Mohon tunggu...
IMOSAC Jakarta
IMOSAC Jakarta Mohon Tunggu... -

Indonesia Movement Study & Analysis Center

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Evaluasi Pemerintahan Jokowi-JK Sebagai Horizon yang Terbuka

29 Januari 2015   07:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintahan Jokowi-JK memasuki masa 100 hari kerja. Walaupun muncul pro-kontra tentang perlu atau tidak diadakannya evaluasi terhadap kinerja 100 hari pemerintahan, setidaknya publik tetap harus diberi hak untuk memberikan penilaian, baik objektif maupun subjektif, terhadap berjalannya pemerintahan Kabinet Kerja.

PDIP, melalui elit-elitnya, secara tegas mengatakan bahwa Jokowi tidak mengenal evaluasi 100 hari. Tetapi pernyataan itu tidak boleh serta merta menghilangkan keinginan untuk tetap memberikan penilaian dan evaluasi terhadap kinerja para menteri dalam pemerintahan ini.

Penulis mencatatbeberapa persoalan penting yang kemudian dapat dikoneksikan dengan prestasi dan bahkan kekurangan kabinet ini.

Pertama, adalah tentang tumpang tindihnya tupoksi Sekretaris Kabinet (Seskab) dengan tugas-tugas Staf Kepresidenan.Dalam wawancara penulis dengan salah satu media massa beberapa hari lalu, disitu secara gamblang penulis menyampaikan apa yang seharusnya menjadi tupoksi dari lembaga Staf Presiden. Lembaga Staf Presiden seharusnya, sejatinya diarahkan menjadi sebuah lembaga OPINI KONTRA OPINI. Sebuah laboratori, sebuah “dapur” bagi penggarapan opini serta kontra opini segala kebijakan dari Presiden dan menteri di kabinetnya. Fungsi ini adalah untuk menjaga presiden dan kabinetnya dari serangan politik opini lawan-lawan politiknya. Maka dari itu, ditunjuknya Luhut Binsar Panjaitan, yang memiliki latar belakang intelijen, sangatlah tepat, mengingat beban kerjanya yang cukup berat dan menuntut beberapa keterampilan yang ber-aroma intelijen. Sebagai penunjang kerja, maka Luhut harus dibantu oleh para deputy (yang jumlahnya diperhitungkan sesuai kebutuhan) dan barisan staf yang mumpuni dan memiliki keahlian opini kontra opini. Tapi yang wajib diingat adalah bahwa lebaga staf kepresidenan ini tidak perlu masuk kedalam tata kelola kinerja kabinet dan kementerian, karena domain tersebut adalah wilayah tanggung jawab Seskab. Dalam Seskab inilah tata kelola para menteri di monitor dan diarahkan sesuai dengan tujuan dan visi presiden sebagai kepala pemerintahan. Seorang Seskab, tidak perlu menciptakan opini karena itu bukan saja dapat memperlemah kabinet apabila opini yang dikeluarkan justru berbalik arah dan merugikan. Tetapi juga dapat merugikan citra presiden, apalagi apabila pernyataan seskab ternyata bertabrakan dengan pernyataan atau kebijakan menteri dalam kabinet. Andi Widjayanto, yang menduduki posisi tersebut seharusnya tidak perlu masuk kedalam pekerjaan-pekerjaan penggalangan opini. Karena dalam tata kelolanya, kinerja kabinet adalah opini itu sendiri. Andi, yang juga kerap bersikap elitis harus sedikit menundukkan kepalanya, karena sikap-sikap ini mempertebal resistensi para relawan Jokowi kepadanya. Seperti diketahui, relawan-relawan Jokowi diisi oleh banyak aktifis-aktifis yang cukup punya portofilo dalam kancah politik, sehingga sikap-sikap elitis, apalagi dilakukan oleh seseorang yang dianggap tidak memiliki “irisan politik” akan menciptakan bara penolakan.

Kedua, berkaitan dengan tugas-tugas Sekretaris Negara, maka Mensetneg adalah orang yang dapat berfungsi “mewakili” presiden, setidaknya dalam menyampaikan apa yang dianggap perlu untuk disampaikan kepada publik terkait kebijakan dan langkah presden selaku kepala negara (bukan kepala pemerintahan). Pembedaan antara presiden selaku kepala pemerintahan dan presiden selaku kepala negara inilah yang dapat menjadi acuan bagi pembagian wilayah kerja antara Sekretaris Negara dan Staf Presiden. Sedangkan untuk wilayah kabinet, dalam perspektif tata kelola kerja, menjadi wewenang Seskab.

Ketiga, perihal diperlukannya evaluasi dan bahkan apabila dianggap perlu, dilakukannya reshuffle kabinet terhadap menter-menteri yang dianggap tidak cakap dan justru kontra produktif terhadap visi presiden sebagai kepala pemerintahan. Penulis mencatat, setidaknya ada beberapa menteri yabg harus di evaluasi dan kemudian ‘diluruskan’ arah kerjanya.

Ignas Jonan, Menter Perhubungan, yang dalam perspektif publikasi dianggap cukup aktif tetapi secara substantif kualitatif masih sangat jauh dari harapan. Dibanyak kesempatan konsolidasinya dikalangan kementerian perhubungan, Ignas kerap kali keliru. Hal itu dikarenakan, Ignas belum cukup menguasai medan pertempuran di kementeriannya.

