Mohon tunggu...
Deni imo
Deni imo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mitos "Kudeta" Pergantian Panglima TNI

11 Desember 2017   13:58 Diperbarui: 11 Desember 2017   14:02 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki bulan Desember 2017 kita telah disuguhkan berita pergantian Panglima TNI. Jenderal TNI Gatot Nurmantyo resmi diberhentikan secara hormat dari jabatannya sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia pada Jumat (8/12). Sementara itu purnatugasnya selesai  pada bulan Maret 2018. Namun Presiden Jokowi pada Senin (4/12), mengeluarkan surat percepatan purnatugas Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. Dalam surat itu presiden pun menyebut Gatot diberhentikan dengan hormat.

Dengan keadaan seperti ini masyarakat tentu bertanya-tanya, ada apa? Karena dalam sejarah pergantian Panglima TNI, baru kali ini seorang Panglima TNI diberhentikan dengan hormat padahal masa pensiunnya masih tersisa sekitar tiga bulan lagi. Kita tahu TNI tidak pernah melakukan tindakan kudeta yang bertabrakan dengan UU. Isu tersebut hanya dugaan yang tidak memiliki fakta dan data yang akurat. Apalagi saat ini TNI menempati posisi teratas dalam berbagai lembaga survei sebagai institusi terbaik. Dan, tidak mungkin TNI melakukan kudeta.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal Hadi Tjahjanto ditunjuk presiden sebagai pengganti Panglima TNI. Jokowi beralasan penunjukkan Hadi Tjahjanto karena dianggap mampu membawa perubahan di tubuh TNI. Namun banyak yang mempertanyakan langkah presiden mempercepat purnatugas Jenderal Gatot. Asumsi yang berkembang merupakan strategi politik Jokowi, khususnya jelang tahun politik 2018 dan 2019.

Asumsi ini bukanlah suatu kesalahan. Karena fakta sejarah, relasi politik pemerintahan dan Panglima TNI memang sering terjadi. Dalam sejarahnya selama 72 tahun merdeka, Indonesia telah memiliki 19 Panglima TNI dan dua Gabungan Kepala Staf. Sejak Indonesia merdeka pula jabatan Panglima TNI sebagai komandan militer tak lepas dari singgungan kepentingan politik kepala negara.

Sebagai contoh, perbedaan pandangan politik pernah terjadi antara Soekarno dan Soedirman saat revolusi dan perang gerilya. Ketika pemerintah diberi pilihan menyerah pada Sekutu. Jendral Besar Soedirman memilih tetap bertempur cara gerilya melawan agresi militer ke dua pada 19 Desember 1948 di Yogyakarta.

Namun sikap berbeda Soedirman ini tetap ia tunjukkan dengan etika kepada panglima tertinggi, Presiden Soekarno saat itu. Soedirman tak lantas bermanuver politik mengambil pemerintahan, sesaat sebelum Soekarno ditahan Belanda. Soedirman memilih berpamitan sambil memeluk Soekarno di Gedung Agung Yogyakarta.

Tuduhan soal keinginan mengkudeta bukan tidak pernah dialamatkan ke Soedirman. Dalam buku 'Kesaksian Bung Karno 1945-1947', disebutkan adanya tuduhan Soedirman akan mengkudeta Soekarno. Ini berdasarkan surat yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan saat itu Amir Sjarifoeddin  yang memerintahkan pemeriksaan kepada Soedirman. Namun semua itu tidak terbukti, karena tak pernah terbersit akan dilakukan seorang Soedirman.

Bahkan ketika perjanjian Roem-Royen pada 14 April 1949, Soedirman memiliki sikap tidak sepakat dengan pemerintah. Namun Soedirman menunjukkan perbedaan sikap ini bukan berarti mengkudeta atau merebut pemerintahan yang sah. Soedirman justru memilih mengundurkan diri dari jabatan Panglima TNI atau TKR saat itu. Walaupun tidak pernah dia jalankan demi menjaga kestabilan negara.

Sikap Soedirman tetap menghormati keputusan pemerintah menjadi contoh terbaik dalam menjaga relasi antara militer dan politik pemerintahan. Dimana hubungan militer dan politik dalam perjalanan sejarah kemudian, seringkali saling mengintervensi.

Oleh karenanya tidak mungkin TNI melakukan kudeta kepada pemerintah yang sah itu sama saja dengan tindakan bunuh diri. Apalagi zaman sekarang pengangkatan Prisiden dilakukan dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Berbagai survei menempatkan TNI pada peringkat tertinggi di tanah air saat ini. Politik TNI adalah politik negara yang harus sejalan dengan kebijakan pemerintah yang sah. TNI tidak boleh ikut berpolitik praktis tapi tidak boleh buta politik. Dugaan adanya kudeta dalam pergantian Panglima TNI hanyalah persepsi yang tidak memiliki data dan fakta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun