh di kandangnya yang terbuka. Aroma sagu busuk memenuhi langit saat kaki kami yang tak pernah menginjak tanah kering--selalu basah kena lumpur, ampas sagu atau kotoran babi--melangkah tertatih ke pedalaman. Ini sungguh bukan jalan yang mudah, karena kami harus turun naik bukit berkali-kali dan merenangi sungai juga berkali-kali. Perjalanan tiga  hari dua malam alam itu juga penuh sensasi kenikmatan, saat Tommy yang dikenal sebagai pengamat burung, membuat indomie dan kopi dengan kompor parafinnya. Hmm lezatnya tak terkira. Kami juga jadi terbiasa menikmati air langsung dari akar sulur yang dipotong parang tajam--waduh saya lupa nama anak Matotonan yang jadi pemandu kami—karena air tanah tak ada yang layak minum. Hutannya ternyata cantik juga, dan sungai-sungainya memiliki banyak bagian yang tenang dan cukup jernih, yang memungkinkan kami mandi berenang. Bahkan sungai terakhir yang bermuara ke Sagulubbe’, yang mengalir agak deras dan berbatu-batu seperti di Rogdog dan kami arungi dengan rakit dari batang pisang, tak membuat takut (apalagi bagi Norman juga yang terkenal sebagai pengarungjeram andal, selain pendaki gunung dan hantu gua), Norman malah memilih berenang saja atau berlari di pinggir sungai saking ingin cepat sampai ke Sakuddei. Akhirnya, di ujung hari ketiga kami sampai juga. Itupun setelah rakitnya hancur terantuk sana-sini dan tubuh terasa panas dingin tak keruan. Dan saya terpesona. Sakudei memang beda. Mereka tampil sangar, tubuh mereka kekar, kokoh, tinggi besar,  padat berisi. Uma mereka besar penuh orang yang bergerak lincah, Tak ada yang tampak sakit atau terbungkuk-bungkuk. Rambut mereka benar panjang dan digulung dengan kain merah, yang kemudian kami ketahui dicat dengan getah kayu. Dan kabid mereka mantap menutupi selangkangan. Saya tak perlu ceritakan betapa ringannya gerakan mereka saat membawa busur panah dan parang. Belum lagi anjing mereka yang puluhan jumlahnya. Dan wanitanya, juga tampak segar dan ranum tapi tak gampang tersenyum. Bahkan pemandu kami dari Matotonan takut-takut mendekati mereka. Kami disambut baik oleh kepala suku, yang saya tak ingat lagi namanya, yang pasti nama belakangnya Sakuddei. Disuguhi aneka penganan dari sagu dan keladi yang kami balas dengan biskuit dan tembakau. Kami bercerita ngalor ngidul dan kepala suku kemudian memperlihatkan buku Reimar yang terkenal itu. Salah satu teman kami, Jhonri Roza, kini Kepala Dinas Pertambangan Solok Selatan sempat ditato di sini. Tapi kata mereka itu tato persahabatan, bukan tato serius. “Kalau tato serius teman kamu takkan tahan,” kata kepala suku cengengesan dalam bahasa Mentawai yang diterjemahkan pemandu. Hanya semalam kami di Sakuddei, karena jadwal Norman sangat ketat. Dia memberi kepala suku batu pemantik api dari Alaska dan kepala suku tersebut menukarnya dengan buku Reimar yang semula ditolak Norman karena buku itu tentang mereka, tapi kepala suku memaksa. Saat mau pulang Tommy juga memberikan sejumlah uang—sekitar Rp1 juta—untuk membayar keramahan mereka, sekaligus membayar foto-foto dan lainnya karena seperti disampaikan kepala suku pada pemandu kami, mereka biasa dibayar oleh teman-teman Reimar, dan mahal,"tapi karena kalian mahasiswa yang miskin—sialan dia—bayarlah seadanya saja. Rp1 juta cukuplah untuk kami semua,”  katanya. Kami kembali lewat Sagulubbe’ dan menginap di rumah guru SD bernama Rulek Sikaraja, yang pada pilkada Mentawai tahun 2006 maju sebagai calon Wakil Bupati Mentawai. Dari Saggulubbe kami singgah di Taileleu, sebelum akhirnya melesat menuju Muara Siberut. Saya bilang melesat karena speedboat-nya benar-benar kencang, hanya 2 jam kami sudah merapat lagi di dermaga kayu ibukota Kecamatan Siberut Selatan itu.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun