Mohon tunggu...
IMOSAC Jakarta
IMOSAC Jakarta Mohon Tunggu... -

Indonesia Movement Study & Analysis Center

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kongres Partai Amanat Nasional, Sebuah Pertaruhan Politik

26 Februari 2015   09:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:29 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Partai Amanat Nasional sebentar lagi akan menggelar kongres pada akhir Februari 2015. Sebagai sebuah peristiwa konsolidasi organisasi, mungkin kongres bukanlah sebuah hal yang biasa. Apalagi apabila dalam momentum tersebut kemunginan akan terjadinya suksesi kepemimpinan pusat partai dan menjadi bola liar yang bukan tidak mungkin akan menjadi realitas. Bagi Partai Amanat Nasional (PAN), seperti juga peristiwa kongres lima tahun lalu, kali ini pertarungan kandidat ketua umum juga menjadi isue sentral. Bukan hanya karena persoalan internal PAN, dimana bagi para kandidat dan pendukungnya, kemenangan bukan sekedar merebut kekuasaan partai tapi juga dapat menjaga kepentingan kelompok para pendukung. Dalam konteks eksternal, positioning PAN amat menentukan bagi konfigurasi kekuatan politik nasional, mengingat PAN adalah partai anggota Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengambil sikap, sementara, berada diluar pemerintahan.

Hatta Radjasa yang mengambil tongkat kepemimpinan partai sejak 2010, secara empirik telah berhasil mencatatkan tinta emas bagi perolehan suara partai yang dalam pemilu legisatif melonjak tajam, yang bagi para pendukungnya dinyatakan sebagai sebuah prestasi, mengingat Hatta tidak diuntungkan oleh momentum apapun, berbeda ceritanya dengan prestasi Amien Rais, sang pendiri partai, yang mampu melambungkan PAN dikarenakan momentum reformasi yang gegap gempita. Logika organisasi politik memanglah akhirnya menjadikan pemilu sebagai alat ukur, sebagai parameter. Sangat tidak lazim seorang ketua umum partai diganti setelah ia berhasil mendongkrak suara partainya secara signifikan. Tetapi secara faktual, tetap hadir juga keinginan sejumlah kader untuk mengganti Hatta di kongres mendatang, dan entah disetting atau tidak, suara itu semakin membulat ke satu nama, Zulkifli Hasan, yang saat ini menjabat sebagai Ketua MPR-RI. Kondisi ini semakin mengentalkan situasi yang oleh penulis didefinisikan sebagai “Situasi Realitas Paradoksial “. Dimana keanehan kemudian menjadi situasi yang sangat nyata. Berbanding terbalik, dengan PDIP yang bolak balik kalah (2004, 2009), tetapi sang ketua umumnya tetap didukung bulat untuk senantiasa memimpin partainya. Kalau boleh dikatakan bahwa kader PDIP tidak lagi mampu membedakan sebuah kegagalan dan keberhasilan, sejumlah kader PAN hari ini juga mengalami “sindrom PDIP” tersebut. Mereka sedang bersekutu menghabisi sang ketum yang telah berhasil meningkatkan suara partainya dalam pemilu 2014 lalu. Mereka juga tidak mampu membedakan keberhasilan dan kegagalan. Secara bergurau dapat dikatakan, bahwa mempropagandakan keberhasilan Hatta justru dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan, dikarenakan sejumlah kader partai tersebut sedang berhadapan dengan utopia, sebuah angan-angan tentang munculnya pemimpin baru. Dalam politik tentu hal itu biasa saja, tetapi dalam etika organisasi tampaknya kader-kader PAN yang sedang menggebu mengganti Hatta sebagai kelompok kader yang sedang ditipu oleh halusinasi angan-angannya sendiri, tetapi untuk itu mereka rela mengorbankan sebuah keberhasilan empirik sebagai langkah penolakan mutlak terhadap Hatta. Hatta dihadapkan berlawanan dengan mimpi-mimpi kadernya yang melupakan dirinya dan sedang di mabuk kepayang oleh janji-janji manis kandidat lain yang menaburi mereka dengan harapan-harapan, yang sangat mungkin, justru tidak akan mampu menandingi prestasi Hatta. Lalu ada apa dengan para kader PAN tersebut?

