Mohon tunggu...
IMOSAC Jakarta
IMOSAC Jakarta Mohon Tunggu... -

Indonesia Movement Study & Analysis Center

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Boy Sadikin, Calon Wakil Gubernur Paling Ideal yang Harus Diusung PDIP

27 Agustus 2014   02:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:27 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perhelatan Pilpres 2014 telah usai, dan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, telah memenangkan pertarungan politik nasional paling dramatik di tahun 2014. Jokowi, demikian Joko Widodo disapa, yang diusung oleh PDIP sejak awal sebagai capres akhirnya mengakhiri penantian 10 tahun PDIP berada diluar kekuasaan nasional.

Pertarungan politik kemudian bergeser di tingkat local, tingkat propinsi, di DKI Jakarta. Dinamika politik menjadi kembali dihangatkan oleh adanya sebuah fakta bahwa kemenangan Jokowi sebagai presiden memberi dampak logis, yaitu naiknya Ahok, sang Wakil Gubernur, sebagai Gubernur DKI menggantikan Jokowi. Sampai sisitu, tidak menjadi istimewa memang. Keistimewaan hadir setelah pada akhirnya kursi Wagub menjadi kosong dan harus diisi. PDIP dan Gerindra pada akhirnya kembali harus berjumpa kembali sebagai sekutu politik, setelah dalam pilpres mereka berada dalam posisi head to head.

Polemik kemudian muncul. Apakah PDIP lalu secara otomatis berhak mengisi kekosongan itu dengan kadernya ataukah Gerindra punya hak pula untuk menentukan siapa wakil Ahok. Secara politis, maka apabila dukungan politik Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI 2012 adalah PDIP-Gerindra, maka apabila kemudian Ahok (kader Gerindra) naik mengisi posisi gubernur yang ditinggalkan Jokowi (PDIP), PDIP memiliki kekuatan politik penuh untuk menggantikan kadernya sebagai pengisi kekosongan posisi wagub tersebut. Gerindra tidak bisa menghambat hak tersebut, karena kesepakatan politiknya tetap, tidak akan berubah, dan secara faktual sudah memiliki kekuatan empirik yaitu terpilihnya Jokowi-Ahok sebagaibukti kesepakatan politiknya.

Pertanyaan lalu bergeser kepada siapakah kader PDIP yang layak mengisi posisi tersebut. Belakangan muncul banyak nama, dari mulai Boy Bernardi Sadikin (putera mantan gubernur DKI, Ali Sadikin), Bambang DH (wakil walikota Surabaya), Jarot Syaiful Hidayat (mantan walikota Blitar), sampai Rieke Diah Pitaloka (anggota DPR-RI). Siapa yang paling pantas sebenarnya?

Baiklah, kita bedah satu persatu figur mereka. Adalah Boy Sadikin, yang sejak Pilkada DKI yang akhirnya meloloskan pasangan Jokowi-Ahok, telah menorehkan tinta emas bagi PDIP. Betapa tidak, saat itu ia adalah Ketua Tim Pemenangan bagi pasangan itu, selain jabatan fungsionalnya di DPD PDIP DKI Jakarta. Di DKI, Boy juga bukan orang baru. Ayahnya adalah gubernur legendaris yang pernah ada di DKI dan sampai hari ini belum ada figur yang mampu menggantikannya. Dan Boy juga telah menjadi anggota DPRD DKI Jakarta, bahkan belakangan mengisi jabatan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta menggantikan Hendro Sayogo, sebelum akhir masa jabatannya. Saat ini, disaat Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden, Boy menduduki posisi puncak di DPD PDIP DKI Jakarta, dan berhasil memberikan kemenangan gemilang bagi partainya dalam pileg dan Jokowi dalam pilpres 2014.

Bambang DH, adalah mantan walikota Surabaya yang kemudian ‘turun’ derajat menjadi Wakil Walikota mendampingi Risma. Dalam pilkada Jawa Timur, bambang kalah oleh pasangan Sukarwo-Gus Ipul.

Jarot Syaiful Hidayat juga kemudian masuk dalam konfigurasi calon wagub DKI Jakarta. Jarot pernah menjabat Walikota Blitar, Jawa Timur. Selain itu, ia juga seorang pengurus fungsional di DPP PDIP serta pernah menjabat Plt. Ketua DPD PDIP DKI Jakarta, pasca pencopotan Hendro Sayogo dari kursi Ketua DPD. Selain itu, sulit kita mencari prestasi Jarot di DKI Jakarta.

Kemudian yang terakhir muncul adalah Rieke Diah Pitaloka. Anggota DPR-RI yang juga artis ini pernah mencoba peruntungannya dalam pilkada Jawa Barat tetapi kemudian kalah. Di DKI Jakarta, seperti kandidat lain selain Boy, sangat sulit kita menemukan prestasi politik yang bisa menjadi konsideran agar bisa dimajukan oleh PDIP mengisi kursi wagub.

Apabila kita melihat pemaparan tersebut maka sebenarnya tidak sulit bagi PDIP menentukan siapa sebenarnya yang paling pantas. Bukan hanya karena popularitas semata tetapi juga karena faktor “siapa yang paling berkeringat” dalam banyak peristiwa politik lokal, utamanya di DKI Jakarta. Dalam konteks inilah maka saya berpendapat, Boy sadikin adalah yang paling layak mendapatkan kursi tersebut. Boy, yang pernah diragukan orang banyak karena dianggap mendompleng nama besar ayahnya, berhasil membuktikan prestasi dan kualitasnya sendiri. Setidaknya, dia berhasil memimpin p[artainya di setiap tingkatan dia ditugaskan dan juga terbukti berhasil mengamankan keputusan partainya dalam pilkada, pemilu dan pilpres.

Tetapi, itu semua masih harus dipertemukan dengan kehendak Megawati Soekarnoputri, sang Ketua Umum DPP PDIP. Dalam semua keputusan politik strategis partai, keputusan politik Mega adalah sebuah kemutlakan. Bukan karena ia seorang diktator, tetapi juga karena hal tersebut dikuatkan dalam butir-butir keputusan kongres partainya, yang memberinya hak preogratif. Untul itu, “suasana kebathinan” Mega haruslah terus diamati agar siapapun yang akan diusung tidak bertabrakan dengan kehendak politik Megawati. Saya mengistilahkannya sebagai kader offside, yang bergerak sebelum aba-aba diberikan.

Kebiasaan politik tersebut adalah khas Megawati, dan akhirnya menjadi tradisi dalam PDIP. Bagi banyak kader PDI atau kemudian menjadi PDIP yang kritis, tentu saja kadangkala keputusan-keputusan yang berseberangan dengan kehendak arus bawah yang diambil Mega kemudian menjadi pemicu perbedaan pandangan politik. Tetapi, tetap saja PDIP memiliki pendukungnya sendiri, dan harus diakui adalah partai terkuat saat ini.

Kasus Tarmidi Soehardjo Dalam Pilkada DKI 2002

Peristiwa paling tragis bagi PDIP adalah peristiwa pilkada gubernur 2012, ketika sang Ketua DPD PDIP DKI Jakarta, Tarmidi Soeharjo, yang juga Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, mencalonkan dirinya sebagai calon gubernur DKI, yang saat itu pemilihannya masih dilakukan oleh anggota DPRD. Tarmidi, yang mengawali karier politiknya begitu baik, mulai sejak menjadi Komisaris Kecamatan (Komca) PDI, lalu Wakil Ketua DPC PDI Jakarta Timur, Ketua DPC PDI Jakarta Timur (kemudian lanjut menjadi Ketua DPC PDIP Jakarta Timur pasca perubahan nama partai Oktober 1998), hingga kemudian menjadi Ketua DPD PDIP DKI Jakarta. Tarmidi adalah loyalis Mega, ia adalah seorang yang secara berani dan terbuka menyatakan mendukung Megawati sebagai Ketua Umum PDI, dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo Surabaya 1993. Saat itu suasana KLB sangat mencekam karena intervensi pemerintah yang berupaya menggagalkan terpilihnya Mega sebagai ktua umum. Bersama, Sumario (Ketua DPC PDI Solo), Tarmidi berteriak lantang mendukung Mega.

