Belasungkawa pantas disampaikan kepada keluarga yang tertimpa musibah Mina 24 September 2015. Bukan sekali ini terjadi, sudah diulas berulang-ulang namun memang tidak pernah diambil pelajaran. Angka 717 nyawa korban musibah kali ini pantaslah menjadi perenungan. Apakah urgensi beribadah bila berujung musibah?, lalu dimanakah posisi Allah sebagai tuan rumah menyaksikan tamu-tamuNYA dirundung masalah?
Kematian akrab bila manusia datang ke medan perang, namun saat kematian datang berulang kepada mereka yang sedang beribadah, amatlah janggal.
Kerumunan lebih dari 2,2 juta manusia di suatu area terbatas, memang akan selalu menimbulkan masalah. Apabila kapasitas ditingkatkan menjadi 3 juta kelak niscaya menambah masalah.
KSA terbukti tidak kompeten dalam mengurus ritual wajib ini, alih-alih meminta maaf mereka langsung defensif dengan menyalahkan jamaah yang dinilai tidak tertib. Aneh, kenapa tidak menyalahkan Allah sebagai yang maha mengatur?
Ada organisasi konferensi Islam (OKI) yang pantas mengambil alih penyelenggaraan ritual Haji, namun tidak terdengar kiprahnya disini. Kenapa musibah berulang ini tidak menjadikan pelajaran berharga untuk mulai menghargai nyawa jamaah haji?. Jika musibah terjadi hanya setiap lima tahun dengan angka yang minim, bolehlah kita acungkan jempol dan apresiasi setinggi langit kepada KSA. Tetapi pada musim haji tahun ini terjadi dua musibah beruntun, tanggal 11 September dan 24 September. Ini sungguh keterlaluan untuk dianggap sebagai takdir semata.
Sudah saatnya, nyawa manusia lebih dihargai pada saat manusia-manusia itu sedang beribadah.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H