Hal sama, juga dialami oleh Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan. Dalam publikasi, Susi menempati popularitas teratas, tetapi hal itu hareus dibarengi dengan kekuatan konten kebijakan, tidak sekedar propaganda kosong. Kebijakannya menenggelamkan kapal pencuri ikan di Natuna, dari sisi publikasi sangat positif, tetapi Susi tidak dapat menutupi fakta bahwa “biang kerok” pencurian ikan bukanlah kapal-kapal sejenis kapal yang ia tenggelamkan. Ratusan kapal bermuatan 50 ton dengan peralatan canggih, yang dengan santai mencuri ikan di perairan Indonesia belum sama sekali tersentuh. Publikasi Susi memang baik, tetapi Susi harus diluruskan arahnya kepada fakta akan musuh sebenarnya, bukan “musuh buatan” yang diadakan untuk sekedar propaganda.

Menkopolhukam, Tedjo Edi, juga memdapat raport merah dalam 100 hari kerja. Penilaian penulis disandarkan kepada fakta berkaitan dengan banyaknya statemen Tedjo yang justru berbalik arah dan merugikan Jokowi. Apabila Tedjo memaksudkannya sebagai upaya kontra opini, maka itu bukanlah tugas seorang menkopolhukam, karena tugas itu harusnya sudah tuntas di level staf presiden, sehingga seorang menkopolhukam tak perlu bermain-main di arena remeh temeh. Hal yang sama juga dicatatkan kepada Mendiknas Anies Baswedan yang juga kemudian terlihat kebingungan dengan pernyataannya sendiri terkait penolakannya terhadap diberlakukannya Kurikulum 2013.

Reshuffle, dicatatkan oleh penulis kepada setidaknya beberapa menteri. Menteri ESDM Sudirman Said yang kini ramai dipergunjingkan media terlibat dalam persoalan Freeport, selain juga dianggap kering dari kebijakan yang berpihak kepada rakyat banyak, terutama terkait kemauan dan kemampuannya mengikis habis jaringan mafia migas, dianggap layak untuk diganti. Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi, Yudhi Krisnandi, juga dianggap layak diganti. Keputusan dari kebijakannya, bukan saja tidak substansial, tetapi juga menghadirkan situasi kontra produktif, terutama berkaitan dengan kebijakan melarang pegawai pemerintahan melakukan rapat di hotel. Kebijakan tersebut langsung saja ditentang oleh para pengusaha hotel dan serikat-serikat pekerja hotel. Yudhi juga dianggap tidak mampu membersihkan jaringan mafia PNS di lingkungan kementeriannya yang telah bertahun-tahun menjalankan praktik kejahatan dalam perekrutan pegawai negeri sipil.

Saleh Husein, Menteri Perindustrian, juga masuk kedalam menteri yang layak diganti. Sepanjang pemerintahan, Saleh bukan saja sepi dari publikasi tetapi juga tidak cukup dapat membantu Jokowi untuk memperkuat dukungan kalangan industri. Nama lain yang dianggap layak diganti adalah Puan Maharani yang hampir tidak terdengar melakukan kerja signifikan. Tjahyo Kumolo yang setidaknya dua kali salah mengambil kebijakan dan statemen (soal server e-ktp dan penandatanganan surat pemberhentian dengan hormat terhukum kasus korupsi bupati kabupaten Bogor, Rahmat Yasin).

Secaraterbuka, penulis mengapresiasi beberapa menteri dalam kinerjanya. Indroyono Susilo, Menteri Kordinator Bidang Maritim, yang dipandang lebih berhati-hati dan terukur dalam pengambilan kebijakan. Bidang maritim, yang memainkan isue sentral pemerintahan Jokowi, dijalankan Indroyono dengan sangat terukur. Walaupun demikian, Indroyono juga harus berkejaran dengan waktu mengingat agenda maritim sangatlah padat dan amat butuh percepatan-percepatan. Hal sama juga diberikan kepada Menpora Imam Nachrowi yang juga bergerak cepat dan tepat dalam beberapa kebijakan penting. Juga kepada Menaker Hanif Dakhiri yang cukup progresif, terakhir Hanif menghasilkan hal penting berkaitan dengan hukuman kepada penganiaya pembantu rumah tangga.

Penulis, seperti juga ratusan juta rakyat Indonesia mungkin saja keliru dalam menilai. Tetapi sebagai pejabat publik, para menteri dan pembantu presiden harus memberi ruang untuk mau dinilai. Penilaian, kritik-otokritik dan diskursus bahkan kecaman adalah cara yang paling efektif untuk memperbaiki konfigurasi kekuatan pemerintahan Jokowi. Tanpa itu, maka barisan kabinet ini akan tercebur kedalam jurang dalam yang akan dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya. Dan, perjalan waktu, lawan politik Jokowi bukanlah barisan yang dinamakan sebagai Koalisi Merah Putih, lawan politik terbesar Jokowi adalah mereka yang mendukung Jokowi tetapi lalu melakukan kekeliruan-kekeliruan yang berakibat fatal kepada kemaslahatan rakyat banyak. Jokowi harus disadarkan kepada fakta bahwa “kapal hanya akan tenggelam karena air didalamnya”. Jadi, yang sangat mungkin menenggelamkan Jokowi hanyalah mereka-mereka yang teramat dekat dengannya, bukan mereka yang mengkritisinya. Maka dari itu, evaluasi adalah sebuah keniscayaan bagi sebuah perbaikan, karena melakukan evaluasi kepada pemerintahan Jokowi adalah horizon yang terbuka. Sebab Jokowi kini adalah milik publik, milik masyarakat bangsa, bukan milik partai atau kelompok tertentu.

Irwan Suhanto

Penulis adalah Anggota Dewan Pendiri Lembaga Kajian Strategis Nasional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun