Dia beringsut untuk mendekatiku. Aku bisa melihat mata coklatnya. Mata yang dulu membuatku jatuh cinta.
"Jadi, itu kepunyaan suamimu?"
"Ya" jawabku.
"Bukankah kau tak pernah menyukai anjing?"
"Tepat sekali. Aku benci anjing. Tetapi aku juga tidak bisa apa apa. Anjing itu dipelihara suamiku jauh sebelum kami menikah"
Lelaki ini kembali menghadapi cangkir kopinya. Meneguknya berlahan hingga aku dapat mendengar aliran air di tenggorokannya.
"Anjing itu diberi nama Ismail. Rasanya itu sangat menyebalkan di telingaku. Bayangkan, setiap suamiku memanggilnya, aku selalu terbayang wajah polos Nabi Ismail. Bagaimana mungkin nama sebagus itu diberikan untuk menamai seekor anjing?"Â
Laki laki ini terbahak. Terbatuk batuk sebentar lalu mematikan rokoknya yang sudah memendek.Â
"Kenapa tidak kau protes? Dia tidak tahu jika kau tak suka anjing?" tanyanya.
"Sudah, berulang kali. Tetapi aku takut dia akan menceraikanku dan memilih anjing itu. Aku juga sudah mengusulkan untuk mengganti namanya. Tapi anjing itu sudah sedari kecil diberi nama Ismail. Pusing aku lama lama"Â
"Haha, aku ingat waktu kita masih pacaran dulu. Kita baru akan berangkat ke suatu tempat, tetapi malah nyasar. Naik motor butut dikejar kejar anjing. Kamu ketakutan. Wajahmu lucu"Â