Pertanyaan ini menjadi menarik, mengingat kedua kekuatan, baik Hatta maupun Zul, pada akhirnya  disadari atau tidak menarik PAN kedalam pertentangan antara prestasi dan janji, fragmentasi tebal antara kaum muda yang berpikiran maju dengan kaum tua yang telah kenyang memperoleh manfaat dari PAN dan sangat berpkiran konservatif, yang oleh penulis dikategorikan sebagai kelompok statusquo. Zulkifli yang jauh-jauh hari menjadikan Amien Rais sebagai propagandisnya, yang lalu kemudian juga dibantu secara terbuka oleh Sutrisno Bachir dan AM Fatwa, semakin meyakinkan publik bahwa Zul adalah boneka kepentingan para “pak tua”. Amien yang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah jauh hari secara gencar terus mengumpulkan dukungan bagi Zul, yang tak lain adalah besannya sendiri, di semua kantung suara PAN yang berbasis kepada massa Muhammadiyah. Bachir, yang lama menghilang setelah dilucuti dari kursi ketum PAN 2010, juga pada akhirnya secara aneh dan tak biasa, muncul mendukung Zul. Belakangan AM Fatwa pun pada akhirnya mendukung pencalonan Zul, semakin memperkuat dugaan bahwa sesungguhnya Hatta sedang menggenggam bola panas yang sangat mungkin melukai tangannya sendiri. Karena, ia ‘diperkosa’ oleh situasi yang cepat atau lambat akan memaksa ia bersikap, patuh kepada para sepuh dengan menerima tawaran yang berarti menyerahkan kursi ketua umum kepada Zul atau justru melawan para tetua dengan pertaruhan akan dibuang selamanya apabila ia kalah. Hatta yang meraup keuntungan suara signifikan dari manuvernya yang sangat berani merekrut kader-kader muda pada akhirnya, suka atau tidak suka, berhadap-hadapan dengan sahabatnya sendiri, Zulkifli Hasan, yang walaupun masih berusia muda tetapi secara kasat mata telanjang merupakan representasi para tokoh tua PAN.

Pertanyaannya, kenapa Hatta harus diganti? Apa alasan para tokoh tua justru memihak Zulkifli ? Pertanyaan-pertanyaan ini sepertinya tidak akan bisa dijawab dengan tuntas, masuk akal dan beradab. Mengingat, harus digantinya Hatta dan digantikan oleh Zul adalah karena perkara kepentingan politik jangka pendek. Diametral dengan sikap kader PAN lima tahun lalu, karena Sutrisno Bachir tidak mampu memberikan suara signifikan bagi PAN di pemilu 2009. Lalu sejauh mana Hatta mampu mempertahankan kekuatan politiknya dan membangunkan kader-kadernya yang sedang mabuk kepayang oleh mimpi dan harapan yang ditiupkan Zulkifli?

Kalau saja, Zulkifli berhadapan sendirian melawan Hatta, tanpa para “orang tua”, maka sangat diyakini ia akan tersungkur diawal-awal perlawanannya. Zul melambung karena dibelakangnya para senior ahli strategi yang lumayan memahami anatomi partai telah menciptakan skema ruang-ruang memuluskan jalannya. Termasuk juga menggunakan “muhammadiyah” kembali sebagai dagangan politik. Hatta menghadapi sebuah perlawanan dan penghianatan sekaligus. Dan dengan kekuatan para kader pembaharu, ia memutuskan melawan.

Yang menarik lainnya adalah bahwa kultur Muhammadiyah yang santun dan menghindari konflik, diyakini akan dipergunakan sebagai alat ‘melemahkan’ Hatta. Untuk hal ini, jelas “para tua senior” lah yang mengatur kondisi itu, dan akan mengupayakan agar Hatta terjebak masuk kedalamnya sehingga tidak memiliki pilihan lain. Apabila kita perhatikan waktu demi waktu perjalanan pencalonan Zul, maka sesungguhnya rangkaiannya sangat menempel satu dengan lainnya. Dan puncaknya adalah terpilihnya Zul sebagai ketua umum, dan itu jelas hanya dapat diskenariokan oleh orang-orang yang paham anatomi partai, memahami irisan politik partai dan juga memilliki pengaruh yang terbilang besar kepada massa partai. Untuk pekerjaan-pekerjaan itu, maka tak perlu menunggu lama kita akan dapat mengidentifikasi siapakah inisiatornya. Zul dianggap tidak terlalu kuat di basis, tidak terlalu mengkilap karier politiknya dan tidak cukup memiliki koneksi dan kemampuan komunikasi politik keluar partai seperti Hatta. Jadi sangat sulit diterima akal, pencalonan Zul mampu “memanipulasi kesadaran” massa partai sampai-sampai tidak menganggap sama sekali peran dan prestasi Hatta. Perlu ada kekuatan dan keahlian politik besar untuk melakukannya.


Bagi parpol-parpol lain diluar PAN, baik yang berada di KMP ataupun KIH, dan bahkan bagi pemerintahan Jokowi, siapakah yang akhirnya memimpin PAN amatlah penting, bukan untuk sekedar diamati tapi juga diikhtiarkan agar kiranya sang ketum terpilih dapat memperkuat kepentingan politik kolektif. Sangat sulit bagi KMP misalnya, menerima PAN tanpa Hatta. Bukan hanya karena Hatta adalah simbol KMP bersama Prabowo, tetapi juga berkenaan dengan stabilitas dari soliditas politik KMP dalam pergaulan politik kekuasaan nasional. Sedangkan bagi KIH, sesungguhnya menerima PAN tanpa Hatta pastilah tidak menguntungkan, apalagi pasca bertemunya presiden Jokowi dengan Prabowo Subianto. Jadi sangat terlihat bahwa tidak ada signifikansi mendasar apabila ada argumen apabila Hatta yang menang maka PAN akan tetap “beroposisi” terhadap istana dan apabila Zul yang menang lalu serta merta PAN akan bedol desa ke KIH, tidak akan sesederhana itu. Mencairnya hubungan Jokowi-Prabowo telah meruntuhkan kapling-kapling itu. Hatta sangat mungkin lebih mampu bersikap ramah kepada kekuasaan sambil tetap mempersolid KMP, ketimbang  Zul yang kalaupun mampu tetapi tidak secara bersamaan dapat tetap memperkuat posisi politik PAN didalam tubuh KMP itu sendiri. Di era pasca mencairnya hubungan Jokowi dan Prabowo, maka sesungguhnya hampir tidak ada hal yang tidak mampu disinergikan oleh parpol-parpol dengan pemerintahan, sekalipun berbeda koalisi. Semuanya akan sangat mungkin serba sesuai kebutuhan. Dalam kondisi ini maka kepemimpinan yang kuat didalam dan disegani diluar akan punya pengaruh besar. Walaupun ada argumentasi bahwa politik itu dapat mencair kapan saja, tetapi apabila kepemimpinan yang dihasilkan keliru maka parpol tersebut akan harus mengeluarkan energi ekstra, sesuatu yang mubazir. Hatta, harus dapat dikatakan layak tetap memimpin bukan hanya karena telah memberikan prestasi bagi PAN dalam pemilu 2014 lalu, tetapi juga memiliki pengaruh besar dalam pergaulan politik antar parpol di KMP, maupun dalam konteks kontribusinya kepada posisi politik KMP kepada pemerintah yang mulai mengalami pergeseran kearah yang lebih bersahabat. Zulkifli mungkin saja berkata mampu, tetapi harus dikatakan, bahwa itu masih sebatas kampanye. Zul belum memiliki bukti empirik tentang apa-apa yang dipunyai Hatta diatas. PAN akan menghadapi pertaruhan besar beberapa hari kedepan. Dan hanya karena kesalahan kader partai sedepa saja di kongres nanti, maka PAN akan tenggelam dalam lautan ketidakpastian posisi politik, tidak hanya di KMP tetapi juga dalam konfigurasi politik nasional. Dan semuanya akan menjadi tanggungan bersama.

Oleh : IRWAN SUHANTO

Penulis adalah Anggota Dewan Pendiri LEMBAGA KAJIAN STRATEGIS NASIONAL

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun