Masalah pembelian senjata dan munisi dari Bulgaria beberapa waktu yang lalu masih menjadi perdebatan yang hangat saat ini. Polemik pengadaan senjata di luar TNI menjadi ramai setelah pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo di hadapan purnawirawan militer yang mengungkap ada instansi memesan 5.000 pucuk senjata.
Belum lama mereda sampai disitu, kemudian publik kembali diramaikan polemik senjata setelah beredar kabar ada ratusan senjata dan amunisi untuk Korps Brimob Polri yang tertahan di bandara Soekarno Hatta. Sebanyak 280 Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) kaliber 40x46mm dan amunisi jenis RLV-HEFJ sebanyak 5.932 butir itu kemudian dikonfirmasi Polri pada Sabtu (30/9) lalu.
Kemudian seiring perjalanan waktu, pada Jumat lalu (6/10-17), Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menyebut, amunisi yang menuai polemik itu bukan amunisi tajam melainkan tabur. "Yang disebut tajam tadi, tajam hanya untuk mengejutkan dengan butiran kecil-kecil. Tidak untuk mematikan, tapi untuk melumpuhkan," beber Setyo pada waktu itu.
Berseleng beberapa kemudian Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto melakukan jumpa pers di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Selasa (10/10/2017) lalu terkait masalah peluru. Kapuspen menjelaskan bahwa 5.932 peluru yang saat ini disimpan di Mabes TNI itu, punya kekuatan dahsyat, mematikan dan lebih canggih. Bahkan, TNI pun tak punya peluru sehebat dan sekeren itu.
Lebih lanjut Kapuspen menegaskan bahwa berdasarkan katalog yang disertakan, amunisi yang dibeli sepaket dengan 280 senjata pelontar granat (stand-alone granede launcher/SAGL) itu, tajam dan mematikan. Amunisi ini memiliki radius mematikan 9 meter dan jarak tembak mencapai 400 meter.
Wuryanto juga membeberkan, amunisi yang dibeli untuk Korps Brimob itu istimewa. Ada dua keunggulan yang dimiliki peluru tajam itu. Pertama, amunisi tersebut bisa meledak dua kali. "Setelah meledak yang kedua, menimbulkan pecahan-pecahan dari tubuh granat berupa logam kecil yang melukai maupun mematikan," bebernya.
Keunggulan kedua, amunisi tersebut bisa meledak sendiri tanpa ada impact atau benturan setelah 14-19 detik dilepaskan dari laras. "Jadi ini luar biasa. TNI sampai saat ini tidak punya senjata dengan kemampuan seperti itu," ucapnya. Karena keistimewaannya itu, amunisi ini biasa digunakan untuk menyerang musuh yang bersembunyi di belakang benteng pertahanan. "Orang-orang di belakang perkubuan bisa dihancurkan dengan amunisi seperti ini," imbuh Wuryanto.
Dengan adanya klarifikasi dari pihak TNI tentunya Polisi tidak bisa lagi mengelak. Mereka menikhlaskan peluru tersebut di titipkan kepada saudara tuanya TNI untuk diamankan. Kalau dilihat dari segi aturan masalah senjata Permenhan Nomor 7 tahun 2010. Dijelaskan bahwa senjata api standar militer adalah yang digunakan TNI untuk membunuh dalam rangka tugas pertahanan negara. Adapun untuk senjata itu diatur adalah kaliber laras 5,56 mm ke atas, dengan sistem kerja semi otomatis atau full otomatis, termasuk yang telah dimodifikasi.
Sementara itu, senjata api nonstandar militer adalah senjata api yang digunakan untuk melumpuhkan dalam rangka tugas penegakan hukum dan kamtibmas, kepentingan olah raga, menembak dan berburu serta koleksi. Ketentuan lainnya adalah kaliber laras itu harus di bawah 5,56 mm dengan sistem kerja nonotomatis, termasuk yang telah dimodifikasi.
Lalu bagaimana Polisi yang sudah kepalang basah membeli peluru diatas 5,56 mm dan bertentangan dengan aturan Permenhan no 7 tahun 2010 tersebut? Peluru mematikan sangat dahsat itu untuk apa? Tentulah kita harus angkot topi kepada TNI yang masih berani menyuarakan kebenaran. Walaupun ada, bukan hanya dibuat menangis tetapi juga merintih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H