Loyalitas Tarmidi juga kembali ditunjukkan saat 1996, PDI dipecah oleh pemerintah yang akhirnya mengakibatkan terjadinya Peristiwa Berdarah 27 Juli 1996. Dia tidak kepincut menyeberang ke kubu Soerjadi dan tetap bertahan bersama Mega. Bahkan, dibawah kepemimpinannya di Jakarta Timur, Tarmidi memiliki kekuatan inti loyalis Mega terbesar jumlahnya di DKI Jakarta, mungkin di Indonesia. Dan pasca reformasi, lewat Konferda 2001, Tarmidi akhirnya memimpin PDIP DKI Jakarta.

Saat di posisi itulah, bencana yang tidak diperhitungkan Tarmidi muncul. Ketika menjelang pilkada DKI Jakarta, Tarmidi yang memiliki kekuatan politik hampir sempurna, baik di DKI maupun di level elit PDIP, kemudian melangkahkan kakinya mencalonkan diri sebagai calon gubernur. Tidak main-main, kala itu Tarmidi menggelar Rakerdasus (Rapat Kerja Daerah Khusus) PDIP DKI Jakarta. Dari situ ia mengantongi dukungan politik bulat dan penuh dari semua DPC PDIP di 5 kotamadya di DKI Jakarta, untuk maju sebagai calon gubernur. Tetapi hal itu ternyata diluar hitungan Tarmidi, ternyata Mega “memberikan signal” berbeda soal siapa calongub yang akan didukung oleh PDIP. Sertamerta, seluruh DPC yang tadinya memberikan dukungan dalam Rakerdasus menarik dukungan tersebut. Mereka takut akan terkena sangsi organisatoris oleh partai, karena kemudian muncul tanda-tanda dukungan malah diberikan kepada Sutiyoso. Tarmidi akhirnya sendirian. Beberapa kali ia dibujuk oleh DPP PDIP untuk mundur, tetapi ia tidak bergeming. Bahkan Jacob Nuwawea, anggota Majelis Permusyawaratan Partai (MPP) PDIP yang juga Menakertrans kala itu menyambanginya untuk memintanya mundur. Tak pelak bahkan Megawati sendiri, yang saat itu adalah Presiden Republik Indonesia mengundangnya ke kediamannya untuk meminta Tarmidi mundur tapi ia melaju terus. Tak sulit diterka, Tarmidi akhirnya kalah, karena seluruh anggota fraksi PDIP di DPRD DKI tidak mendukungnya. Ia justru didukung beberapa partai kecil saja. Tarmidi kemudian dicopot dari posisi Ketua DPD DKI, dicopot dari keanggotaannya di DPRD DKI dan akhirnya keluar dari partai.

Peristiwa itu hendaknya harus dipahami dan dimengerti oleh para kandidat wagub DKI dari PDIP. Bahwa sebesar apapun jasa dan prestasi tidak akan mengurangi keberanian Mega untuk tidak memberikan dukungan politik, apabila dalam perspektif Mega, kader tersebut tidak cukup layak, apalagi masuk kategori offside.

Boy adalah harapan baru PDIP masa depan, ia muda, memiliki garis keturunan yang jelas, jasa ayahnya kepada Mega sangat besar, Boy terbukti loyal kepada Mega, memiliki prestasi politik yang tidak sembarangan, dan yang terpenting dia paham DKI Jakarta, karena pernah duduk sebagai anggota DPRD DKI. PDIP mungkin tidak menggadangnya sebagai calongub dalam pilkada DKI 2012 karena popularitasnya kalah jauh dari Jokowi. Tetapi hampir tidak ada alasan bagi PDIP untuk tidak mendukungnya mengisi posisi wagub DKI.Bambang DH, Jarot atau bahkan Rieke mungkin saja punya link lebih kuat di elit PDIP, tapi mereka tidak memiliki prestasi spesifik seperti Boy di DKI. Dari ketiganya tidak ada prestasi luar biasa yang bisa menjadi alasan masuk akal mereka “diboyong” ke DKI, seperti layaknya Jokowi yang diboyong dari Solo ke DKI.

Ditulis Oleh :

Irwan Suhanto

Peneliti Senior Sosial Politik di Lembaga Kajian Strategis Nasional

Mantan Pengurus PDI-PDIP 1994-2010

Saksi Sejarah KLB PDI Sukolilo, Surabaya 1993

Tinggal di Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun