Mohon tunggu...
Harun Imohan
Harun Imohan Mohon Tunggu... Psikolog - Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Sebagai sarjana muda, saya hanya bisa menulis untuk sementara waktu karena belum ada pekerjaan tetap.

Aku ber-Majelis maka aku ada

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Siapakah yang Benar? Ini atau Itu? Dia atau Mereka?

15 Maret 2019   13:32 Diperbarui: 15 Maret 2019   14:04 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://nutreaunnino.com

Kebenaran dalam kamus besar bahasa Indonesia tidak memiliki makna yang konsisten. Ada makna kebenaran berupa abstrak; tak berwujud, ada juga yang mengatakan bahwa kebenaran itu berimbang. Padahal banyak sekali orang-orang di luar sana berebut soal kebenaran tanpa ia tahu apa sejatinya kebenaran itu.Kebenaran bisa terjadi saat objek dan pengetahuan memiliki kesesuaian.

Pembandingnya adalah kebenaran merupakan lawan dari kekeliruan yang merupakan objek dan pengetahuan tidak sesuai. Jika pengetahuan mampu menangkap objek secara otentik dan valid, maka kebenaran akan terjadi. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan objek.

Namun, objek memiliki banyak sekali aspek di dalamnya. Maka dari itu, sangat sulit menemukan pengetahuan yang jitu meninjau objek secara menyeluruh. Faktnya, kebanyakan pengetahuan yang dimiliki manusia terhadap objek, hanya mendekati kebenaran yang terdapat pada objek itu sendiri. Jadi, sangat mustahil jika ingin menemukan kebenaran absolut mengenai pengetahuan terhadap objek.

Hal ini ditandai dengan banyaknya perbedaan pendapat dan pandangan manusia, bahkan para ahli, atau ahlinya ahli sekalipun terhadap suatu benda. Jika seseorang meninjau objek dari selatan, maka ia akan menemukan pengetahuan yang benar akan objek tersebut sesuai tampak sisi selatan. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang meninjau objek dari utara, maka ia akan menemukan pengetahuan yang benar akan objek tersebut dari sisi utara.

Contoh sederhana yang seringkali kita temui adalah pengetahuan akan salju. Bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat negara lain yang tidak memiliki musim salju akan berbeda pengetahuannya terhadap salju dengan masyarakat di dalam negara yang memiliki musim salju.

Kerapkali pergesekan yang mengancam hubungan harmonis manusia disebabkan oleh klaim kebenaran tunggal. Padahal kita tahu runtutan menemukan kebenaran tidaklah sederhana. Ia didasari oleh pengetahuan yang dimana pengetahuan itu berdasarkan dari objek di luar diri manusia (seperti rentetan penjelasan di paragraf kedua dan ketiga).

Pertikaian yang dipercikan oleh manusia-manusia yang memiliki keyakinan akan kebenaran yang ia peroleh adalah kebenaran yang paling benar sejatinya adalah kesalahan berpikir yang fatal. Ia hanya akan menghabiskan energi dan usianya jika ia mempertahankan kebenaran yang ia miliki sebagai kebenaran yang mutlak. Sekali lagi, kebenaran itu relatif.

Pertikaian akan masalah kebenaran bukan hanya kali ini terjadi. Di era bangkitnya pengetahuan (renasains), banyak sekali pemikir yang sedang mengupayakan kebenaran yang ia miliki sampai kepada penerimaan masyarakat. Sebagai contoh, Kant dengan Teori Rasionalnya. Menurut kant, seluruh wiliayah pengetahuan konseptual manusia dan sains termasuk dua bentuk ruang dan waktu serta dua belas kategori yang membuat Kant terkenal karenanya- adalah bersifat bawaan sejak lahir (Baqir Shadr, 2013).

Menurut teori ini, indra adalah sumber untuk memahami konsepsi dan ide-ide sederhana. Namun, indra bukanlah satu-satunya sumber, melainkan juga ada sifat bawaan sejak lahir yang berguna memahami konsepsi dan ide-ide.

Teori Kant sudah barang tentu menerima penolakan dari para penganut paham empiris karena mereka menolak konsepsi metafisika dalam diri manusia. Menurut para penganut empirisme, sepenuhnya pengetahuan didapatkan dari indera sebagai alat untuk mencerna informasi dan menumpuk data dan untuk kemudian dipanggil kembali tumpukan data itu guna membantu dalam proses berpikir. Para penganut paham empirisme salah satunya adalah David Hume, John Locke (pemilik konsep tabula rasa) dan Karl Marx.

Bukan hanya pertikaian antara para pemikir Rasionalis dan Empiris, menyoal menggali kebenaran, Ibnu Rusyid dan Imam Ghazali juga pernah bertolak pendapat terhadap filsafat. Imam Ghazali menulis buku dengan judul "Kerancuan Para Filsuf" yang kemudian langsung mendapat respon oleh Ibnu Rusyd yang juga menulis buku sebagai reaksi dari pandangan Imam Ghazali. Buku Ibnu Rusyd ditulis dengan judul "Kerancuan Buku Kerancuan". Menurut pandangan orang awam, para pemikir Islam ini tidak mengalami percekcokan apapun, hanya berbeda pendapat biasa. Namun jika kita kaji lebih dalam, Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sedang bertikai dalam koridor akademik. Semua itu demi penggalian kebenaran.

Maka jika ada pertanyaan yang sampai pada wajah anda tentang siapakah yang benar? Ini atau itu? Jawablah dengan sederhana bahwa yang tidak benar adalah yang mennganggap keyakinannya mengandung kebenaran absolut dan menyalahkan kebenaran yang lainnya. Bukankah menghargai pendapat merupakan bentuk kewajiban kita sebagai manusia dalam menjaga keharmonisan? Alangkah baiknya menjaga stabilitas perbedaan pendapat dengan tidak membiarkannya merambat dan berubah menjadi perbedaan "manusia".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun