Aku tidak boleh membenarkan perasaan ini.
Memijit-mijit tumitku yang sedikit sakit oleh siksaan sepatu, aku berusaha untuk tetap berpusat pada sepasang mata yang akan mengawasiku sepanjang hidup. Sepasang sorot tajam itu milik Prabu Boma Nara Sara, calon suamiku.
Namun ada geliat lain yang memikat. Seorang lelaki bertubuh jangkung, berkulit putih yang sedari tadi terlihat gelisah di belakang Sang Prabu. Ketika mata kami bertemu, aku merasa dia menularkan energi yang tidak dapat kucegak. Masuk ke dalam sukma. Menembus dan merasuk dalam jutaan sel, mengikuti aliran darah. Membuatku untuk sekian detik kehilangan nalar bahwa sebentar lagi aku akan dipersunting oleh kakaknya. Lelaki itu menunduk setelah mata kami bertatapan cukup lama, mengisyaratkan untuk beristirahat sebelum aku dan dia terlalu jauh bertemu dalam ruang imajinasi yang memabukkan.
Besok adalah hari dimana aku dan Sang Prabu menjadi raja dan ratu sehari. Berbagai prosesi dijelaskan oleh seseorang yang kini sedang ada dihadapan kami. Jemariku digenggam erat oleh Sang Prabu. Matanya sesekali mengerling dan bibirnya yang terpahat di bawah kumis ditarik untuk tersenyum. Namun aku sungguh tak dapat menolak bayangan di belakangnya, lelaki yang sedari tadi menunduk menghindari tatapanku.
Hingga Sang Prabu berpamitan dan mengecup punggung tanganku aku tak dapat sekalipun menemukan lagi mata lelaki itu. Dia terus mengalihkan pandangan dan kemudian lenyap ke dalam kereta yang membawanya pergi ke Parang Garuda.
"Aku pergi dulu ya Calon istriku, jaga diri baik baik" kata Sang Prabu sebelum ia melangkah menuju kendaraannya. Aku mengangguk, juga tak menolak saat ia kecup dahiku.
Pikiranku penuh oleh lelaki yang mengawasiku dari balik kereta, Radyan Samba.
-
Aku benar benar kehilangan keinginan seonggok daging yang kini siap melumatku di atas ranjang. Pikiranku mengembara pada Radyan Samba. Tidak ada setitik pun niatku untuk kemudian bercinta dengan Sang Prabu yang kini menjadi suamiku.
"Dik" panggilnya dengan napas yang memburu. Menyentuh leherku dengan bibirnya lalu menjalarkan tangannya pada tubuhku. Untuk sesaat aku mencoba untuk tahan namun kemudian aku berusaha sekuat tenaga untuk mendorongnya.
Sang Prabu kaget. Masih dengan keberaniannya sebagai seorang suami untuk berusaha membujukku lewat rayuan dan kata kata manis. Tangannya terus mencoba untuk meraihku. Namun aku sudah tidak dapat menguasai akalku sendiri, yang terbayang hanyalah Radyan Samba.