Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak Tenang

21 Mei 2018   15:21 Diperbarui: 21 Mei 2018   15:33 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orang tergidik, tahu betul kelakuan Lik Agus yang berani. Mantan preman pasar, tatonya dimana mana. Kehilangan anak dan istrinya telah mencoreng kehormatannya.

Orang orang berulang kali mendatangi kediaman Pak Darto. Menuntut keadilan. Kematian tidak seharusnya mengincar mereka. Keputusan sepenuhnya berada di tangan kepala desa. Tidak menerima pemasukan dari para pemancing juga bukan masalah besar, ladang mereka lebih dari cukup untuk menghidupi. Pun, tanpa resiko kematian yang mengejar ngejar.

Begitu pula ketika sebuah mobil Swift muncul di halaman Pak Darto, berbondong bondong orang datang merangsek. Berjejalan di pintu pagar, curiga apabila terjadi kongkalikong. Toh, tak ada yang tahu hati dan pikiran seseorang. Pak Darto bisa saja berkhianat, mengorbankan warganya demi pemasukan dana desa yang berulang kali seret karena masalah internal.

            "Pulang pulang, calon mantu ternyata" orang orang kembali kerumah dengan kecewa. Dikira konglomerat pasang tumbal, ternyata calon mantu yang bertandang.

            "Kalo sampai kutemukan lagi sesajen di pinggir waduk, dengan atau tanpa pancing di dalam mobilnya. Kugorok leher orang itu"

Desa mencekam oleh kasak kusuk. Kedai semakin ramai, sumpah serapah dimana mana. Istri istri ditinggalkan suaminya untuk membersihkan waduk dari orang asing. Jalan desa diperketat penjagaannya. Sementara purnama semakin dekat.

Orang orang semakin mengenang almarhumah Nilam, juga bayangan wanita muda yang sering muncul di pinggiran waduk. Membangkitkan bulu kuduk. Anak anak tak diizinkan keluar malam selepas magrib, semua dipingit kecuali para suami.

Kopi terus dikeruk, kantung terus digali. Mata mata sayu menghias setiap bilik. Tak ada gabah yang harus dijemur, ditinggalkan di seberang waduk. Roboh dan mati satu persatu, ditikam teror yang horor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun