Bathara Ulam Dermi dan Bathara Ulam Derma kembali bersatu dalam raga kami. Kami sungguh tak bisa menolak.
-
"Kamu memang perempuan tak tahu diuntung" Sang Prabu memalingkan wajahnya, seolah tak sudi melihat mataku yang telah berderai air mata. Meski sudah lama aku berdiam di kakinya, ia tetap tak bergeming. Kemarahannya memuncak, wajahnya merah padam. Mungkin aku bisa saja dibunuhnya dalam satu kali tebas.
"Aku hanya tidak pernah menyangka jika ini alasanmu meninggalkanku, membuang cinta, bahka mengkhianati sebuah pernikahan suci, kau memang benar benar perempuan tak tahu malu"
Aku menangis dalam sujud di kakinya. Sang Prabu tak mengizinkanku berdiri. Sementara Radyan Samba pun tak bisa berbuat apa apa selain menyesali perbuatannya. Kami sudah tertangkap. Kami tak bisa menghindar dari hukuman.
 "Seharusnya kalian sudah kuhabisi. Tapi ada baiknya aku meminta nasihat. Jangan berharap kalian bisa lolos dari siksaan. Bedebah tetap saja bedebah! Pengkhianat tetap saja pengkhianat!"
Sang Prabu keluar dari ruangan. Menyisakan aku dan Radyan Samba yang masing masing dipegang erat oleh prajurit. Perbuatan kami telah diketahui banyak pihak. Seluruh negeri sudah tahu desas desus perselingkuhan kami.
Dalam hati aku memang tak bisa berontak, aku hanya mencintai Radyan Samba. Tidak yang lain, bahkan jika aku harus mati.
"Bagaimana jika kita dipisahkan?" tanyaku lirih. Aku tak yakin Radyan Samba akan mendengarnya. Namun begitu isyarat matanya berkata bahwa semua akan baik baik saja.
Kami dipisahkan dalam dua sel tahanan yang berbeda, namun berhadapan.
Tiba tiba serombongan prajurit datang. Membuka pintu sel kami berdua kemudian menyuruh kami keluar. Kami digelandang di aula istana. Di sana berdiri suamiku, Sang Prabu. Menanti kami dengan tangan yang disilangkan di atas perut. Kami berlutut di hadapannya.