"Hey, iya. Apa kabar?" tanyaku ragu ragu. Dia menawarkan peluk. Sebuah hadiah yang seharusnya sudah diberikan dua tiga bulan yang lalu. Aku membawakan tasnya ke dalam. Kupersilahkan lelaki itu duduk.
"Coffee? Tea? Mau jus?" tanyaku sebelum menghilang ke arah dapur.Â
 "Kalo ada Americano ya" godanya.Â
Kami bertemu kembali setelah sekian lama tidak saling memberi kabar. Aku sudah mencoba untuk menjaga jarak sebaik mungkin. Jakarta-Makasar, cukup jauh untuk ukuran kami yang memang jarang sekali bertemu.
"Gimana tadi perjalanannya?"
Dia menyeruput kopi lalu menerawang ke arah luar. Udara sedang panas panasnya. Dua puluh sembilan derajat, dan dia meminta untuk tetap menyesap kopi. Keanehan orang ini sudah tak tertolong.
"Lancar, semuanya sesuai rencana. Hanya saja tadi terkendala hal kecil di pagar rumahmu" jawabnya dengan mata sedikit memicing. Aku tertawa, menutup pintu kemudian kembali duduk di sebelahnya.
"Iya, itu anjing suamiku. Terlihat galak tapi sebenarnya sangat lembek. Coba saja kau mendekat dan menyentuh lehernya, luluh cepat dia"
Lelaki ini menyalakan rokoknya. Bersikap seolah di antara kami tidak ada apa apa. Penampilannya masih seperti dulu. Berkemeja rapi, bersepatu pantofel mengkilat, bahkan parfum ia kenakan juga masih sama.
"Untung tadi tidak menggigitku" keluhnya sesaat sebelum menghisap cerutunya dalam dalam.
"Tidak akan" kataku memberi janji.